Wallace Huang, dikenal sebagai Mafia Iblis yang tanpa memberi ampun kepada musuh atau orang yang telah menyinggungnya. Celine Lin, yang diam-diam telah mencintai Wallace selama beberapa tahun. Namun ia tidak pernah mengungkapnya.
Persahabatannya dengan Mark Huang, yang adalah keponakan Wallace, membuatnya bertemu kembali dengan pria yang dia cintai setelah lima tahun berlalu. Akan tetapi, Wallace tidak mengenal gadis itu sama sekali.
Wallace yang membenci Celina akibat kejadian yang menimpa Mark sehingga berniat membunuh gadis malang tersebut.
Namun, karena sebuah alasan Wallace menikahi Celine. pernikahan tersebut membuat Celine semakin menderita dan terjebak semakin dalam akibat ulah pihak keluarga suaminya.
Akankah Wallace mencintai Celine yang telah menyimpan perasaan selama lima tahun?
Berada di antara pihak keluarga besar dan istri, Siapa yang akan menjadi pilihan Wallace?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
"Dia mencintai orang lain, tapi kau masih peduli padanya?" tanya Wallace pelan, ia menoleh ke arah Mark.
"Mencintai tidak semestinya memiliki," ujarnya dengan nada getir. "Celine adalah tipe wanita yang setia pada cinta. Walau pria itu tidak tahu perasaannya, tapi dia tetap menjaga perasaan itu dalam diamnya. Dan mungkin saja… Celine akan memilih melupakan pria itu."
Wallace terdiam, hatinya terasa menegang. "Dia akan melupakan pria itu setelah mencintainya selama bertahun-tahun?" tanyanya dengan suara bergetar, mengingat kembali ucapan Celine sebelumnya saat bersama Mark di halaman rumah.
"Iya," jawab Mark sambil mengangguk pelan. Wajahnya terlihat sedih. "Mungkin sudah terlalu lama dia memendam perasaan itu sendirian. Celine mengatakan dia tidak berharap cintanya dibalas. Dia sadar dengan latar belakangnya dan kondisinya sehingga tidak berani mencintai dan merasa tidak layak dicintai. Tidak tahu apa sebabnya dia berpikir seperti itu. Padahal… Celine adalah gadis yang baik. Siapa pun yang bisa memilikinya adalah pria yang paling beruntung."
Wallace memejamkan matanya sejenak, menahan gejolak aneh dalam dadanya. Entah kenapa, hatinya terasa sesak mendengar penjelasan Mark tentang Celine.
Setelah beberapa saat terdiam, Wallace mengalihkan topik, suaranya kembali datar, "Sebelum berangkat, apakah kau ingin menemui kakekmu?"
Mark langsung menggeleng cepat dengan ekspresi kesal. "Tidak! Aku tidak suka bertemu dengan istri kakek. Setiap pertemuan pasti berujung perdebatan."
Wallace hanya mengangguk kecil, memahami perasaan Mark.
Keesokan harinya.
Udara pagi masih dingin saat Wallace keluar dari kamarnya sambil menunduk, mengancing ujung lengan panjang kemejanya dengan rapi. Langkah kakinya terhenti di depan kamar Celine ketika ia mendengar suara pelan gadis itu dari balik pintu yang sedikit terbuka.
Di dalam kamar, Celine duduk di ujung kasur dengan tatapan kosong ke lantai, satu tangannya menggenggam erat ponsel di telinga.
"Aku akan sewa rumahnya… dalam waktu dekat aku akan pindah. Apakah bisa tolong jangan sewakan kepada orang lain?" tanyanya lirih.
"Baiklah, Nona. Kita akan bertemu dan bicarakan lagi detailnya," jawab suara seorang wanita di seberang sana.
Wallace yang berdiri di luar pintu terdiam. Jantungnya berdegup lebih cepat tanpa ia mengerti alasannya. "Bukankah dia mengatakan akan tinggal dengan teman kerjanya? Kenapa malah menyewa rumah sendiri?" batinnya menajam curiga. "Apakah dia hanya berbohong agar Mark tidak khawatir? Atau dia sengaja ingin menjauh dari semua orang… termasuk aku?"
Ia menatap pintu kamar Celine lama, dadanya sesak oleh perasaan aneh yang tak bisa ia definisikan. Untuk pertama kalinya, ia merasa takut—takut jika gadis itu benar-benar pergi dari hidupnya.
Mansion Ronald.
"Tuan, nama gadis itu adalah Celine Lin. Dia teman dekat Tuan Muda Mark. Tapi… mengenai latar belakangnya tidak bisa diselidiki. Tempat tinggal dan kenalannya juga tidak bisa ditemukan," lapor Sario sambil menunduk hormat.
Ronald mengetuk meja kayu di depannya dengan jemarinya yang tebal. Alisnya bertaut dalam. "Aneh sekali. Hanya seorang gadis biasa, kenapa informasinya tidak bisa ditemukan?"
"Apakah ada yang menyembunyikan latar belakangnya… atau dia sendiri yang sengaja merahasiakannya," ujar Sully dengan nada hati-hati.
"Hanya gadis kalangan bawah, kenapa bisa tinggal di rumah Kakak? Apa dia sengaja mendekati Kakak karena tahu keluarga Huang sangat kaya?" kata Angie dengan nada meremehkan. Ia melirik ayah tirinya dengan tatapan licik, berusaha menanamkan curiga pada Ronald.
"Walau dia teman dekat Mark, tidak berarti dia harus tinggal di sana," jawab Ronald dengan nada dingin. "Di mana Mark saat ini?"
"Tuan Besar, Tuan Muda Mark sudah di bandara. Dia akan berangkat hari ini," jawab Sario cepat.
Ronald menyeringai tipis, matanya berkilat tajam. "Kita lihat saja… kalau wanita itu masih tinggal di sana, kita akan mengusirnya. Hanya calon istri Wallace yang berhak tinggal di mansion itu. Pastikan Wallace sedang berada di luar, baru kita datangi rumahnya."
"Baik, Tuan Besar," jawab Sario menunduk hormat.
Angie menatap ayahnya sambil tersenyum tipis. "Papa, Celine Lin itu pasti berniat jahat pada Kakak. Bagaimana kalau Kakak tertarik padanya? Mungkin itu sebabnya Kakak sengaja mengusir Nona Zhao."
Tatapan Ronald menajam. "Jangan berharap dia bisa menjadi bagian dari keluarga kita," ujarnya dengan tegas.
Malam hari.
Celine duduk diam di ujung ranjangnya, memeluk kedua lututnya erat-erat. Ponselnya berada di genggaman, menampilkan foto dirinya bersama Mark. Matanya menatap foto itu lama.
"Mark, semoga kau baik-baik saja di sana… dan menemukan seorang gadis yang mencintaimu dengan tulus," batinnya lirih, dadanya terasa sesak oleh kerinduan dan kesepian yang menyesakkan.
"Kamu harus bahagia… Setelah kau pergi, aku kembali merasakan kesepian yang dulu selalu kurasakan. Aku tidak memiliki siapa pun di sini."
"Maafkan aku karena harus berbohong padamu. Aku tidak bisa terus tinggal di sini. Banyak hal yang belum pernah aku ceritakan padamu… termasuk perasaanku pada pamanmu."
"Perasaanku pada Pamanmu… akan aku kubur selamanya. Aku harus menjalani hidupku seperti biasa. Ke depannya hidupku sudah berubah. Tidak ada masa depan… tanpa cinta, tanpa siapa pun. Tapi aku akan tetap menghadapi semuanya sendiri… seperti yang selalu kulakukan selama ini."
"Sebelum pindah, aku harus memberitahu Wallace dulu," ucap Celine yang turun dari kasur dan beranjak dari kamarnya.
Wallace sedang berada di kamarnya malam itu, berdiri di depan lemari sambil mencari jubah tidurnya. Pintu kamarnya terbuka. Ia meraih jubah tidurnya dan menaruhnya di atas ranjang. Saat itu, Celine melangkah masuk tanpa mengetuk.
Begitu menoleh, mata Celine langsung membesar, tubuhnya menegang kaget. Wallace berdiri membelakanginya, tanpa mengenakan baju, hanya dibalut handuk putih yang melilit pinggangnya. Otot punggungnya yang lebar dan garis tubuh maskulinnya jelas terlihat.
"Aaah!" jerit Celine spontan, tangannya menutup mata sambil memalingkan wajah ke belakang dengan cepat.
Wallace menoleh dengan tenang, menatap gadis itu sambil menaikkan alis. "Ada apa?"
"Ma-maaf, aku tidak tahu kalau Tuan sedang ganti baju," ucap Celine gugup, suaranya bergetar menahan rasa malu yang membakar wajahnya.
Wallace hanya menatapnya sekilas sebelum melangkah mendekat. Otot dadanya bergerak saat ia berjalan, membuat Celine semakin menunduk panik.
"Ingin bicara sesuatu?" tanyanya dengan nada rendah dan dalam.
Celine menelan ludahnya. Ia ingin segera pergi. "Na-nanti saja aku datang lagi," jawabnya cepat. Ia hendak keluar, namun lengannya ditarik oleh Wallace. Dalam satu gerakan, pria itu menutup pintu kamar dengan kakinya hingga terdengar suara klik pelan saat kunci pintu menutup.
Celine mundur ketakutan, menabrak meja samping kasur. Napasnya memburu, matanya memejam erat.
Wallace menatap gadis itu dengan sorot tajam namun penuh keingintahuan. Ia mendekat, mencondongkan tubuhnya hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Bau sabun mandi dan aroma maskulinnya menyeruak di hidung Celine, membuat jantungnya berdegup semakin kencang.
"Katakan, ada apa?" suaranya pelan namun menekan.
"T-Tuan… bagaimana kalau… pakai bajumu dulu," ucap Celine dengan suara pelan dan gemetar. Kedua tangannya menutup wajahnya, menahan rasa malunya yang semakin membuncah.
Wallace tersenyum kecil. Tangannya yang besar melingkar di pinggang gadis itu, menariknya semakin dekat hingga dada bidangnya hampir menyentuh tubuh Celine. Satu tangannya lagi menurunkan tangan Celine yang menutupi wajahnya, memaksanya menatap langsung ke matanya.
"Ini kamarku. Aku bisa melakukan apa saja di sini," bisik Wallace di telinga gadis itu, suaranya rendah dan berat. Hembusan napas hangatnya membuat bulu kuduk Celine berdiri. Pria itu menatapnya dalam dengan tatapan menggoda dan dingin sekaligus.
"Jadi katakan saja, ada apa… atau mungkin…" Wallace menurunkan suaranya menjadi bisikan yang menakutkan, "…aku akan melepaskan handukku sekarang juga."