Di hari pernikahannya, Andi Alesha Azahra berusia 25 tahun, dighosting oleh calon suaminya, Reza, yang tidak muncul dan memilih menikahi sahabat Zahra, Andini, karena hamil dan alasan mereka beda suku.
Dipermalukan di depan para tamu, Zahra hampir runtuh, hingga ayahnya mengambil keputusan berani yaitu meminta Althaf berusia 29 tahun, petugas KUA yang menjadi penghulu hari itu, untuk menggantikan mempelai pria demi menjaga kehormatan keluarga.
Althaf yang awalnya ragu akhirnya menerima, karena pemuda itu juga memiliki hutang budi pada keluarga Zahra.
Bagaimanakah, kisah Zahra dan Althaf? Yuk kita simak. Yang gak suka silahkan skip!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fitnah
Setelah kepergian Zahra dan Mak Mia, Bu Mirna langsung menarik putrinya ke samping dengan wajah merah padam. “Masa kalah ko sama anak lulusan SMA?” bentaknya tajam. “Itu Zahra jago bahasa Inggrisnya. Bikin malu-maluna saja.”
Tiara langsung membela diri dengan nada kesal. “Itu bule terlalu cepat bicaranya, makanya ndag mengerti kaa, Mak.”
Bu Mirna mendengus keras. Tatapannya penuh kekecewaan, namun ia memilih diam sambil menahan malu yang terlanjur menggerogoti harga dirinya.
Tak jauh dari situ, Bu Nani juga menarik putrinya pergi menjauh dari area pengantin. Sepanjang langkahnya, omelannya tak berhenti. “Astaga. Beleng (bodoh) sekaliko. Masa itu lulusan SMA bisa bahasa Inggris. Sedangkan kau dikasih sekolah tinggi-tinggi tidak bisa. Bagaimana mau ko bersaing rebut Althaf kembali.”
Anida menunduk, lalu membalas dengan nada membela diri, “Mak, bahasa Inggris bukan jurusanku. Mana kutahu.”
Bu Nani berdecak kesal, melangkah semakin cepat sambil terus mengomel dalam hati.
Di sisi lain, Mak Mia dan Zahra berjalan kaki menyusuri jalan pulang. Langkah mereka pelan, diiringi angin siang yang hangat. Mak Mia beberapa kali melirik Zahra dari samping.
Hatinya penuh rasa syukur, namun juga terselip rasa kecil dan rendah diri. Bagaimana mungkin ia, seorang petani miskin, dianugerahi menantu seperti Zahra. Gadis itu cantik, cerdas, dan tahu menempatkan diri.
Mak Mia tersenyum tipis. Meski kelakuan Zahra sering terasa ajaib, tapi meski begitu, ia tahu Zahra adalah gadis yang benar-benar baik.
*
Malam harinya, Pak Samsul terlihat duduk sendirian di dekat lumbung padinya. Sebatang rokok menyala di sela jemarinya, sementara pandangannya tertuju pada layar ponsel. Di sana terpampang foto Zahra yang ia potret diam-diam dari samping.
Pria paruh baya itu tersenyum sendiri, pikirannya melayang jauh, berf*ntasi li*r sambil senam lima jari tanpa menyadari bahwa bara rokoknya telah jatuh dan membakar daun-daun kering di bawah kakinya.
Di waktu yang sama, Bu Jaenab terbangun karena merasa haus. Saat hendak menuju dapur, hidungnya mencium bau menyengat. Seperti ada sesuatu yang terbakar.
Keningnya berkerut. Ia mengikuti arah bau itu hingga akhirnya membuka pintu rumah. Seketika matanya terbelalak kaget.
Lumbung padinya sudah dilalap api. Lidah-lidah api menjalar cepat, menyambar jerami dan kayu kering.
“Tolong! Tolong kebakaran!” teriak Bu Jaenab sekuat tenaga.
Jeritan itu membelah malam. Warga yang terlelap langsung berhamburan keluar rumah.
“Woy, kebakaran di rumahnya Bu Jaenab!”
“Ambil cepat air!”
“Cepat ko siram ii!”
Suasana mendadak panik. Para lelaki berlari menuju sumur, menimba air dan menyiramkan ke arah lumbung padi. Para perempuan ikut berteriak, sebagian mencoba menenangkan Bu Jaenab yang kini terduduk lemas.
“Habis sudah hasil panenku,” isaknya lirih, wajahnya pasrah.
Tak lama kemudian, Pak Samsul juga terlihat ikut menyiram lumbung padi itu. Wajahnya pucat, tangannya gemetar saat menuangkan air, seolah tak percaya pada apa yang sedang terjadi.
Para bapak-bapak terus berjibaku memadamkan api. Sementara itu, para ibu-ibu berdatangan.
Bu Mirna, Bu Nani, dan Bu Raodah terlihat terkejut melihat kondisi lumbung yang hangus sebagian.
Beberapa ibu mendekati Bu Jaenab. “Sabar ki Bu nah. Ujian ini.”
Akhirnya, api berhasil dipadamkan sebelum merambat ke bangunan lain.
“Ya Allah,” lirih Bu Jaenab sambil menangis. “Apa salahku kesinah? Bagaimana mi ini?”
“Sabar ki Bu nah,” ujar para ibu-ibu. “Pasti adaji penggantinya.”
Tiba-tiba, Bu Mirna berceletuk dengan nada curiga, “Barusannya itu ada kejadian seperti ini. Jangan-jangan marah Tuhan gara-gara ada sesuatu.”
Bu Lija menoleh cepat. “Maksudnya Bu Mirna?”
Bu Mirna menyilangkan tangan di dada.
“Coba meki pikir sendiri. Sudah lama mi ini kampung ta aman-aman terus saja. Tapi kenapa tiba-tiba terjadi begini? Pasti ada penyebabnya itu.”
Bu Raodah ikut menimpali, “Jangan-jangan ada yang berbuat jelek di kampung ta.”
Mata Bu Mirna berbinar, suaranya meninggi penuh semangat. “Eh jangan-jangan gara-gara Althaf sama itu Zahra. Belum pi kapan menikah itu dua orang. Makanya kampung ta kena cilaka.”
Para ibu-ibu saling pandang. Suasana mendadak hening.
Bu RT yang sejak tadi diam akhirnya bersuara tegas, “Jangki sembarang menuduh, Bu Mirna. Bisa jadi fitnah itu.”
Bu Mirna langsung membalas, “Saya tidak fitnah, Bu RT. Tapi coba meki pikir saja. Itu Althaf lamanya mi di Jakarta baru pulang-pulang bawa perempuan yang nabilang istrinya. Mana buktinya? Ndag ada undangannya. Bu Mia saja tidak mau na cerita. Pasti juga itu ndag ada surat-suratnya. Mungkin ini mi kena teguran kampung ta. Karena menampung orang berzina.”
Semua orang terdiam. Di kampung ini, kepercayaan terhadap tanda-tanda dan takhayul masih kuat.
Senyum sinis perlahan mengembang di wajah Bu Mirna. Jika dugaannya benar, Zahra akan diusir, dan Tiara putrinya bisa mendekati Althaf.
“Ndag apa-apa bekas,” batinnya puas. “Yang penting kaya dan ganteng.”
Tangisan Bu Jaenab mendadak berhenti. Wajahnya memerah, matanya menyala penuh amarah. “Iyo, pasti ini salahnya Zahra.”
Ia menoleh tajam ke arah Bu RT. “Bu RT. Ayo datangi rumahnya. Kita usir dari kampung saja.”
Pak Samsul yang mendengar itu ikut bersemangat, bukannya merasa bersalah karena dialah penyebabnya, ia justru mencari kesempatan.
Dalam pikiran Pak Samsuul, jika benar Zahra bukan istri Althaf, maka tidak ada penghalang baginya untuk memiliki perempuan itu. Dalam benaknya, Zahra pasti mau pada dirinya yang kaya raya.
“Sabar ki dulu, Ibu-ibu, bapak-bapak,” ujar Bu RT mencoba menenangkan.
Namun amarah warga terlanjur membara. Kata-kata provokasi Bu Mirna telah meracuni pikiran mereka. Beberapa orang mengambil obor, wajah-wajah mereka tegang dan penuh emosi.
Tanpa menunggu lagi, warga bergerak bersama menuju rumah Bu Mia.
*
Althaf baru saja berdiri dari sajadah, bersiap menunaikan salat malam kembali. Rumah masih sunyi ketika tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara riuh, semakin lama semakin jelas.
“Usir dari kampung!”
“Kurang ajar, berbuka zina!”
Althaf tertegun. Ia melangkah ke jendela dan melihat cahaya obor bergerak mendekati rumah. Dadanya mengencang.
Tak lama kemudian, puluhan warga sudah berkumpul di depan rumah panggung Mak Mia. Teriakan makin keras, menghantam malam yang gelap.
“Woy, Althaf, keluar ko! Kurang ajar!”
Salah satu bapak-bapak naik ke atas rumah panggung, lalu mengetuk pintu dengan keras hingga kayunya bergetar.
Duk! Duk! Duk!
Sontak penghuni rumah terbangun. Althaf bergerak lebih dulu dan membuka pintu. Di belakangnya menyusul Mak Mia dengan wajah cemas, lalu Lisa dan Karel. Terakhir, Zahra keluar dari kamar sambil mengucek matanya, jelas baru saja terbangun.
Althaf berdiri di depan, menatap tajam ke arah warga yang berkerumun. Suaranya tegas dan dingin saat ia bertanya, “Ada apa ini malam-malam begini datang berteriak di rumah orang.”
Seorang bapak-bapak langsung melangkah maju, nadanya kasar dan penuh tudingan. “Eh Althaf jangan meko sok alim di situ. Semua warga sudah tahu, kau berdua sama Zahra itu belum menikah.”
Warga lain langsung ikut menimpali, suaranya bersahutan. “Iyo, kau berbuat kotor di kampung ta.”
Althaf dan Zahra langsung membeku.
jadi garda terdepan untuk keluarga nya...
Zahra gitu lho no kaleng kaleng....
istri solehot mo di lawan.....😁💪🔥🔥🔥🔥🔥