Alea Permata Samudra, atau yang akrab di sapa Lea. Gadis cantik dengan kenangan masa lalu yang pahit, terhempas ke dunia yang kejam setelah diusir dari keluarga angkatnya. Bayang-bayang masa lalu kehilangan orang tua dan mendapatkan perlakuan buruk dari keluarga angkatnya.
Dalam keterpurukannya, ia bertemu Keenan Aditya Alendra, seorang mafia kejam, dingin dan anti wanita. Keenan, dengan pesonanya yang memikat namun berbahaya, menawarkan perlindungan.
Namun, Lea terpecah antara bertahan hidup dan rasa takut akan kegelapan yang membayangi Keenan. Bisakah ia mempercayai intuisinya, atau akankah ia terjerat dalam permainan berbahaya yang dirancang oleh sang mafia?
Bagaimana kehidupan Lea selanjutnya setelah bertemu dengan Kenan?
Langsung baca aja kak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Ken yang ingin meminta bantuan Papi Arga langsung cabut dari markas menuju mansion Alendra. Ia sama sekali tidak tahu kalau Lea dan Mami Monica sedang ada di mansion juga, karena sebelumnya Mami Monica dan Lea sudah pamit keluar padanya.
Ken merasa sedikit heran, kenapa Mami Monica sudah di mansion, padahal biasanya jika sudah pergi keluar, Mami Monica akan menghabiskan waktu seharian di luar.
Sambil menatap kedua wanita yang sedang asyik mengobrol, Ken masih bingung.
Tiba-tiba, Papi Arga menghampiri Ken yang tengah memperhatikan keakraban Lea dan Mami Monica. Keduanya saling pandang saat mendengar candaan dari Mami Monica dan Lea.
"Ekhem!!"
Sebuah suara dehem pelan terdengar dari belakang Mami Monica dan Lea yang sedang asyik berbincang. Mereka langsung menoleh cepat, mata mereka membulat sempurna karena kaget.
Di depan mereka berdiri dua sosok pria tampan dengan usia berbeda, menatap mereka dengan ekspresi aneh sembari melipat tangan di dada.
“Papi?”
“Kak Ken?” seru keduanya serempak, menyebut nama pria masing-masing.
“Sejak kapan kalian ada di sini?” tanya Mami Monica dengan suara setengah terkejut, setengah geli, matanya menyapu wajah keduanya.
“Sejak kalian mulai ngomongin kita,” jawab Ken dengan nada penuh kemenangan, senyum nakal terpancar di wajahnya.
Papi Arga ikut menimpali, “Ternyata kita cuma dimanfaatkan sama dua wanita cantik ini, ya, Ken?”
Ken mengangguk sambil tersenyum jahil. “Iya, sepertinya mereka harus kita kasih hukuman, Pi," tambah Ken.
“Setuju, hukuman yang pantas," jawab Papi Arga dengan senyum nakalnya.
Lea dan Mami Monica saling pandang, dengan sikap waspada sekaligus penasaran. “Hukuman? Emangnya apa yang kalian inginkan?” tanya Mami Monica, mencoba menebak.
Ken dan Papi Arga hanya saling bertukar senyum nakal, lalu Ken berkata, “Rahasia. Nanti juga kalian akan tahu.”
Setelahnya mereka berdua berjalan mendekati meja makan, mengabaikan tatapan ingin tahu dari kedua wanitanya itu, dengan ekspresi cuek dan wajah datarnya.
"Lebih baik kita makan saja dulu, Pi," ajak Ken tanpa menoleh pada Lea dan Mami Monica. Mereka berdua langsung ambil posisi masing-masing di meja makan.
Ken mengendus aroma wangi masakan yang sudah tersaji di atas meja.
"Kelihatannya enak banget ini, Pi," ujar Ken tanpa mengalihkan pandangannya pada hidangan yang menggugah selera di hadapannya. Gegas ia mengisi piringnya dengan nasi serta lauknya, di ikuti Papi Arga yang juga melakukan hal yang sama.
Mami Monica dan Lea saling pandang melihat kelakuan kedua anak dan ayahnya itu.
Mereka merasa aneh sekaligus geli melihat tingkah keduanya, yang biasanya akan berdebat kecil jika bertemu, tapi kali ini, terlihat sangat kompak.
"Ekhem, enak enggak?" tanya Mami Monica, pada Ken dan Papi Arga yang sangat lahap dengan makanannya.
Keduanya dengan kompak mengangguk kepalanya tanpa menoleh dari piring masing-masing, dan tanpa sadar pula mereka berdua sudah merespon ucapan Mami Monica, padahal tadi niatnya pura-pura ngambek sama Mami Monica dan Lea.
Lea dan Mami Monica saling pandang lalu terkekeh pelan.
“Sayang, ayok kita makan juga, sebelum semuanya dihabiskan oleh pria-pria ini,” goda Mami Monica pada Lea dengan nada menyindir ringan.
Ken dan Papi Arga tetap fokus menyantap hidangan, tak menggubris ajakan mereka. Akhirnya, keempatnya melanjutkan makan dalam keheningan yang nyaman.
Tiba-tiba, suara ceria seorang anak kecil memecah suasana.
"Kakak tampan Caca cantik datang!" Serunya dengan riang sambil melompat kecil membuat rambut kepang duanya ikut berayun mengikuti langkahnya.
Semua langsung menoleh ke arah suara itu. Di sana berdiri Caca, gadis kecil menggemaskan dengan mata berbinar dan senyum lebar, diikuti oleh Satria dan seorang wanita cantik yang tak lain adalah sahabat mami Mami Monica bernama Maria (mamanya Caca dan Satria).
Mami Monica segera berdiri dan menyambut dengan hangat, “Maria? Caca, Satria, ayo sini gabung dengan kami.”
Caca berlari kecil dengan riang, melompat-lompat hingga sampai di kursi kosong di dekat Lea. Ia langsung naik ke kursi itu dengan antusias.
“Wah, makanannya enak-enak banget, buat pelut Caca lapal!” ucap Caca dengan suara polos, masih belum sempurna mengucapkan huruf “r”.
Lea tersenyum lebar, lalu mencubit pipi Caca dengan lembut, “Gemes banget sih kamu, Caca.”
“Ih, jangan dicubit dong, Kakak cantik! Nanti pipi Caca bisa kempes!” protes Caca sambil memasang wajah cemberut yang menggemaskan, membuat Lea terkekeh.
“Maaf ya, Kakak cuma gemas,” ujar Lea sambil tersenyum manis.
Caca berpura-pura memegang dagunya seolah sedang merenung, “Hm, maafin gak ya?”
“Ok, karena Kakak sangat cantik, jadi Caca maafin,” jawab Caca sambil tersenyum manis.
“Terima kasih, Caca cantik. Sekarang kita lanjut makan, ya? Caca pasti lapar, sini biar Kakak isiin nasi,” tawar Lea dengan penuh perhatian.
Caca menyerahkan piringnya pada Lea dengan antusias. Semua yang hadir menyaksikan interaksi itu dengan senyum kagum, terutama karena Caca bukan anak yang mudah didekati oleh orang asing.
Lea meletakkan nasi dan lauk di piring Caca dengan hati-hati. Ken yang memperhatikan dari dekat menyunggingkan senyum kecil, membayangkan masa depan yang cerah bersama Lea.
“Silakan makan,” kata Lea ramah.
Dengan mata berbinar-binar Caca mengangguk pelan.
"Terima kasih Kakak cantik," ucapnya tulus.
***
Sedangkan di kediaman keluarga Hermawan, suasananya berbeda.
Mira dan Mia pulang ke rumah dengan wajah kusut, sambil komat-kamit tak jelas, membuat Rizal yang sedang menikmati hari liburnya dengan membaca koran di ruang tamu menjadi penasaran.
“Kalian pulang-pulang wajah kalian kok kusut gitu?” tanya Rizal penuh tanda tanya.
“Ini semua gara-gara anak pungut itu, Pa,” jawab Mira dengan wajah kesal.
“Maksud Mama, Lea? Kalian ketemu Lea? Di mana? Apa dia baik-baik saja?” tanya Rizal dengan nada semangat, tapi juga tersirat kekhawatiran di matanya.
“Ih, Papa, kenapa malah mikirin si anak pungut, sih?” kesal Mia melihat kekhawatiran di wajah sang Papa.
Sebenarnya, Rizal merasa sedikit bersalah kepada almarhum orang tua Lea. Ia merasa tidak bisa menjaga amanah keduanya. Namun, ia juga tak bisa bertindak karena istri dan anaknya sangat membenci Lea. Rizal sebenarnya tidak berniat mengusir Lea, tapi ia juga tidak mungkin mempertahankan Lea di rumahnya.
Rizal berpikir, dengan ia keluar dari rumah ini, Lea akan menemukan kebahagiaannya sendiri tanpa perlu lagi menerima tekanan dari istri dan anaknya. Malam itu, ia hanya berperan memainkan drama yang diciptakan oleh istri dan anaknya saja.
Rizal tahu betul bahwa bukti yang ditunjukkan Mia tidaklah benar, hanya rekayasa semata. Sebagai pengacara berpengalaman puluhan tahun, ia sangat tahu mana bukti yang asli dan yang palsu.
“Papa cuma penasaran, Mia,” jelas Rizal beralasan.
“Hm, anak itu sekarang makin besar kepala. Dia malah dipungut sama keluarga Alendra,” jelas Mia dengan nada kesal dan marah.
“Papa tahu? Bahkan gara-gara Lea, Tante Monica membatalkan makan malam aku sama Keenan waktu itu,” lanjutnya lagi.
Rizal mengerutkan keningnya Rizal lalu beralih menatap sang istri seolah mencari informasi lebih lanjut.
“Iya, Pa. Bahkan Nyonya Monica sangat menyanjungnya. Entah mantra apa yang anak itu gunakan untuk memikat keluarga Alendra,” jelas Mia dengan nada mengebu-gebu.
Rizal diam-diam menarik napas lega. “Syukurlah Lea ada di tangan yang tepat,” batinnya.
“Pokoknya, aku akan membalas semua ini. Enak saja Lea mengambil Keenan dari aku!” ujar Mia dengan mata memerah, sambil meremas kuat jari-jari tangannya.
“Mia, sudah. Jangan ganggu Lea lagi. Biarkan dia mengurus hidupnya sendiri. Lagipula, Papa tidak mau berurusan dengan keluarga Alendra jika terjadi sesuatu nanti. Mereka bukan tandingan kita,” peringat Rizal tegas pada putri semata wayangnya itu.
Tapi Mia hanya diam sejenak, lalu bergumam pelan dalam hati, “Tunggu saja, pembalasan dari aku, anak pungut.”