Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Simpulan
Ingatan semalam datang berkelebat, potongan-potongan yang membuat napas Kevia tercekat. Ia dipaksa dirias, dipakaikan gaun minim oleh ibu tiri dan saudara tirinya. Ia dibawa ke klub malam… dan di sana, nyaris dilecehkan. Sesosok pria, asing, bermasker, muncul di tengah kekacauan, menghajar habis-habisan lelaki paruh baya itu.
Dengan tangan gemetar, Kevia buru-buru menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya.
"Syukurlah…" gumamnya lirih. ia masih memakai pakaian lengkap. Helaan lega lolos dari bibirnya.
Matanya lalu tertuju pada sebuah paper bag di atas nakas. Dengan ragu ia meraihnya. Dari dalam, terlipat rapi sebuah dress sederhana, elegan, sopan, bahkan ada pakaian dalam baru.
Kevia menunduk, menatap gaun yang masih melekat di tubuhnya. Pipi dan hatinya sama-sama panas. "Gaun ini… terlalu memalukan."
Tanpa pikir panjang, ia meraih pakaian dari paper bag itu, lalu melangkah cepat ke kamar mandi.
Air dingin menyambut tubuhnya, namun ia tetap menggosok kulitnya keras-keras, seolah ingin menghapus jejak tangan kotor pria paruh baya yang semalam nyaris merenggut kehormatannya.
“Pria brengsek… mesum!” desisnya di sela-sela air yang mengucur deras.
Dalam samar ingatannya, bayangan lain muncul. Sosok tinggi, wajahnya tertutup masker. Lengan kokoh yang mengangkat dan membawanya keluar.
"Siapa dia…?" gumamnya dalam hati.
Usai mandi, tubuhnya terbalut pakaian bersih. Kevia menarik napas, memberanikan diri membuka pintu kamar. Tangannya gemetar, dadanya berdebar. Namun sebelum sempat memutar kenop, pintu itu terdorong dari luar.
“Cklek—”
Daun pintu terbuka perlahan.
Seorang petugas hotel wanita masuk dengan senyum ramah. “Pagi, Nona. Saya membawakan sarapan untuk Anda,” ucapnya lembut, lalu melangkah ke arah sofa untuk menaruh nampan.
Kevia buru-buru menghampirinya, wajahnya penuh cemas. “Kak… apa Kakak melihat pria bermasker itu semalam?” tanyanya hampir berbisik, seolah takut ada yang mendengar.
Petugas hotel itu masih tersenyum, sopan, tapi jelas-jelas tidak mengerti. “Maaf, Nona. Saya tidak tahu. Saya hanya diminta mengantar sarapan dan memastikan kondisi Nona baik-baik saja.”
Kevia mengernyit, kebingungan makin dalam. "Diminta? Oleh siapa…?"
Belum sempat ia bertanya lebih jauh, suara berat seorang pria terdengar dari ambang pintu.
“Nona, silakan sarapan dulu. Setelah itu, saya akan mengantar Nona pulang.”
Kevia menoleh cepat. Sosok pria bertubuh kekar berdiri di sana dengan sikap sopan, namun tubuhnya tegap seperti pasukan terlatih.
“A-anda siapa?” suara Kevia bergetar, sorot matanya penuh waspada.
Pria itu menunduk hormat. “Tuan kami yang menyelamatkan Nona semalam… memerintahkan kami mengantar Nona pulang dengan selamat.”
Kevia menegakkan tubuh, menatap pria tegap di hadapannya.
“Siapa nama Tuan kalian?” tanyanya lirih, ada harap sekaligus cemas dalam suara itu.
Pria bertubuh kekar itu menunduk sopan, sorot matanya teduh namun tertutup rapat dari jawaban yang Kevia inginkan.
“Maaf, Nona… kami tak punya hak untuk memberitahu, kecuali Tuan sendiri yang mengizinkan.”
Seakan dipukul pelan, bahu Kevia merosot. Ia menunduk, kecewa.
“Aku hanya ingin berterima kasih…” bisiknya hampir tak terdengar.
Pria itu menatapnya sejenak, lalu menjawab dengan tenang, “Akan kami sampaikan.”
Usai sarapan, Kevia mengikuti langkah mereka. Betapa asing rasanya ketika pintu mobil mewah berkilau itu dibukakan khusus untuknya. Cahaya pagi memantul di permukaannya, seakan mengejek dirinya yang bahkan dalam mimpi pun tak pernah berani membayangkan duduk di balik kursi elegan seperti itu.
Tangannya gemetar ketika menyentuh gagang pintu. Napasnya memburu. Mobil ini terlalu jauh dari dunianya. Dunia seorang gadis yang biasa berjalan kaki dengan sepatu murah.
Pintu menutup lembut. Kevia duduk di kursi belakang, tubuh mungilnya seperti tenggelam dalam balutan kulit jok yang wangi mahal. Dari kursi kemudi, pria bertubuh kekar itu menoleh perlahan. Tatapannya tenang, tapi menyelidik.
“Nona,” suaranya berat namun sopan, “kalau boleh tahu… mengapa semalam bisa berada di klub malam itu?”
Kevia tersentak. Dadanya menghentak cepat, wajahnya memucat. Jemarinya saling meremas di pangkuan, merobek sedikit kain tipis dress yang ia kenakan.
“A-aku… semalam dipaksa,” ucapnya terbata. “Dipaksa memakai gaun, sepatu, dan riasan… semua yang membuatku tak nyaman. Saudara tiriku… mengajakku ke pesta teman-teman sanggarnya. Tapi ternyata—” suaranya pecah, mata berkaca, “dia justru menyeretku ke klub… dan—dan hotel itu.”
Kedua bahunya bergetar, kepalanya menunduk dalam. Air matanya menitik, jatuh membasahi punggung tangannya sendiri.
“Dia sengaja meninggalkanku… dengan pria brengsek itu.”
Pria di depan memandang Kevia. Ada kegelisahan, ada trauma yang jelas terbaca. Ia berdeham pelan, berusaha menenangkan.
“Nona… jangan khawatir. Nona sudah selamat sekarang.”
Kevia mengangguk kecil, tapi wajahnya tetap tertunduk. Di balik getaran napasnya, pikiran lain justru mengamuk.
"Semalam… pria misterius itu telah menghajar pria brengsek itu. Bagaimana kalau dia melapor pada Riri? Gawat! Kalau aku pulang, aku pasti dihajar… dan Ibu—!
Lalu setelah semua ini… bagaimana kalau mereka benar-benar ingin menjualku lagi?"
Kevia menggigit bibir bawahnya, tubuhnya makin gemetar. Di tengah kenyamanan yang berlebihan ini, ketakutan justru makin menjeratnya.
"Aku harus bagaimana?" batin Kevia, jemarinya bergetar di atas layar ponsel. Cahaya dari jendela mobil mewah itu terasa asing, terlalu terang untuk hati yang penuh ketakutan.
Dengan napas tersengal, ia mulai mengetik.
>Ayah… semalam aku hampir dijual. Tapi aku berhasil lolos. Ada seseorang yang menolongku. Tapi kalau aku sekarang pulang… Nyonya Rima pasti marah besar. Dan Ibu… Ayah, aku harus bagaimana?
Ia menekan tombol kirim. Layar ponsel berpendar sesaat, lalu sunyi kembali. Kevia memejamkan mata rapat-rapat, seolah berdoa agar pesan itu tidak sia-sia.
Di tempat lain, deru mesin kendaraan belum sepenuhnya padam ketika Ardi baru saja tiba di tempat kerjanya. Bunyi notifikasi singkat di ponselnya membuat langkahnya terhenti. Saat matanya membaca pesan itu, darahnya mendidih.
“Kevia…” desisnya, wajahnya tegang, jemarinya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih.
"Rima… kau benar-benar sudah melewati batas!"
Ardi menunduk, rahangnya mengeras. Selama ini ia hanya bisa menelan pahit, membiarkan dirinya dan keluarganya diinjak-injak demi satu hal, pengobatan istrinya, Kemala. Wanita yang sejak dulu selalu menjadi cintanya, satu-satunya alasan ia masih bertahan.
Ia menikahi Rima bukan karena cinta, melainkan karena terpaksa. Perempuan itu menanggung biaya pengobatan Kemala, tapi dengan harga yang kejam. Ardi dan keluarganya terkurung di bawah obsesinya.
Mereka tinggal seatap, tapi jarak di antara mereka terasa lebih kejam daripada jurang. Ia tak bisa menyentuh istri dan putrinya. Setiap pertemuan diam-diam, setiap tatapan penuh rindu, bisa berujung pada siksaan Rima yang murka.
Dan kini, setelah semua yang ia korbankan, perempuan itu berani menyentuh putrinya?
Ardi mengepalkan tangan lebih erat, dadanya bergetar menahan amarah.
“Tidak lagi…” gumamnya, tatapan matanya membara.
Selama ini Ardi sudah mencari celah untuk menghancurkan usaha Rima. Namun betapa sulitnya. Wanita itu selalu mengawasi setiap langkahnya, seakan mengetahui apa pun yang ia rencanakan. Ia sadar, menjatuhkan Rima berarti sekaligus menjatuhkan dirinya dan keluarganya sendiri.
Bayangan itu berputar dalam benaknya: Kemala terbaring lemah di rumah sakit, menunggu cuci darah dua minggu sekali. Semua itu hanya mungkin terlaksana selama ia masih berada dalam genggaman Rima. Lepas darinya, ia tak yakin bisa menanggung biaya pengobatan Kemala.
Namun hari ini ia tiba pada simpulan: "Lebih baik aku menikmati sisa waktuku bersama Kemala dalam kesusahan… daripada terus hidup bersama Rima, tapi putriku yang menjadi tumbal."
Dada Ardi bergemuruh hebat, darahnya berdesir liar. Kemarahan yang ia pendam meledak begitu membaca pesan dari Kevia.
Jari-jarinya bergetar saat mengetik balasan, tapi tekadnya sudah bulat.
>Pagi ini mereka pergi ke spa. Kamu cepat pulang. Bereskan barang-barang kita diam-diam. Sebentar lagi Ayah akan pulang.
Kevia menatap layar ponselnya lama sekali. Hatinya mencelos. Ia tahu sulit lolos dari rumah itu. Berbahaya. Tapi ia tak sanggup melawan keputusan ayahnya. Meski satu bayangan terus menghantui.
Jika mereka pergi, siapa yang akan membiayai cuci darah Ibunya?
Air matanya menetes tanpa suara, namun ia menghapusnya cepat. Ia harus percaya pada ayahnya. Dan diam-diam ia bertekad.
"Apa pun yang terjadi, aku akan mencari uang sendiri. Aku akan berusaha demi nyawa Ibu."
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
Rima baru saja menutup matanya, menikmati pijatan hangat di spa, ketika ponselnya berdering. Suara panik terdengar dari seberang.
“Bu… g-gudang terbakar!”
Matanya langsung terbuka lebar. "Apa?! Gudang terbakar?!"
To be continued
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus
klo sekarang jadi serba salah kan...
sabar aja dulu,Selami hati mu.ntar juga ayank mu balik lagi kok Via...
setelah itu jangan sering marah marah lagi ya,hati dan tubuh mu butuh dia.
sekarang udah bisa pesan...
hidup seperti roda,dulu dibawah, sekarang diatas...🥰🥰🥰🥰