Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.
Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.
"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"
"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Langit sudah mulai berwarna jingga, rumah-rumah warga yang semulanya tadi terbuka, sekarang telah tertutup rapat. Suara motor terdengar begitu keras, memecahkan waktu senja itu.
“Bang, kok sepi banget ya? Masa gak ada seorang pun warga yang kelihatan atau ketemu di jalan. Ini kan belum malam!”
“Mana abang tahu, dek! Masa bodoh dengan warga sini. Yang penting kita bisa pergi dari desa ini!”
Sara yang berada di boncengan Johan mengangguk. Dia mengeratkan pegangannya pada baju kakak laki-lakinya. Tidak di pungkiri dan munafik, jika saat ini Sarah merasa ketakutan. Suasana desa saat ini sangat berbeda dengan yang tadi siang. Jika siang, masih ada kelihatan warga yang berlalu lalang. Namun, kini desa itu bak desa mati yang di tinggal penghuninya.
Sebenarnya bukan tanpa alasan warga desa seperti itu. Mereka masih trauma dengan terror hantu yang menyerang mereka. Belum lagi dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Lagipula banyak warga desa yang masih berada di rumah sakit dan ada juga yang mengungsi di rumah keluarga yang berada di desa lain. Makanya desa tersebut terasa sangat sepi.
Ketika motor yang di kendarai Johan hampir tiba di perbatasan desa. Johan memperlambat laju motornya. Matanya menyipit melihat objek yang berdiri di bawah gapura desa.
“Dek, kamu lihat itu?”
“Mana bang? Lihat apa?”
“Itu yang di bawah gapura desa itu. Yang ada selamat jalannya itu!”
Sarah yang memang sejak awal merasa takut, sama sekali tidak berani melihat apa yang di tunjukkan Johan. Dia menyembunyikan wajahnya di balik punggung Johan.
“Oh itu, bang! Apa ya? Gue gak tahu, mungkin sejenis ornamen, bang!” sahut Sarah yang sama sekali tidak melihat. Dengan kata lain dia berbohong pada Johan.
“Ornamen ya dek?” ulang Johan dengan ragu.
“Iya, bang! Gak usah khawatir. Hanya sebuah ornamen kok!” balas Sarah meyakinkan Johan.
“Oke lah! Hanya sebuah ornament!”
Johan kembali melajukan motor Adit. Saat mendekati gapura atau pembatas desa, objek yang di lihat oleh Johan itu bergerak. Dari yang membelakanginya, sekarang bergerak pelan menghadap kearah jalan.
“Dek, emang ornament bisa bergerak ya?”
“Bisa bang, kalau di tiup oleh angin!”
“Oh, oke!”
Johan terus melajukan motor hingga akhinya satu meter berada di dekat objek tersebut. Niatnya Johan, dia akan menarik gas motor tersebut. Sehingga dia tidak bisa melihat objek tersebut dengan jelas.
“Johan, Sarah…!!! Selamat datang di desa tempat tinggal abang!” ucap objek itu sambil tersenyum mengerikan.
Seketika Johan dan Sara melihat ke objek yang bisa bicara tersebut. Mata mereka melotot sempurna.
“Bang, ngeebuut bang! A-aku ta-takut…!!!”
“Gak, bisa dek. Motornya mati dan gak mau hidup lagi!” balas Johan dengan suara gemetar. Matanya terus menatap objek tersebut. Walau mencoba berpaling, dia tidak bisa untuk berpaling.
“Johan, Sarah, kalian tidak kangen sama abang? Abang kangen sama kalian? Lihat dan perhatikan abang, ini kan yang kalian mau! Kalian tega menghabisi nyawa abang, padahal abang sangat sayang sama kalian. Terutama pada kamu, Johan. Apa yang kamu inginkan dari abang, selalu abang beri. Tapi balasan kamu sangat menyakiti abang dan keluarga abang!”
“A-ampun, bang! Bu-bukan kita!” seru Johan. Dia berlari begitu saja meninggalkan Sarah dan motor Adit. Dia berlari kembali masuk ke dalam desa, menuju rumah dinas dokter Adit.
Sedangkan Sarah yang di tinggalkan, terjatuh tertimpa sepeda motor. Sambil menahan sakit, Sarah berusaha untuk membaca doa dan surat pendek yang pernah dia pelajari saat masih kecil.
“Sakit, Sar? Sakit mana waktu pisau ini nancap di tubuh abang?”
Objek itu mencabut sebuah senjata tajam dari tubuhnya, dan memperlihatkannya kepada Sarah. Senjara tajam itu berlumur dengan darah, dan hewan kecil yang bergerak-gerak.
“Ampuuuun, bang! Maafkan aku!!!” seru Sarah. Sambil terus membaca doa yang dia bisa, motor yang terasa sangat berat itu berusaha dia singkirkan dari tubuhnya.
“Sini abang bantu, Sar! Abang baik kan?”
Objek yang berubah sosok laki-laki dengan wajah mengerikan dan tubuh berlumur darah membantu mengangkat motor dari tubuh Sarah. Sehingga wanita itu terbebas lalu melarikan diri.
“Sarah!!! Ucapan terimakasihnya mana?” teriaknya sosok itu tertawa kencang.
Setelah berkata seperti itu, sosok itu merasa merinding sendiri. Dengan cepat dia menuju motornya yang berada di balik gapura. Lalu meninggalkan tempat itu sebelum ada yang melihat dirinya atau sebelum dia bertemu dengan sosok hantu yang asli.
“Misi berhasil, bang!” Lapornya melalui sebuah pesan singkat pada Sangkara.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Sangkara tersenyum senang mendapati pesan dari Indra. Ternyata Indra dan dokter Adit masih bisa di andalkan untuk membantunya. Walaupun belum setimpal, tapi dia yakin kalau yang dialami oleh Johan dan Sarah berefek ke psikologinya. Sangkara memang berniat menyerang dua orang itu dari segala sisi. Baik sisi psikologi, fisik, mental, hukum, keluarga dan lainnya. Dia ingin membuat dalang yang sudah membunuh keluarga merasa menderita, sehingga tidak ada alasan untuk mereka hidup lagi.
“Lo kenapa, Kara? Lo belum stress karena hasil autopsi tadi kan?”
Mata Sangkara melirik sekilas kearah Ello, “gue hanya dapat sebuah hiburan, bang! Gak sabar mendengar ceritanya nanti!”
Dari belakang, Dika ikut nimbrung. “Indra berhasil ya Kar?”
“Iya, dia berhasil, Dik!” sahut Sangkara.
“Waaah, tuh anak emang berbakat. Ngapain dia jadi polisi ya? Mendingan dia jadi actor aja, tapi khusus peran setan aja!” timpal Dika kagum dengan akting dan loyalitas Indra.
Saat mobil yang di kemudikan Ello mendekati gapura desa. Mobil tersebut harus berhenti karena sebuah sepeda motor yang ada di tengah jalan.
“Motor siapa sih? Dik, tolong urus dong!”
“Oke, bang! Hmm, biar aku aja yang bawa motornya. Kayaknya itu motor dokter Adit!”
“Terserah lo aja!” sahut Ello.
Dika yang sudah tahu apa yang terjadi, turun dari mobil. Dia mengendari motor dokter Adit yang di tinggalkan begitu saja oleh pengendaranya.
Ketika tiba di rumah dinas, Dika dapat melihat dengan jelas jika Johan dan Sarah masih tampak tersengal-sengal. Jarak antara gapura ke rumah dinas itu cukup jauh. Sekitar dua kilo meter, dan cukup melelahkan jika di tempuh jalan kaki atau berlari bagi orang yang tidak terbiasa olahraga.
“Malam, permisi… Dok, ini motornya kenapa ditinggal di dekat gapura ya?”
“Dika? Kamu sudah pulang? Kara mana?”
Dika tidak menjawab, dia menoleh ke belakang dimana mobil Ello terpakir di pinggir jalan. Dari mobil itu, Kara berjalan dengan di rangkul oleh Ello. Jika orang yang melihat Sangkara dan Ello, mereka tampak sangat akrab, berjalan dengan saling rangkul. Namun tidak jika dari sisi Sangkara. Dia membutuhkan rangkulan Ello agar tubuhnya tidak oleng.
“Belum pulang ya? Penasaran dengan hasil autopsinya?” seru Sangkara. “Ini! Silakan di lihat, saya tidakn akan menjelaskannya. Om Adit pasti bisa menjelaskannya!” sambung Sangkara memberikan amplop coklat berukuran besar pada kakek Saputra.
Setelah memberikan amplop itu, Sangkara dan Ello kembali ke dalam mobil. Mereka membiarkan para orangtua itu tahu, lihat dan dengar sendiri dari penjelasan dokter Adit. Dia tidak peduli dengan reaksi atau ekspresi yang akan di tunjukkan oleh mereka semua.
“Pa, ma! Dengarkan cerita aku dulu! Ta-tadi ka-kami ketemu dengan bang Adi, pa! Di-dia…!”
“Cukup Johan! Cukup Sarah! Kalau kamu masih mengatakan yang tidak-tidak, mendingan kalian berdua pergi dari sini!” seru kakek Saputra.
“Tidak, pa! Kami akan diam, kami akan tetap berada di sini!” sahut Johan cepat. Tanpa aba-aba, Johan langsung masuk ke dalam rumah Dinas dan bersembunyi di tempat yang tidak mungkin di ketahui oleh sosok itu. Begitu juga Sarah, dia mengikuti apa yang di lakukan oleh abangnya itu.
“Dasar anak tidak berguna!”
Semangat untuk authornya... 💪💪