JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN
Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!
Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.
Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?
Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAGI YANG HANGAT
Matahari pagi mulai menyinari seisi istana, menembus kisi-kisi jendela dengan lembut.
Zhao terbangun perlahan. Ia mengucek matanya dengan gerakan lucu, lalu melirik ke sekeliling, seolah mencari sesuatu atau seseorang yang biasanya menemaninya di dalam ruangan. Tapi pagi ini terasa sedikit berbeda. Ada ruang kosong yang sunyi.
Sementara itu, di ruang pribadi Pangeran Wang, Pangeran Jaemin tertidur dengan posisi terlentang, tanpa peduli pada sopan santun istana. Pengawal pribadi Pangeran Wang tampak berusaha tetap terjaga, meski kelopak matanya mulai turun-naik. Di sudut ruangan, Pangeran Yu duduk tegak, memejamkan mata, bersandar lelah pada tiang kayu. Dan Pangeran Wang sendiri masih duduk di kursinya. Ia belum memejamkan mata sedikit pun semalaman.
Meilan, yang merasa gelisah karena khawatir Zhao akan bangun dan mencarinya, telah lebih dulu meninggalkan ruangan itu diam-diam. Kini ia duduk di depan pintu kamar Zhao, menatap kosong ke arah jendela dan berharap sang nona akan memanggilnya seperti biasa dengan nada ceria yang selalu membuat harinya lengkap.
> "Nona... ayo bangunlah, seperti biasanya. Panggil aku, omeli aku, atau suruh aku membuatkan teh. Asal jangan diam saja seperti semalam..." gumam Meilan pelan, hampir seperti doa.
Di dalam kamar, Zhao duduk di tempat tidur sambil memeluk bantal. Tatapannya sudah tidak segelap semalam. Wajahnya tampak lebih tenang, meski masih menyimpan banyak pertanyaan dalam diamnya. Ia menoleh ketika para dayang masuk membawakan sarapan pagi. Namun, ia hanya menatap makanan itu tanpa minat. Tak lama kemudian, Zhao berdiri, melangkah perlahan ke arah pintu yang tadi sempat terbuka.
Meilan mendengar langkah itu dan langsung menoleh. Ia berdiri dengan cepat, menahan napas.
"Nona..." sapa Meilan hati-hati.
Zhao melirik ke arahnya.
"Masuklah," ucapnya singkat namun lembut.
Senyum cerah langsung merekah di wajah Meilan.
"Nona sudah tidak marah lagi?" tanyanya sambil mendekat pelan.
Zhao menarik napas pendek. "Aku tak pernah sanggup mendiamkanmu terlalu lama."
"Ah... Nona~" sahut Meilan manja sambil memeluk lengan tuannya.
"Tapi jangan kau ulangi lagi. Aku lebih senang melihatmu jujur dan polos... meskipun sering membuat masalah."
Meilan mengangguk cepat. "Aku janji, Nona!"
Tatapan Meilan lalu beralih pada hidangan yang masih utuh.
"Tapi... Nona belum sarapan? Kenapa belum menyentuh makanannya?"
Zhao menggeleng pelan. "Aku sedang tak berselera. Lebih baik makanannya di siapkan untuk Pangeran Wang saja."
Meilan menatap Zhao khawatir. "Nona... masih kesal padanya?"
Zhao tak langsung menjawab. Ia hanya menatap jauh ke luar jendela, seolah pikirannya melayang.
---
Di Ruang Pangeran Wang
Pangeran Wang akhirnya bangkit dari duduknya, menegakkan tubuhnya yang terasa pegal karena semalaman tak berbaring.
"Sudah pagi. Aku harus menemuinya... entah dia masih marah atau tidak," gumamnya pelan.
Pangeran Yu dan Pangeran Jaemin ikut berdiri, begitu pula pengawal pribadi yang langsung meregangkan punggung.
"Ah, akhirnya! Aku bisa kembali ke kamarku yang hangat dan nyaman. Tidur di lantai rasanya tulang-tulangku hancur!" keluh Jaemin dengan wajah lusuh.
Pangeran Yu menepuk bahu kakaknya pelan. "Baiklah, Kakak... hati-hati, ya. Kalau dia masih marah, jangan sampai kena banting pintu."
Nada suaranya tenang, tapi jelas menyimpan ejekan halus. Pangeran Wang hanya menoleh sambil tersenyum tipis, lalu berjalan keluar dengan langkah tegap.
Di kediaman mereka, Zhao tak berselera menyentuh makanan. Ia memilih duduk diam di depan meja, mengisi waktu dengan membaca buku. Sorot matanya tenang, meski tak sepenuhnya fokus. Di sampingnya, Meilan berdiri setia, tak berani banyak bicara.
Pangeran Wang masuk perlahan, langkahnya hati-hati seperti tak ingin mengusik ketenangan Zhao. Saat melihat Meilan, ia mengangkat alis, memberi isyarat dengan wajah: “Apakah nonamu sudah tidak marah?”
Meilan menggeleng pelan, membalas dengan ekspresi “Masih belum.”
Pangeran Wang lalu memberi isyarat kedua: “Tolong tinggalkan kami berdua.”
Meilan mengangguk paham.
“Nona, Pangeran Wang sudah datang. Jika Nona memerlukan sesuatu, aku ada di luar,” ucap Meilan pelan, sopan.
Zhao hanya melirik sekilas, tanpa menjawab. Meilan pun pamit dan keluar perlahan, menutup pintu di belakangnya.
Pangeran Wang mendekat.
“Kau sibuk?” tanyanya pelan.
Zhao menoleh, tapi ekspresinya tak lagi sekeras semalam. Masih dingin, tapi jelas memberinya kesempatan untuk bicara.
Pangeran Wang melirik ke arah makanan yang masih tertata rapi di atas meja.
“Kau belum sarapan?”
“Kalau kau ingin sarapan, sudah disiapkan. Kalau kau ingin yang lebih hangat, aku bisa menyuruh Meilan memanaskannya... atau mengambilkan yang baru,” ucap Zhao datar, tanpa menoleh.
“Tak perlu. Tapi... apa kau tidak lapar?” tanyanya lagi.
Zhao hanya menoleh sebentar tanpa menjawab. Pangeran Wang menarik napas. Sorot mata Zhao memang tak lagi murka, tapi tetap sulit ditebak. Ia tak tahu bagaimana menghadapi istri yang sedang merajuk seperti ini.
“Baiklah... aku lapar,” ucapnya akhirnya, nyaris pasrah.
Zhao menoleh ke arah makanan.
“Maksudku... aku ingin kau menemaniku,” lanjut Pangeran Wang dengan nada sedikit manja.
Zhao tersenyum kecil mendengarnya. Pangeran Wang ikut tersenyum lega.
Mereka berjalan ke meja makan. Pangeran Wang duduk lebih dulu, Zhao menyusul di sebelahnya. Dengan tenang, Zhao mulai menyiapkan makanan untuknya. Pangeran Wang menatap wajah istrinya dalam diam.
“Zhao... soal Meilan, aku...” Ia mencoba menjelaskan.
“Makanlah dulu. Dari semalam kau belum makan, bukan?” potong Zhao sambil menyodorkan lauk ke atas nasi Pangeran Wang dengan sumpit.
Pangeran Wang menurut. Ia mengambil sumpit dan mulai makan.
“Kau tidak makan?” tanyanya sambil mengunyah.
“Aku sedang tidak berselera,” jawab Zhao pelan.
Pangeran Wang lalu mengambil sepotong lauk dengan sumpitnya dan menyuapkannya langsung ke mulut Zhao.
“Tumben. Biasanya kau yang paling rakus di antara kita,” godanya lembut.
Zhao menatap wajah suaminya sebentar, lalu membuka mulut dan memakan suapan itu.
Pangeran Wang tersenyum senang. Zhao pun akhirnya tersenyum kecil, lebih tulus dari sebelumnya.
Mereka melanjutkan makan bersama. Percakapan kecil mulai mengisi keheningan pagi.
"Suasana hatinya cepat sekali berubah," batin Pangeran Wang, hampir tidak percaya.
Tak lama setelah itu, pengawal pribadi Pangeran Wang masuk ke ruangan dan memberi hormat.
“Izinkan hamba menyampaikan, Yang Mulia. Tadi pagi, utusan dari Permaisuri datang. Beliau menyuruh Pangeran Yu untuk segera menghadap.”
Pangeran Wang sempat ragu. Namun akhirnya, ia bangkit berdiri.
“Aku akan menemuinya dulu. Kau jangan pergi ke mana-mana,” ucapnya sambil meletakkan sumpit.
Ia menatap Zhao sejenak. Zhao mengangguk tenang.
Pangeran Wang dan pengawal pribadinya telah pergi. Zhao berdiri di depan pintu, menatap punggung suaminya yang semakin menjauh. Tatapannya berubah bukan lagi sekadar rasa khawatir, melainkan firasat yang sulit diabaikan.
“Meilaaaan!” panggil Zhao.
Meilan segera menghampiri.
“Meilan, Pangeran Wang dipanggil oleh Permaisuri. Kau tahu sesuatu?” tanya Zhao tegas.
Meilan tampak ragu sejenak, lalu menjawab, “Sepertinya... Yang Mulia Permaisuri ingin membahas soal kursi Putra Mahkota yang sedang kosong.”
“Kursi Putra Mahkota?” ulang Zhao, matanya menyipit penasaran.
“Ya, tapi... sudah hampir dipastikan bahwa satu-satunya kandidatnya adalah Pangeran Wang,” lanjut Meilan.
“Aku sudah menduganya,” gumam Zhao. “Dia putra sulung dan yang paling berpengaruh di istana. Tapi justru itu yang membuatku khawatir. Ambisi adalah bayangan berbahaya... siapa yang tahu isi hati para pangeran lainnya terutama Pangeran Chun.”
“Itulah sebabnya, Nona harus tetap di sampingnya dan terus mendukungnya. Itu yang terbaik untuknya,” ucap Meilan serius.
Zhao menatap Meilan, sedikit tersenyum. “Ternyata banyak yang kau tahu. Kau lebih mirip mata-mata daripada dayang.”
Meilan tersenyum bangga. “Aku memang dilatih untuk itu, Nona.”
“Bagus. Kalau begitu, mulai sekarang kau resmi jadi mata-mataku,” ucap Zhao sambil menepuk lengan Meilan.
“Nona bisa sepenuhnya mengandalkanku!” sahut Meilan penuh semangat.
Namun tiba-tiba, ekspresinya berubah ragu. “Tapi, Nona... kabarnya Yang Mulia Permaisuri juga sedang mempersiapkan seorang selir untuk Pangeran Wang...”
“APA?!” seru Zhao, kaget bukan main.
“Hubunganku dengan Pangeran Wang saja belum sejauh itu... tapi ibunya sudah menyiapkan selir?! Dasar mertua kejam!” gerutu Zhao dengan wajah kesal.
---
Sementara itu, di Kediaman Permaisuri
Pangeran Wang kini berdiri di hadapan Permaisuri. Ia membungkuk memberi hormat, tapi suasana di antara mereka dingin. Tatapan keduanya tajam, jauh dari hubungan ibu dan anak yang hangat.
“Jika Ibu memanggilku hanya untuk membahas soal selir,” ucap Pangeran Wang dingin, “jawabanku tetap sama.”
“Pangeran Wang,” balas Permaisuri tajam, “kau terlalu terikat dengan istrimu yang suka membuat masalah itu. Maka, aku menyiapkan selir untuk mengalihkan perhatianmu.”
“Jangan sebut Zhao pembawa masalah. Ia tak pernah menghalangiku menjalankan tugas apa pun,” balas Pangeran Wang, masih menahan kesabarannya.
“Kalian sudah lama menikah, tapi apakah dia bisa memberimu penerus? Bahkan aku mulai meragukannya.”
“Itu urusan kami. Bukan untuk dipertanyakan oleh orang lain.”
Permaisuri mengangkat dagunya angkuh. “Lagi-lagi kau membelanya. Tak lama lagi, Kaisar akan mengumumkan siapa yang akan menjadi Putra Mahkota. Aku yakin itu adalah kau. Maka kau harus mempersiapkan dirimu lebih matang termasuk memikirkan pasangan yang pantas mendampingimu.”
Ia menatap Pangeran Wang tajam. “Jika Zhao tak siap, aku sendiri yang akan mencarikan penggantinya.”
Pangeran Wang menyipitkan mata.
“Urusan Zhao, biarkan aku yang mengurus. Jangan sesekali menyentuhnya... atau menekannya,” ucapnya tegas.
“Waaaaang!” bentak Permaisuri marah.
“Aku sudah mempersiapkanmu sejak kecil! Jangan hancurkan semua itu hanya karena seorang wanita!”
Pangeran Wang menatap ibunya dalam-dalam. “Pernahkah Ibu berpikir... bahwa apa yang Ibu lakukan justru membuat putra kesayanganmu terguncang?”
Permaisuri tampak terkejut. “Apa maksudmu?”
“Siapa lagi yang Ibu perlakukan sebaik itu... tapi tidak Ibu harapkan menjadi penerus tahta?”
Permaisuri terdiam. Hening mendadak memenuhi ruangan.
Pangeran Wang memberi hormat singkat, lalu berbalik pergi.
“Pangeran Chun...” gumam Permaisuri pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
---
Di Kediaman Zhao
Zhao berdiri di teras, menanti suaminya dengan hati yang tak tenang. Saat langkah kaki itu terdengar, ia langsung menghampiri. Pangeran Wang menyambutnya, namun wajahnya tampak muram.
“Ibumu menyakitimu lagi?” tanya Zhao hati-hati.
“Aku sudah terbiasa,” jawab Pangeran Wang datar.
“Kau tak menyukai sikap ibumu padamu?”
“Aku hanya selalu merasa tertekan setiap kali berbicara dengannya.”
“Karena dia selalu menekanmu,” gumam Zhao pelan.
Pangeran Wang duduk di tangga. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara lagi.
“Tak ada yang perlu kusembunyikan darimu. Jadi kau harus tahu... sejak kecil, ibuku selalu memaksaku menjadi yang terbaik. Setiap kesalahan kecil, ia hukum aku. Ia mengurungku. Aku tumbuh dalam ketakutan.”
Zhao menyimak dalam diam, matanya berkaca-kaca.
“Beda dengan bagaimana ia memperlakukan Pangeran Chun. Ia begitu menyayanginya... padahal aku juga putranya.”
“Mungkin... ia hanya ingin kau menjadi pemimpin yang lebih kuat,” kata Zhao pelan.
“Kalau memang begitu, dia tak perlu mendidikku dengan ambisinya. Ia menjadikanku boneka kekuasaan. Dan aku tahu, itu akan menjadi buruk jika dibiarkan.”
Zhao mengangguk perlahan.
“Pangeran Chun... dia adikmu?”
“Lebih tepatnya, adik kembarku. Tapi ibuku tak pernah menekannya, karena dia tak mengharapkan tahta darinya. Aku tak tahu... apa yang sebenarnya ia harapkan dari Chun.”
“Karena itu, Pangeran Chun selalu ingin menyaingimu?” tanya Zhao.
Pangeran Wang mengangguk. Mereka duduk berdampingan di tangga, membiarkan angin sore menyapa wajah mereka.
“Saat aku merasa sendirian dan terpuruk, ibu kandung Pangeran Yu Selir Yi menerimaku dengan hangat. Ia menyayangiku seperti anaknya sendiri, tanpa membedakan aku dan Yu. Mungkin karena itulah aku dan Ayah lebih dekat padanya. Dan aku merasa lebih nyaman bersama Pangeran Yu daripada Chun.”
Zhao menatap wajah suaminya yang kini memandang langit, seolah mengenang sesuatu yang sangat jauh.
“Tapi... kemudian Selir Yi tiba-tiba diasingkan. Tak lama setelah itu, ia wafat. Sakit sekali rasanya kehilangan beliau. Dan melihat Pangeran Yu terluka seperti itu... sangat menyayat hati.”
Zhao terdiam. Perlahan, ia memeluk pinggang suaminya dari samping, memberi kehangatan yang tak bisa dijelaskan dengan kata.
Pangeran Wang menoleh, lalu meraih tangan Zhao yang memeluknya. Zhao menyandarkan kepalanya ke bahu suaminya. Pangeran Wang membalas dengan menyandarkan kepalanya ke kepala Zhao, mata mereka sama-sama memandang langit.
“Dan satu tekadku sampai sekarang... aku akan menemukan siapa yang memfitnah Selir Yi dulu. Sekalipun aku harus berhadapan dengan ibuku sendiri,” ucapnya lirih.
Zhao menggenggam tangannya lebih erat. “Dan aku akan berdiri di sampingmu... mendukungmu sampai akhir.”
Langit di atas mereka perlahan memerah. Hari itu mungkin dimulai dengan awan gelisah, tapi sore ini mereka tahu, mereka tak lagi sendiri dalam menghadapi badai.