NovelToon NovelToon
Istrimu Aku, Bukan Adik Iparmu

Istrimu Aku, Bukan Adik Iparmu

Status: tamat
Genre:CEO / Selingkuh / Keluarga / Angst / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Tamat
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Caca Lavender

Yujin hanya ingin keluarga utuh dengan suami yang tidak selingkuh dengan iparnya sendiri.

Jisung hanya ingin mempertahankan putrinya dan melepas istri yang tega berkhianat dengan kakak kandungnya sendiri.

Yumin hanya ingin melindungi mama dan adiknya dari luka yang ditorehkan oleh sang papa dan tante.

Yewon hanya ingin menjalani kehidupan kecil tanpa harus dibayangi pengkhianatan mamanya dengan sang paman.
______

Ketika keluarga besar Kim dihancurkan oleh nafsu semata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gila

Sementara itu, di ruang interogasi lain, Kim Jihoon duduk bersandar santai di kursi. Tangan terborgol di depan meja, tapi tatapannya penuh percaya diri, seolah ia masih duduk di ruang dewan direksi, bukan di dalam markas polisi.

Di seberangnya, penyidik pria senior duduk tenang sambil membuka berkas berisi foto-foto Sumin, laporan medis, dan tangkapan layar dari kamera pengintai.

"Nama korban: Kim Sumin. Usia: 17 tahun. Status: anak kandung pelaku. Anda paham sejauh mana pelanggaran yang Anda lakukan?"

Jihoon tidak menjawab langsung. Ia menatap ke arah berkas, lalu bersandar dan tersenyum tipis, “kalau saya bilang saya hanya ingin hidup tenang bersama anak saya, apa itu terdengar seperti kejahatan?"

Penyidik mencatat sesuatu tanpa menanggapi, “kapan terakhir kali Anda melihat Sumin sebelum membawanya paksa dari sekolah?"

"Beberapa hari yang lalu. Dia menolak menemui saya. Mamanya, pamannya, dan pacarnya menghalangi semua komunikasi. Anak saya dicuci otak,” jawab Jihoon santai seolah yang ia katakan adalah kebenaran.

"Menurut saksi, Anda menculiknya dari lingkungan sekolah disertai ancaman, pemaksaan, dan kemudian menyekapnya di lokasi tidak layak. Dia ditemukan dalam kondisi trauma berat dan luka serius. Anda menyadari konsekuensinya?"

Jihoon menyeringai, "saya menyadari semua yang saya lakukan. Tapi saya punya alasan. Saya membesarkan anak itu. Semua yang dia tahu, semua yang dia punya, semuanya berasal dari saya. Dan saya berhak memiliki apa yang menjadi milik saya."

Penyidik berhenti menulis, “anda menyadari bahwa cara Anda membenarkan tindakan sendiri adalah pola klasik pelaku kekerasan?"

"Tidak," potong Jihoon, “saya tidak melakukan kekerasan. Saya hanya ingin mendidiknya kembali. Dia keras kepala dan tidak sopan. Dia sudah dipengaruhi oleh istri dan adik saya yang terlalu sok suci."

"Jadi menurut Anda, semua orang yang menyalahkan Anda itu salah?"

Jihoon mencondongkan tubuh ke depan, “dengar baik-baik. Mereka yang salah karena telah merebut segalanya dari saya, anak-anak dan perusahaan saya. Mereka membuat saya jadi orang jahat di cerita mereka. Tapi kalau Anda mendengar cerita dari sudut pandang saya … saya hanya pria yang kehilangan semuanya dan ingin mengambil kembali apa yang menjadi milik saya."

"Termasuk kendali atas anak yang hampir tewas karena tindakan Anda?"

Jihoon tak berkedip, “Minnie masih hidup, kan?"

Diam. Lalu ia tersenyum, tapi bukan senyum seorang ayah. Senyum dingin yang membuat bulu kuduk berdiri.

"Saya yakin suatu saat dia akan mengerti. Anak-anak memang suka melawan. Tapi pada akhirnya, mereka akan selalu kembali kepada ayah mereka," ucap Jihoon dengan santai.

Penyidik menutup berkasnya, “tuan Kim Jihoon, Anda akan didakwa dengan pasal berlapis, yaitu penculikan, penyekapan, penganiayaan berat, dan kekerasan terhadap anak. Termasuk pemerkosaan terhadap anak di bawah umur dengan status hubungan keluarga."

Jihoon diam, tapi senyum itu tetap mengendap di wajahnya.

"Sampai jumpa di pengadilan," tambah penyidik sambil berdiri, “kali ini, tidak ada panggung untukmu, Bajingan."

...----------------...

Suasana ruang tunggu ICU rumah sakit terasa beku. Lampu redup dan aroma antiseptik memenuhi udara. Yujin duduk sendirian di bangku paling ujung. Di tangannya tergenggam erat kemeja sekolah Sumin yang sobek di banyak bagian, noda darah kering masih terlihat samar.

Ia tak menangis lagi. Matanya sudah terlalu kering untuk mengeluarkan air mata. Tatapannya kosong, menembus jendela yang memperlihatkan langit senja yang mulai memudar.

Langkah kaki terdengar perlahan dari arah koridor. Sepasang kaki berhenti tak jauh dari tempatnya duduk.

“Yujin…”

Suara itu berat, penuh gentar. Yujin menoleh perlahan. Di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya dengan mantel hitam panjang dan mata sembab. Ia membawa tas tangan kecil dan sekotak nasi dari toko dekat rumah sakit.

Chungyeon. Ibunya Jihoon dan Jisung. Ibu mertuanya.

Wanita itu meletakkan kotak di bangku sebelah, lalu tanpa banyak kata, perempuan tua itu berlutut di depan Yujin. Lututnya menyentuh lantai dingin rumah sakit dengan tubuh gemetar.

“Nak … aku tidak punya wajah untuk menemuimu. Tapi aku tetap harus datang,” lirih Chungyeon diiringi tangisan pelan.

Yujin menatap ibu mertuanya dengan mata kosong dan tidak berkata apa-apa.

Chungyeon menunduk dalam-dalam. Suaranya bergetar hebat.

“Anakku … anak yang kubesarkan bersama suamiku melakukan hal yang bahkan aku sendiri tidak bisa bayangkan. Aku mohon … atas nama keluarga kami, atas nama darah yang masih mengalir di tubuh Jisung dan cucu-cucuku. Maafkan aku.”

Air matanya jatuh satu-satu ke lantai. Ia tidak berani menatap menantu pertamanya. Matanya sudah terlalu lama menolak kenyataan bahwa Jihoon, putra sulungnya, telah berubah menjadi monster.

“Aku tahu permintaan maafku ini tidak akan pernah cukup. Tidak akan pernah bisa menebus semua luka. Tapi aku tidak bisa tinggal diam, Yujin. Aku tidak akan membela Jihoon. Tidak di pengadilan, tidak di media. Tidak di hatiku. Aku hanya ingin menjadi sosok ibu yang masih bisa kamu percaya. Aku ingin berdiri di pihak kalian. Di pihak Sumin, cucuku,” suara lemah Chungyeon masih terdengar pilu.

Hening. Hanya suara jarum jam dan mesin pendingin yang terdengar di ruang tunggu itu. Setelah beberapa detik, Yujin bangkit berdiri. Ia menatap Chungyeon yang masih berlutut di lantai.

Perlahan, ia menjulurkan kedua tangan, dan menyentuh bahu wanita itu, “bangun, Ibu.”

Chungyeon mendongak, matanya merah. Yujin membantu Chungyeon berdiri, lalu memeluknya erat. Bukan sebagai menantu, bukan pula sebagai ibu dari korban dan pelaku, tapi sebagai dua wanita yang sama-sama kehilangan anak mereka, dengan cara yang berbeda.

“Terima kasih,” bisik Yujin, suaranya pecah, “bukan karena ibu datang sebagai ibu Jihoon, tapi karena ibu datang sebagai Yang Chungyeon. Perempuan yang mengerti perasaan seorang ibu sepertiku.”

Dua orang ibu itu menangis dengan tubuh berpelukan saling menguatkan.

...🥀🥀🥀🥀🥀...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!