Aku tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama, apalagi dari arah yang tidak kusadari.
Tapi ketika seseorang berjuang mendekatiku dengan cara yang tidak biasa, dunia mulai berubah.
Tatapan yang dulu tak kuingat, kini hadir dalam bentuk perjuangan yang nyaris mustahil untuk diabaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xzava, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Baru saja Ardhan sampai di rumah, napasnya masih belum sepenuhnya teratur usai jogging, ponselnya bergetar. Layar menunjukkan nama Ayah. Ardhan sempat ragu untuk mengangkat, tapi akhirnya ia menarik napas dan menjawab.
"Kenapa lagi," ucapnya singkat.
"Ardhan, kamu di mana?" suara berat ayahnya terdengar tegas seperti biasa.
"Baru pulang jogging, kenapa?"
Sunyi sesaat di ujung sana, lalu suara ayahnya kembali terdengar, lebih serius.
"Ayah mau kamu pikirkan lagi keputusan kamu soal Rani."
Ardhan langsung menegakkan tubuhnya. Napasnya yang tadi berat karena kelelahan, kini semakin berat karena tekanan yang ia tahu akan datang.
"Ayah, kita sudah bahas ini berkali-kali."
"Dan kamu selalu menolak, Ardhan!" potong ayahnya cepat. "Kamu pikir ini soal cinta-cintaan anak muda? Ini soal nama baik keluarga kita!"
Ardhan mengepalkan tangan. Matanya membara. "Keluarga? Ayah baru inget soal keluarga sekarang? Setelah ninggalin Ibu dan gue bertahun-tahun, sekarang sok peduli demi 'nama baik'?"
"Jaga bicaramu, Ardhan!"
"Jangan suruh gue jaga bicara, Ayah!" suaranya meninggi, penuh amarah. "Ayah harusnya gak muncul lagi di hidup gue! Waktu Ayah milih pisah dari Ibu, Ayah juga ninggalin gue! Ayah bahkan gak pernah peduli gue hidup kayak gimana! Sekarang datang-datang maksa gue nikahin Rani!!"
"Rani butuh tanggung jawab, Dan Rani juga suka sama kamu Ardhan. Kemarin kamu juga setuju nemenin dia ke rumah sakit."
"Ya! Gue nemenin dia ke rumah sakit waktu itu karena Ayah yang maksain gue!" Ardhan membentak. Suaranya gemetar. "Itu pertama dan terakhir kalinya gue nemenin dia! Karena gue pikir, gue cuma bantu sebagai keluarga. Tapi justru karena itu, kekasih gue pergi. Gue kehilangan satu-satunya orang yang gue cinta karena hal itu..."
Ia berhenti bicara, napasnya memburu. Ada jeda hening yang menyakitkan.
"Sudah cukup. Gue udah cukup dihukum karena kebaikan yang disalahpahami. Gue gak akan mengorbankan hidup gue lagi cuma buat nutupin kesalahan orang lain."
"Kalau kamu masih menganggap dirimu bagian dari keluarga ini, kamu harus lakukan yang benar."
Ardhan mencibir, getir. "Sayangnya, sejak Ayah ninggalin Ibu, gue juga udah gak pernah anggap Ayah keluarga."
Tanpa menunggu lagi, Ardhan menekan tombol merah dan melempar ponselnya ke sofa.
Dadanya sesak, emosinya campur aduk. Ia menatap langit-langit rumah, mencoba mengatur napas, tapi pikirannya terus dipenuhi oleh kemarahan, rasa kehilangan, dan luka lama yang belum sembuh.
Wajah Yura kembali muncul di benaknya. Senyumnya. Tatapan kecewanya. Sikap dinginnya kemarin.
"Lo satu-satunya alasan gue bertahan waras, Yur... Tapi kenapa semua jadi serumit ini?" gumamnya pelan.
Ia pun teringat dimana ia pertama kali bertemu Yura.
Beberapa tahun lalu...
Hujan deras mengguyur komplek perumahan sore itu. Petir sesekali menyambar, dan angin membawa serta aroma tanah basah. Di tengah suasana sendu itu, seorang gadis berlari keluar dari rumah sambil menenteng kantong sampah. Langkahnya cepat-cepat menuju tempat pembuangan di ujung jalan, tanpa peduli tubuhnya telah kuyup oleh hujan.
Di seberang jalan, sebuah mobil berhenti. Dari dalamnya, Ardhan yang baru pulang kuliah turun sambil menatap langit yang semakin kelam. Namun matanya langsung tertuju pada sosok gadis di tengah hujan.
“Anak siapa tuh? Hujan-hujan gini malah keluar sendiri...”
Tanpa berpikir panjang, Ardhan membuka pintu mobil dan mengambil payung. Ia berlari kecil menerobos hujan, lalu menghampiri sang gadis yang baru saja melemparkan sampah ke tong besar.
“Hujan deras gini, kenapa kamu keluar?” tanya Ardhan lembut, memayungi gadis itu dari derasnya hujan.
Yura, yang saat itu masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Ia mendongak, matanya yang bulat dan bening menatap pemuda tinggi di hadapannya.
“Buang sampah, Kak…” jawabnya pelan, sambil menyeka air dari wajahnya.
Ardhan tersenyum kecil. Ada sesuatu di mata gadis itu, sesuatu yang jernih, polos, dan entah mengapa... menenangkan.
“Lain kali pakai payung ya. Yuk, kakak anter pulang.”
Yura tak banyak bicara, hanya mengangguk pelan. Mereka berjalan berdampingan di bawah satu payung kecil, menapaki jalanan basah menuju rumah Yura, yang ternyata hanya berselang tiga rumah dari rumah Ardhan.
Sesampainya di depan pagar, Yura menoleh dan tersenyum malu. “Makasih ya, Kak…”
Ardhan membalas senyum itu. Tak berkata apa-apa, hanya mengangguk singkat sebelum melangkah pergi. Tapi dalam hatinya, pertemuan singkat itu membekas.
Sejak hari itu, Ardhan selalu mengingat gadis itu, gadis yang ia tidak tahu namanya. Tapi matanya, mata itu membuat Ardhan tersenyum tanpa sebab.
Berbeda dengan Yura. Hari itu berlalu begitu saja baginya. Ia bahkan tak ingat pernah bertemu Ardhan. Yang ia ingat hanyalah seorang kakak tampan yang memayunginya saat hujan deras.
Waktu berlalu. Ardhan diam-diam memperhatikan gadis itu setiap kali ada kesempatan. Ia menikmati momen-momen singkat ketika bisa melihat Yura dari jauh, hanya sekadar memastikan gadis itu baik-baik saja.
Namun kebahagiaan kecil itu tak berlangsung lama. Perceraian orang tua Ardhan memaksanya meninggalkan rumah itu. Awalnya ia bersikeras tetap tinggal, tapi tak mungkin membiarkan ibunya sendirian. Akhirnya, ia ikut pergi.
Bersamaan dengan kepergiannya, ia juga kehilangan sosok gadis kecil yang sempat mengisi hatinya diam-diam.
Bertahun-tahun berlalu.
Ardhan pernah menyambangi rumah lamanya, tapi ternyata gadis itu sudah pindah, entah dimana, bahkan tetangganya pun tak tahu, keluarga gadis itu pindah kemana.
Walaupun begitu, Ardhan tetap berusaha mencari gadis itu. Hingga akhirnya...
Ardhan tak menyangka, pertemuan itu akan terulang. Di sebuah sudut kampus, dari kejauhan ia kembali melihat mata itu. Mata yang sama. Tatapan yang tak berubah sedikit pun.
Sejak hari itu, Ardhan mulai mencari tahu tentang Yura. Dan setelah menemukan di mana Yura tinggal, Ardhan memutuskan pindah ke komplek itu, demi satu tujuan mendekat pada Yura.
Setelah Ardhan resmi pindah ke rumah barunya yang hanya berseberangan rumah dengan kediaman Yura, ia justru dilanda kebingungan. Ia sudah sejauh ini berusaha mendekat, tapi kini ia ragu harus mulai dari mana.
Gadis itu masih ingat gue gak ya? pikir Ardhan sambil menatap rumah di seberangnya.
Tak satu pun rencana terlintas di benaknya yang terasa masuk akal.
Namun, di luar dugaannya justru Yura yang lebih dulu datang menghampiri. Disaat di rumahnya mengadakan syukuran, Yura justru datang...
Ardhan tampak terkejut karena tidak menyangka bahwa Yura datang ke rumahnya, walaupun kedatangannya bukan untuk bertamu melainkan menyuruh untuk memindahkan motor tamunya.
Mata itu...
"Maaf, bisa panggilkan pemilik rumah?" tanya Yura sopan.
Ardhan menjawab dengan sopan berusaha sesantai mungkin. Namun setelah Yura pergi, Ardhan menyadari sesuatu.
Dia gak kenal gue...
Mata itu, kini menatapnya seperti orang asing. Tak ada ingatan, atau... mungkin memang tak pernah diingat.
Tapi Ardhan tahu satu hal, kalau dulu ia bisa jatuh hati hanya karena satu tatapan, maka kali ini… ia akan membuat Yura mengenalnya, benar-benar mengenalnya.