Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 – Saat Dunia Diam, Tapi Jantungnya Masih Berdetak
Di bab ini, kita diajak menyelami masa-masa kritis ketika Ale, yang belum tahu siapa dirinya, dibawa ke Paris dalam keadaan koma, dalam suasana batin keluarga yang penuh luka dan harapan.
🤫🙄
Tiga tahun lalu.
Langit Situgunung mendung menggantung seperti kain abu-abu yang sobek perlahan.
Sore itu, dua jasad ditemukan dalam jarak waktu dan tempat yang berbeda, tapi ditarik oleh satu benang merah: takdir.
Yang pertama—Fatur Fahrezi, putra kedua keluarga Ar-Rasyid. Ditemukan tak bernyawa, tubuhnya terhempas di sisi jalan, wajahnya masih menyisakan jejak kaget terakhir. Polisi menyebutnya tabrak lari.
Yang kedua—seorang pemuda asing, penuh darah, dengan kartu mahasiswa hampir koyak di saku bajunya: Aleandro Reza Fatur.
Flashback: Bandara Soekarno-Hatta, dua hari setelah pemakaman Fatur
Ummah Dinda duduk di kursi ruang tunggu, menggenggam tangan pemuda tak dikenal itu yang tertidur di kursi roda. Kepalanya diperban rapi, infus tertancap di punggung tangan kirinya. Tubuhnya kurus dan lemah.
Ia masih koma.
Dan belum satu pun dari dunia ingatan yang ia miliki kembali mengalir.
“Dia bahkan tidak tahu siapa dirinya sendiri,” kata Abah Rahman pada sang istri, suaranya parau. “Tapi dia hidup. Dia bernafas.”
Dinda menunduk. “Dan dia menerima mata anak kita.”
Abah mengangguk, pelan. “Seolah… Fatur tidak benar-benar pergi. Ada bagian darinya yang memilih untuk tetap tinggal di dunia ini. Dalam tubuh orang ini.”
Mereka membawa Ale ke Paris, bukan hanya karena peralatan medis lebih lengkap, tapi karena Jakarta penuh luka. Setiap sudut rumah mengingatkan mereka pada suara tawa Fatur, pada aroma bajunya, pada nada suaranya saat ia mengucapkan "Ummah…" setiap pulang kantor.
Di Paris, rumah sakit yang menerima Ale adalah pusat neurotrauma dengan teknologi paling mutakhir. Tapi bahkan dokter spesialis pun hanya bisa berkata:
“Kita bisa menyelamatkan fisiknya. Tapi ingatannya? Itu adalah labirin yang harus ia buka sendiri.”
Ale tidur selama 3 bulan 19 hari.
Dalam rentang waktu itu, Dinda datang setiap hari. Membacakan buku-buku puisi berbahasa Prancis dan Indonesia. Menyebut nama "Fatur" berulang kali. Bercerita tentang dunia hukum, tentang kopi kesukaan Fatur, tentang masa kecilnya di taman belakang rumah mereka. Semua itu bukan untuk memaksakan ingatan, tapi untuk memberi jiwa baru yang kosong sebuah isi baru.
Hingga suatu sore, ketika bunga mawar di pot ruangan ICU hampir layu, Ale menggeliat pelan.
Monitor detak jantung menunjukkan lonjakan.
Jari-jarinya sedikit bergerak.
Dan dari mulutnya yang kering… terdengar satu bisikan pelan:
“Fa…tur…”
Dinda menangis hari itu. Abah berdiri lama di ambang pintu ruangan, menahan emosi seperti air bah yang siap meledak.
Dia tidak ingat siapa dirinya.
Tapi dia menerima nama baru itu… seperti sudah tertulis dalam nadi.
Flashback selesai – kembali ke masa kini
Malam itu di rumah Fatur, jam sudah menunjukkan pukul 22.47.
Ummah Dinda berdiri di depan jendela, menatap ke luar—ke arah halaman belakang tempat Fatur sekarang suka duduk sendiri malam-malam. Kadang menulis. Kadang diam.
“Dia mungkin tak pernah tahu,” katanya pelan pada suaminya. “Bahwa sebelum ia punya mata yang sekarang… ia pernah punya cinta yang dalam. Dan pernah punya nama lain.”
Abah Rahman menjawab lirih, “Mungkin tidak perlu dia tahu semuanya, Dinda. Tapi mungkin… seseorang akan membuatnya ingat. Bukan dengan paksaan. Tapi lewat getar yang tidak pernah bisa didefinisikan oleh logika.”
Mereka berdua tahu siapa yang mereka maksud.
Wina.
Karena ada bagian dari ingatan yang tidak bisa dibangkitkan oleh foto, surat, atau catatan medis…
Hanya bisa disentuh oleh rasa yang pernah hidup.
Bab ini mengungkap dengan utuh: Ale tidak pernah meninggal. Ia koma. Dan ia bangkit dengan nama baru, hati baru… tapi tetap menyimpan jejak masa lalunya dalam bentuk yang belum ia sadari. Kita melihat cinta orang tua, penderitaan kehilangan, dan usaha menyelamatkan seseorang dengan cara paling manusiawi.
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup