"Jika memang kamu menginginkan anak dari rahim ku, maka harganya bukan cuma uang. Tapi juga nama belakang suami mu."
.... Hania Ghaishani .....
Ketika hadirnya seorang anak menjadi sebuah tuntutan dalam rumah tangga. Apakah mengambil seorang "madu" bisa menjadi jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilihan
Sinar mentari tak mampu menembus pekatnya gelap awan. Langit Jakarta seolah menangis tanpa suara. Air langit turun menyapa bumi dengan derasnya sejak dini hari, menampar jendela-jendela besar mansion seperti irama kesedihan yang tak kunjung selesai. Suara air menetes dari atap mengalun lambat, menggantikan nyanyian burung yang biasanya menyambut sapaan sang surya. Tapi hari ini, tak ada sinar. Tak ada hangat. Hanya basah, dingin, dan sunyi yang mencekam.
Kamar Brivan tak berubah. Hening, diam, dan terlalu sempurna untuk disebut ruang manusia. Mesin tetap berdetak, infus masih menetes, dan tubuh lelaki itu—masih terbaring diam seperti patung yang bernafas pelan. Hanya helaan nafas yang menjadi bukti keberadaan pria itu di mansion.
Hania duduk di sisi ranjang, selimut wol menutupi lutut, tangannya yang mungil menggenggam jari Brivan dengan harap dan doa yang tak bersuara. Matanya sembab, tapi tak menangis. Ia sudah melewati malam-malam lebih parah dari ini. Malam dimana keputuasaan dan gelisah menemani tiap ia ingin terlelap.
Derit pintu membuat Hania menegkkan badannya, Pintu terbuka pelan. Hania menatap wanita berseragam putih yang berdiri diambang pintu, dengan wajah datar. Sejenak kilasan kejadian semakam telintas, tubuh Hania membeku ragu. Pikirannya terombang-ambing pada apa yang Fira katakan. Apa semua itu nyata atau sekedar berhalusinasi Hania, mungkin karena Hania begitu putus asa sampai memikirkan itu.
Suster Fira masuk, dengan langkah tenang, susana tiba-tiba berat untuk pagi sepagi ini. Rambutnya masih sedikit basah. Seragam putihnya sedikit kusut, dan wajahnya… kosong. Tak ada gurat kekhawatiran. Tak ada kelelahan. Bahkan tak ada empati. Yang tersisa hanya dingin yang menular pada udara di sekitarnya.
Di tangannya, ia membawa baki logam kecil, dan di atasnya—ampul kecil berisi cairan berwarna biru pucat hampir transparan.
Obat yang seperti biasanya. Obat yang membuat Brivan tetap terlelap, menenggelamkan kesadarannya dalam tidur paksa yang tak berujung. Tapi pagi ini… ada yang berbeda.
Tanpa suara, Fira berjalan mendekat, Hania sedikit bergeser, memberi ruang pada Fira untuk lebih dekat. Tak ada yang mengeluarkan suara, hanya hening yang canggung menggantung diantara ke dua wanita itu. Lalu dengan gerakan perlahan, Fira mengambil ampul itu dan meletakkannya di tangan Hania
Tubuh Hania menegang seketika, menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba kering. Hanya sepasang mata Fira menatapnya lelah, lalu sebaris kalimat yang mengguncang ia ucapkan.
“Sekarang ini milikmu. Mau kau suntikkan… atau tidak, itu terserah kamu, Hania.”
Hania menatap cairan dalam ampul itu seperti menatap dosa.Tubuhnya seketika panas meski udara begitu dingin. Seperti ada bara dalam dadanya. Ia ingin menangis, ingin teriak… tapi yang keluar hanya napas memburu dan keringat dingin yang merembes dari pelipis.
“Ke-kenapa kamu… melakukan ini?” bisiknya dengan ragu yang bergelayut.
Fira hanya menatap. Tatapan kosong yang tak ada emosi yang terlihat.
“Aku sudah kehilangan satu-satunya alasan aku bertahan,” jawab Fira pelan.
“Sekarang… mungkin sudah waktunya aku melakukan sesuatu yang benar.”
Lalu wanita itu berbalik. Langkahnya menjauh, tanpa sepatah kata pun lagi. Tak menunggu reaksi. Tak berharap terima kasih. Ia hanya pergi.
Dan di tangan Hania—ampul itu terasa seperti beban seberat dunia.
Tangannya gemetar saat membuka tutup suntikan. Jarum yang tipis dan tajam menyala dalam cahaya suram kamar, seolah mengerti makna dari keputusan ini.
Hania menatap wajah Brivan. Lelaki yang bahkan belum pernah memanggilnya dengan lembut. Yang hanya ia kenal dari luka dan diam. Tapi di balik diam itu, entah kenapa… hatinya percaya, Brivan adalah satu-satunya cahaya yang harus diselamatkan.
“Aku tidak tahu ini salah atau benar…” bisiknya, nyaris tak terdengar.
“....aku hanya ingin kamu membuka mata…”
Jarum itu menyentuh kasur. Pelan, lalu ditekan hingga cairan obat keluar perlahan dan mengalir sia-sia ke busa. Hania menggigit bibir. Matanya memejam kuat.
Dia sudah memilih.
Dia sudah menolak menjadi bagian dari kebohongan yang memperpanjang tidur seseorang yang harusnya hidup. Hania meletakkan suntikan kosong itu di baki, lalu menggenggam tangan Brivan lebih erat. Dunia di luar mungkin masih hujan,tapi di dalam hatinya… sebuah musim baru mulai tumbuh.
Meski Hania tidak tahu apa yanga kan terjadi saat Brivan benar-benar bangun dan sadar. Hania akan semakin tersisi atau justru lebih punya tempat di penjara mewah ini. Semua masih abu-abu. Hania tidk berharap Brivan melihatnya sebagai seorang istri, karena nyatanya hubungan yang mengikat hanya sekedar janji diatas hitam putih. Dia hanya ingin Brivan tahu, dia pernah ada di sisinya, menjadi salah satu tokoh dalam perjalanan hidupnya. Meski peran Hania tidak lebih dari seorang figuran.
untuk Hania dan Fira tetaplah seperti biasa jika melihat Brivan bangun.
bangun segera,agar kamu mengetahui kepahitan yang dirasakan oleh haniah
.nnti aja sadarnya pas ada Hania sma Fira