Seorang gadis muda yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam laut lepas. Tetapi, alih-alih meninggal dengan damai, dia malah bereinkarnasi ke dalam tubuh putri buangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keadaan Yang Lemah
Jinhai memapah tubuh Sanghyun sudah tak sadarkan diri menuju sebuah gua kecil di balik semak belukar. Nafas Sanghyun tersengal, perutnya yang terluka mengeluarkan banyak darah dan keringat dingin yang terus mengalir. Di sisi lain, Putri Minghua terus menggenggam erat tangan pria itu, seolah takut jika satu detik saja ia melepaskan, Sanghyun akan benar-benar pergi untuk selamanya.
Tubuh Sanghyun dibaringkan dengan sangat hati-hati di mulut gua. Putri Minghua langsung berlutut di samping Sanghyun, tangannya bergetar saat menyentuh wajah pucat itu. Hatinya mencelos melihat bibir Sanghyun yang membiru, dan napasnya yang terdengar sangat berat.
"Sanghyun… kau dengar aku, kan?" ucapnya lirih, suaranya bergetar oleh ketakutan yang tak mampu ia sembunyikan. Air mata mulai menggenang di sudut matanya.
Jinhai menatap keduanya sejenak, lalu menoleh ke arah hutan. "Aku harus kembali. Putri Xiaolan dan kekasihnya masih ada di sana… " ujarnya cepat, meski napasnya sendiri masih belum sepenuhnya teratur.
Putri Minghua mengangguk dengan wajah basah, lalu menggenggam tangan Sanghyun lebih erat. "Hati-hati, Jinhai… dan cepat kembali."
Tanpa banyak kata, Jinhai berlari kembali ke arah hutan, meninggalkan jejak-jejak lumpur di belakangnya. Sementara itu, di dalam gua kecil yang sempit, hanya ada suara napas lemah Sanghyun yang menjadi saksi bisu perjuangan hidup dan rasa cinta yang tak terucap.
Putri Minghua menyeka keringat dari dahi Sanghyun, meski tangannya gemetar hebat. "Kalau kau mati… aku tak akan maafkan diriku sendiri," bisiknya lirih, suaranya pecah oleh tangis yang akhirnya tumpah. "Jangan mati… Sanghyun, kumohon… tetaplah hidup. Untukku…"
Putri Minghua menatap Sanghyun yang terbaring lemah dengan mata yang mulai tertutup. Hatinya mencelos, tubuhnya gemetar menahan kepanikan yang perlahan menyelimuti seluruh dirinya. Ia menggigit bibir, memaksa pikirannya untuk tetap tenang.
"Aku harus… aku harus menyelamatkannya…" bisiknya lirih.
Tanpa pikir panjang, ia menutup matanya, lalu meletakkan kedua telapak tangannya di atas perut Sanghyun. Suhu tubuh pria itu sangat dingin, membuat tangannya bergetar keras, namun ia tak mundur. Sinar lembut mulai keluar dari telapak tangannya, cahaya hangat kekuatan penyembuh yang telah lama tidak ia gunakan sepenuhnya.
Mata Putri Minghua berkaca-kaca. Ia tahu, meski Sanghyun selalu terlihat dingin, selalu berkata menyakiti hati dan menjaga jarak, namun jauh di dalam hatinya, pria itu peduli. Sangat peduli. Tatapan mata itu… pelukan singkat itu… semuanya menyimpan perasaan yang tak pernah diungkapkan.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi… Kau dengar? Tidak sekarang… tidak seperti ini…"
Tangisnya pecah seiring dengan cahaya yang semakin terang menyelimuti tubuh Sanghyun. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi pipinya yang sudah memerah. Ia tak peduli matanya sembab, tak peduli tubuhnya mulai gemetar karena kelelahan. Yang ia tahu, Sanghyun harus hidup.
"Kalau kau pergi… aku akan sendiri lagi… aku tidak siap kehilanganmu…"
Di tengah usahanya yang tak henti, langkah kaki terdengar mendekat. Jinhai muncul dari balik semak, napasnya memburu. Di punggungnya, Wei tampak terkulai lemah dan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya akan bangun dari pingsannya. Di belakang mereka, Putri Xiaolan berjalan tertunduk. Raut wajahnya suram, matanya basah. Ada kesedihan dalam setiap langkahnya, seolah dunia sedang runtuh di pundaknya.
Namun berbeda dengan Tantan. Bocah kecil itu justru tampak senang berlarian ke sana kemari meski kakinya terperosok di lumpur beberapa kali. Dia tertawa pelan, berjingkat-jingkat di sekitar pohon, tampak tak sadar bahwa dunia di sekitarnya sedang kacau.
"Putri Minghua!" panggil Jinhai dengan suara berat. "Bagaimana keadaannya?!"
Putri Minghua tidak menjawab. Ia masih memejamkan mata, terus memusatkan kekuatan penyembuhnya meski napasnya mulai tersendat. Keringat bercucuran dari pelipisnya, wajahnya pucat, namun ia tetap memaksa.
Putri Xiaolan berlari kecil menghampiri, memeluk tubuh Tantan agar tidak menjauh terlalu jauh. Ia memandang ke arah Sanghyun dan Putri Minghua dengan mata yang penuh kekhawatiran. Jinhai segera membaringkan Wei di sisi lain gua, dan menutup bagian mulut gua dengan beberapa ranting dan daun agar tidak ada yang tahu bahwa mereka sedang berada di sana.
Suasana gua menjadi sunyi. Hanya suara burung berkicauan dan isakan pelan dari Putri Minghua yang masih berusaha dengan sisa-sisa kekuatannya.
Dalam keheningan itu, seberkas cahaya dari tangan Putri Minghua tiba-tiba meredup, lalu mulai padam perlahan. "Kenapa dengan kekuatanku?" ia bertanya pada dirinya sendiri dengan heran.
Putri Xiaolan perlahan menghampiri Putri Minghua yang masih terduduk di sisi Sanghyun. Dengan tatapan penuh iba, ia menepuk pelan pundak Putri Minghua yang tampak kelelahan, wajahnya masih sembab dan kulitnya pucat seperti kertas.
"Lebih baik Kakak istirahat dulu untuk memulihkan tenaga," ucap Putri Xiaolan lembut, suaranya pelan namun penuh perhatian. Senyuman tipis terukir di wajahnya, meski jelas terlihat lelah dan luka di hatinya belum sembuh. Namun ia tetap berusaha kuat, untuk mereka semua.
Putri Minghua menoleh perlahan, menatap mata Putri Xiaolan sejenak sebelum mengangguk lemah. “Iya… kau benar.” Suaranya nyaris seperti bisikan, penuh letih dan emosi yang belum reda.
Lalu ia duduk dengan perlahan, menempelkan punggungnya ke dinding gua yang lembap dan dingin. Tubuhnya gemetar kecil, namun ia tidak menjauh dari Sanghyun. Justru sebaliknya, ia duduk tepat di samping pria itu, menggenggam tangannya yang dingin dengan lembut. Jemarinya seakan menyalurkan sisa-sisa kehangatan yang tersisa dari kekuatan penyembuh yang tadi menguras habis tenaganya.
Mata Putri Minghua menatap wajah Sanghyun yang tenang, meski masih belum sadar sepenuhnya. Hatinya dipenuhi rasa cemas, namun juga harap. Ia ingin Sanghyun membuka mata dan berbicara padanya, walau hanya satu kata.
Keheningan yang singkat itu dipatahkan oleh suara Jinhai yang bertanya dengan nada hati-hati namun tegas.
“Putri, kapan kita akan kembali ke istana?”
Pertanyaan itu membuat napas Putri Minghua tercekat sejenak. Matanya menatap kosong ke arah mulut gua yang dipenuhi cahaya samar dari matahari yang mulai merambat masuk. Dalam benaknya, pertanyaan itu bukan hanya tentang waktu, tapi tentang keselamatan… tentang pengkhianatan… dan tentang siapa yang masih bisa dipercaya di dalam tembok istana itu.
“Mungkin… nanti,” jawabnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam suara burung hutan yang berkicau dari kejauhan. “Atau… mungkin esok hari.”
Ia menunduk, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih rendah, “Kita belum tahu bagaimana keadaan di sana sekarang. Apakah istana masih utuh atau tidak, kita juga tidak tau. Istana bukan lagi tempat yang bisa kita datangi dengan mudah. Terlalu banyak… musuh dalam selimut. Dan di luar sana, para pemburu… mereka mengira kita adalah ancaman.”
Putri Xiaolan menoleh dengan khawatir. “Kau takut mereka akan menyerang kita juga?”
Putri Minghua mengangguk pelan. “Aku tak bisa mempertaruhkan nyawa kalian semua hanya untuk kembali ke tempat yang belum pasti keamanannya. Kita harus menunggu… setidaknya sampai Sanghyun dan pria itu pulih. Dan Tantan… dia tak boleh ikut terseret dalam semua ini.”
Jinhai terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu, namun akhirnya mengangguk singkat, menerima keputusan itu.
“Aku mengerti,” katanya akhirnya. “Aku akan berjaga malam ini. Kalau ada gerakan dari luar, aku akan membangunkan kalian.”
Putri Minghua menatapnya dan mengangguk. “Terima kasih, Jinhai. Aku sangat menghargai itu.”