pertemuan yang membuat jatuh hati perempuan yang belum pernah mendapatkan restu dari sang ayah dengan pacar-pacar terdahulunya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Laila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
“Hey, Kak.” Sapa Maharani begitu duduk di kursi penumpang.
Baskara mengiriminya pesan setelah sekian lama mereka tidak bertukar pesan. Mengatakan dia butuh teman cerita dan mengajaknya untuk night drive sambil makan ice cream. Di sini lah Maharani, sepulang kerja, memberikan kunci mobilnya pada Ami, sekretarisnya, dan menemui pria yang hampir satu bulan tidak dia lihat secara langsung.
“Hey, apa kabar, Ra?” tanya Baskara memberikan cup ice cream rasa hazelnut kepada Maharani.
“Gitu deh, Kak,” jawabnya singkat. “Lo sendiri gimana?”
“My work eats me,” ucapnya asal sambil terkekeh.
Hening. Hanya ada suara lagu yang mengalun lembut dari radio.
“Ra, gue boleh cerita?” tanyanya. Menatap mata Maharani sesaat sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke jalanan.
“Shoot,” jawab Maharani menyendok ice cream. Berusaha bersikap setenang mungkin walau sejak pria itu mengirimnya pesan, jantungnya berdegup tak karuan. Ada rasa gugup saat mendengar pertanyaan simple dengan nada sendu tadi. Seolah memberikan peringatan untuk Maharani menguatkan hatinya.
Baskara terdiam sesaat, kemudian berkata “gua ketemu sama mantan gua tadi siang. Hubungan gua sama dia selama setahun sembilan bulan ini tuh gantung. Gak jelas, karena gak pernah ada kata putus diantara kita dan selama itu pula gua nungguin dia.”
Maharani memberikan tatapan pada Baskara untuk melanjutkan ceritanya. Hatinya remuk. Tapi dia sudah berjanji pada pria itu untuk menjadi pendengarnya, if he need one.
“Dia bilang dia cuma pergi buat nenangin dirinya,” katanya meletakkan gelas kopinya, “terus dia juga ngajakin buat ngelanjutin lagi.”
“Terus perasaan lo sendiri gimana pas ketemu dia?”
Baskara menggeleng, menolehkan kepalanya dan menemukan mata teduh Maharani, “gak tau,” Baskara menghentikan mobilnya di salah satu taman dan memarkirkannya di sana, “pas ketemu dia rasanya campur aduk kangen, nyesel, sedih, seneng, bersalah, semuanya jadi satu,” ucapnya menatap kosong stirnya. “tapi, pas gue denger ajakan dia, it doesn’t feels right.”
“Kalo dari lo sendiri gimana? Lo mau lanjutin hubungan kalian yang udah secara gak langsung udah selesai itu?”
“Entah. Gua ngerasa gua ini aneh. Dulu gua nyariin dia, mau ketemu dia, mau bicarain semua yang salah dalam hubungan kita, pengen benahin, pengen minta penjelasan dia, pengen tau alesan dia pergi waktu itu. Tapi, pas gua hadepin langsung, kayak bingung mau mulai darimana. Bahkan gua sendiri bingung sama perasaan gua sendiri, Ra.”
“Makanya lo belakangan settingan muka lo jelek?” kata Maharani dengan wajah jenakanya membuat Baskara bingung, “belakangan Kak Jemmy suka nge-chat gua, kirimin foto muka lo yang serem banget,” Maharani menunjukkan foto kiriman Jemmy wajah Baskara yang datar, serius dan alisnya terlihat semakin menukik. “kalo kata Kak Jemmy, lo balik ke setelan pabrik,” tawanya.
Baskara menggelengkan kepalanya, “ada-ada aja.”
“Tapi bener kan?”
“Kalo menurut lo gimana, Ra?”
“Coba lo tanya hati lo dulu, Kak,” dia menatap lekat mata berwarna coklat gelap itu, “lo beneran mau lanjutin lagi hubungan kalian setelah dia ninggalin lo tanpa sepatah katapun, dan sekarang dia muncul terus segampang itu ngajakin buat lanjutin atau lo mau udahin di sini? Lo kangen sama dia karena kangen beneran kangen atau kangen karena dia yang dulu lo cari-cari akhirnya ada di depan mata lo lagi? Kayak kangen lama gak ketemu temen.”
“Gak bisa di ajak diskusi,” katanya merengut membuat sudut bibirnya menekuk kebawah.
“Bukan gitu, Kak,” Maharani terkekeh, “tapi gua mau lo diskusi dulu sama hati lo.” Gue mau lo tegas sama diri lo sendiri dan nemuin jawaban itu, Kak, lanjut Maharani dalam hatinya.
“Gitu?”
Maharani mengangguk yakin, “Lo bisa ketemu sama mantan lo, ngobrol. Mungkin minta penjelasan, atau ngebahas salahnya dimana dari hubungan kalian, setelah itu lo pikirin lagi lo beneran mau lanjut atau enggak.”
“Hem,” gumamnya.
“Kak,” Maharani melihat tangan kiri Baskara yang menyandar di antara jok mereka. Ada rasa ingin menggenggam tangan ini. Tapi dia hapus pikiran itu. menemukan mata Baskara yang terlihat lelah, “gua harap kali ini lo mentingin perasaan lo dulu baru dia. Oke?” Baskara tersenyum. Menatap lekat mata teduh Maharani.
“Thank you ya, Ra.”
“Gue gak bantu apa-apa, Kak,” balasnya tersenyum.
“No, you help me a lot, Ra.”
“Sama-sama. That what’s friend for right?” katanya menelan rasa getir. Friend.
...♥
...
Maharani tidak bisa tidur. Fikirannya terus terbayang bagaimana Baskara dengan mantan kekasihnya, atau masih kekasih? Memikirkan bagaimana sakitnya Baskara ketika dulu dia di tinggalkan, memikirkan luka yang dipendam pria itu, dan memikirkan hatinya yang teriris. Saat obrolan mereka malam itu pun, secara tidak langsung, dia memberikan kode kepada Baskara untuk tidak melanjutkan hubungannya dengan perempuan itu. Tidak berani untuk mendorongnya lebih jauh. Maharani ingin pria itu menemukan jawaban dari hatinya. Kalau memang selama ini mereka sama-sama memiliki ketertarikan yang sama, dia ingin di pilih oleh pria itu karena memang pria itu yang memilihnya.
Beberapa hari setelah night drive, Baskara mengiriminya pesan. Mengatakan kalau dia sudah bertemu dengan Amel dan membicarakan masalah mereka. Baskara tidak menceritakan secara lengkap. Maharani pun tidak ada niat untuk mencari tahu lebih dalam. Dia tidak ingin terluka, jika mendapati jawaban yang sangat dia hindari keluar dari Baskara.
Ajakan Baskara untuk bertemu pun di tolaknya dengan alasan dia sedang sibuk. Maharani tidak sepenuhnya bohong. Akhir tahun ini memang dia sangat sibuk. Belum lagi dengan persiapan untuk mengikuti Paris Fashion Week di awal tahun depan.
Setiap harinya, dia harus berkutat dengan segala macam meeting, pembahasan konsep, design, sampai pemilihan bahan. Dia bersyukur pekerjaannya memberikan distraksi sehingga dia tidak terus menerus memikirkan kegundahan hatinya.
Tapi itu tidak bertahan lama.
“Mbak Rani,” Ami membuka pintu ruang kerja Maharani setelah di persilakan oleh sang pemilik ruangan.
“Ada apa, Mi?” tanya Maharani mengalihkan pandangannya dari layar computer.
“Hey,” seorang pria langsung mendorong pintu ruang kerja Maharani dengan senyuman yang lebar dan bouquet bunga.
Melihat wajah bersalah dari Ami, Maharani menganggukkan kepalanya dan memberikan senyuman seraya mengatakan kalau tidak apa-apa. Ami pun undur diri.
“Lo ngapain ke sini, Do?” tanya Maharani berdiri dari duduknya. Memutari meja kerjanya dan menyandarkan pantatnya di ujung meja.
“Ketemu lo? Lo selalu susah buat gue hubungi. Nomor gue juga udah lo blok.”
“Lo berisik dan ganggu,” jawabnya santai.
Aldo menanggapi ucapan Maharani dengan tawa. Seolah Maharani sedang melemparkan guyonan kepadanya. Aldo memberikan bouquet bunga yang dia bawa kepada Maharani dan langsung di taruh di mejanya, tanpa dia lihat.
“Langsung aja, Do. Gue sibuk,” katanya melihat tangan di depan dada.
“Galak banget sih. Aku cuma mau ketemu kamu. Kangen aku tuh.”
Mendengar itu, ingin rasanya Maharani muntah saat itu juga.
“Aku kan udah bilang, aku mau mengusahakan buat balikan lagi sama kamu,” ucapnya membuat Maharani memutar bola matanya.
“Gue juga udah bilang, gue gak mau balikan sama lo.”
“Dan aku juga udah bilang, aku mau berubah untuk kamu,” katanya. Maharani tertawa setelah mendengar kalimat itu, membuat Aldo mengerutkan alisnya bingung, “kenapa? Kamu meragukan perasaan aku?”
“You don’t want me, Do. You just want a trophy girlfriend yang bisa lo bawa-bawa dan lo banggakan.”
“Yang salah dimana kalo aku mau itu? you’re the perfect one to be my trophy girlfriend or trophy wife.”
“But you’re not my ideal husband to be,” balas Maharani sembari tersenyum miring, “admit it, lo bahkan gak ada perasaan apa-apa sama gue.”
Aldo tertawa, “aku baru kali ini denger kamu ngomong seblak-blakan ini. Aku makin suka. Maharani, kamu gak tau gimana kamu bisa langsung mengalihkan semua perhatian aku, dan semua pikiran aku sejak kita ketemuan lagi. Rasa seneng bisa ngeliat kamu lagi dan bangga karena dulu pernah pacaran sama kamu. Kamu semakin cantik, semakin menawan, semakin bikin aku pengen milikin kamu lagi,” Aldo berjalan dan duduk di sofa, menyandarkan tubuhnya, meletakkan tangan kirinya di sandaran sofa dan menyilangkan kakinya. “kalo sama aku, kamu gak perlu sekuat ini buat ngebuktiin apapun ke keluarga kamu. Kamu cukup duduk manis aja. Aku tau, kamu bikin usaha fashion ini, bukannya kerja di perusahaan keluarga kamu, kamu lagi membuktikan diri kalo kamu itu beda dari anak-anak keluarga kaya lainnya yang lebih memilih untuk berkecimpung di bisnis keluarga.”
Tawa Maharani semakin terdengar kencang dan berkata, “lo dari dulu gak berubah ya. Tapi, Do, gue kasih tau ya, this is my life dan gue gak butuh siapapun ngatur gue harus apa dan ngelakuin apa, jadi lebih baik lo pergi,” katanya sambil berjalan ke arah pintu, “gue gak mau berurusan sama lo. Silakan pergi dan cari wanita yang lo pengen,” Maharani membuka pintu ruang kerjanya lebar-lebar.
Aldo pun langsung berdiri dari duduknya, berjalan dan berhenti di depan Maharani, “jangan sampe kamu nyesel karena udah nolak aku kali ini, Rani,” katanya mencolek dagu Maharani.
Maharani memberikan senyuman miring, “you wish! Gue akan sangat senang kalo kita bisa bersikap seolah gak kenal satu sama lain. selamat tinggal,” katanya menutup pintu ruang kerjanya.
... ♥
...