SUDAH TERBIT CETAK
Cinta bertepuk sebelah tangan Anja mempertemukannya dengan Cakra, siswa paling berandal di sekolah.
Hati yang terluka bertemu dengan apatis masa depan akhirnya berujung pada satu kesalahan besar.
Namun masalah sesungguhnya bukanlah hamil di usia 18 tahun. Tetapi kenyataan bahwa Cakra adalah anak panglima gerakan separatis bersenjata yang hampir membuat papa Anja terbunuh dalam operasi penumpasan gabungan ABRI/Polri belasan tahun silam.
Beautifully Painful.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Cinta Selalu Ada (3)
Anja
Ayam tangkap buatan Mamak yang tercium keharumannya hingga ke seluruh ruangan di dalam rumah telah tersaji di atas meja ruang tamu. Lengkap dengan nasi putih hangat yang masih mengepulkan asap.
Ia ikut membantu menata piring dan gelas di atas meja, ketika sudut matanya menangkap Cakra yang sedang duduk di samping Salma sambil menerangkan sesuatu. Pemandangan yang sangat biasa namun entah mengapa membuat hatinya bagai tertusuk duri.
Hell no, Anja!
Stop it right now!
Mereka akhirnya makan bersama. Mamak, Kak Pocut, Cakra, Icad, Umay, Sasa, Salma, dan dirinya. Ia memilih duduk di sebelah Mamak, karena ini adalah jarak terjauh dari Cakra yang duduk bersebelahan dengan Salma. Meski begitu, sudut matanya seolah tak pernah jera untuk menangkap bayangan Cakra yang makan sambil sesekali ngobrol dan tertawa lepas dengan Salma.
Anja, are you okay?
No, i'm not okay, keluhnya kesal pada diri sendiri.
Usai makan, ia -pura-pura sibuk- membantu Kak Pocut mencuci piring di dapur meski berkali-kali dilarang, "Duduk saja di depan."
Namun tetap ia lakukan. Semata-mata agar bisa mendistraksi pikiran dari Cakra dan Salma yang sepanjang waktu acara makan bersama selalu saling berbisik kemudian tertawa-tawa seolah dunia milik berdua.
Saat ia -ikut-ikutan- mencuci piring itulah Salma pamit pulang dengan diantarkan oleh Cakra. Dan baru kembali ke rumah beberapa saat setelah lewat waktu Maghrib. Ketika ia baru selesai melipat mukena yang dipinjamkan oleh Kak Pocut untuk dikenakannya saat menunaikan sholat tadi.
Ia sedang bermain tebak-tebakan dengan Icad, sementara Mak mengaji, sedang Kak Pocut tengah membantu Umay dan Sasa mengerjakan PR ketika Cakra memasukkan motor ke dalam rumah.
"Kenapa dimasukkin?" tanyanya heran.
"Kita pulangnya naik Taxi, biar kamu nggak kedinginan," jawab Cakra sambil lalu namun berhasil membuat hatinya mencelos.
Saat berpamitan pulang, Mak memeluknya erat dan mengelus punggungnya pelan, "Cepat kabari Mamak kalau kami sekeluarga sudah boleh silaturahmi ke rumah Anjani."
Sembari menyerahkan sekotak penuh ayam tangkap yang masih hangat.
"Mamak nggak bisa bawakan apa-apa nak. Cuma sedikit lauk untuk teman makan."
Membuatnya spontan kembali memeluk tubuh kurus Mamak karena teringat pada Mamanya sendiri. Oh Mama, baru dua hari tak bertemu serasa berabad-abad lamanya. Anja kangen Ma. Apa kabar Papa, Ma? Sembari berjanji di dalam hati, besok ia akan pergi ke rumah sakit untuk menemui Mama dan Papa.
"Kak Anjaaa, kapan kapan main kesini lagi yaa," pinta Sasa sambil tersenyum lebar. "Nanti kita main Barbie sama bikin slime yang lebih seruuuu lagi."
Ia mengangguk setuju, "Besok sekalian kakak bawain rumah-rumahan barbienya."
"Oya?!" mata Sasa membulat tak percaya. "Kakak punya rumah-rumahan Barbie?!"
Lagi-lagi ia mengangguk, "Sama supermarketnya sekalian," lanjutnya sambil tersenyum lebar. "Nanti kita bisa belanja di supermarket pakai troli."
"Oya?!? Asyik....asyik...asyiiik...seruuuuu!!!" Sasa melompat-lompat kegirangan sambil berusaha memeluknya.
"Kak...kak...tahu nggak kenapa zombie kalau nyerang mesti rame rame?" tanya Icad waktu ia melewati bocah yang berwajah paling mirip dengan Cakra itu.
Ia berpikir sejenak namun sedetik kemudian menggeleng, "Kenapa?"
"Karena kalau nyerang sendiri namanya zomblo."
"Hahahahaha......," meledaklah tawa semua yang ada disana, kecuali Cakra yang hanya diam sambil memandangnya lekat-lekat.
"Kak...kak...satu lagi," ujar Icad ketika ia sedang memakai sepatu di teras.
"Apa?"
"Siapa presiden yang unyu unyu?!"
Ia meringis sambil menggeleng.
"Kim Jong Unch....."
"Hahahaha.....," tawa kedua kembali meledak. Namun lagi-lagi tidak untuk Cakra yang dari tangkapan sudut matanya masih terdiam sambil terus memperhatikan dirinya.
Stop it now, Cakra!
"Dadah Kak Anjaaa!" Sasa melambai-lambaikan tangan bahkan sampai mereka berbelok di sebelah rumah Cing Mahbub, suara teriakan Sasa masih terdengar meski sayup-sayup.
"Semua yang lo lakuin hari ini buat keluarga gue, bukan hutang kan?" suara Cakra memecah kesunyian saat mereka tengah berjalan melewati deretan bangunan langgar (masjid) dan madrasah yang gelap lagi sepi.
"Apa tuh maksudnya?!" sungutnya sambil terus berjalan mendahului Cakra.
"Ya, ntar tiba-tiba lo nagih lagi ke gue untuk semua yang lo lakuin hari ini. Sementara gue udah nggak pu...."
"Eh!" ia mendadak menghentikan langkah dan menengok ke belakang. "Sekali aja lo nggak ngeledek gue bisa nggak sih?!"
Cakra tersenyum kaku, "Loh, ini bukan ngeledek, ini serius."
"Oh, jadi serius?!" ia tambah meradang. "Berarti lo suudzon (berprasangka buruk) banget sama gue!" gerutunya sambil memukul lengan Cakra.
"Emang lo pikir gue sebangsa orang pelit yang selalu main hitung-hitungan gitu?!" gerutunya lagi sambil terus memukuli lengan Cakra.
"Iya?!" kali ini ia melotot sambil memukul lengan Cakra dengan tangan terkepal, pukulan paling keras.
Namun Cakra tak sekalipun mengaduh, justru tertawa sambil memegangi lengan yang baru saja dipukulinya.
"Lo pikir gue nenek sihir yang nggak bisa berbuat baik tanpa ada maunya gitu?!" lanjutnya sambil terus melotot meski tak lagi memukuli lengan Cakra.
"Jahat banget sih lo nilai gue begitu!" ia menghentakkan kaki namun sembari berbalik ke depan dan mulai berjalan lagi.
"Emang gue seburuk itu di mata lo?!" ia masih bersungut-sungut sambil terus berjalan dengan menghentakkan kaki.
"Iya sori....," suara Cakra terdengar sedang mengejarnya dari belakang. "Gue minta maaf. Gue nggak bermaksud kesitu kok. Gue tadi cuma bercanda."
"Nggak bermaksud gimana?!" cibirnya masih merasa kesal. "Lo itu udah nyakitin hati gue tahu nggak sih?!"
Tepat saat ia mengucapkan kalimat terakhir, bersamaan dengan sampainya mereka di ujung gang. Yang langsung disambut dengan suara deru mesin kendaraan bermotor yang lewat lalu lalang dengan lampu saling berpijaran.
"Mm...," Cakra menggumam pelan. "Sebagai permintaan maaf, mau nggak gue ajak ke suatu tempat?"
Ia menoleh kearah Cakra dengan sengit, "Kemana tuh?! Asal bukan ngerjain gue!!"
Ternyata Cakra mengajaknya berjalan kaki menuju Pasar Kemiri yang terletak tak jauh dari gang menuju rumah Cakra.
"Jalan kaki sebentar nggak papa kan?"
"Apa deh?!" ia kembali mengkerut. "Mau ngejek gue lagi?!"
Cakra tertawa, "Enggak. Nanti kalau pulang dari sini lo tiba-tiba sakit badan terus pegal-pegal, gue lagi yang disalahin."
"Gue pulang aja deh kalau lo ngeledek terus!" ancamnya makin mengkerut.
Namun Cakra justru tersenyum kemudian meraih dan menggandeng tangannya, "Gue gandeng bukan apa-apa nih, jangan protes dulu. Di depan ramai orang, gue nggak mau lo tiba-tiba lepas dari mata gue trus tersesat."
"Elo!?" ia menghentakkan tangan yang sedang digenggam oleh Cakra keras-keras agar terlepas. Tapi Cakra justru semakin menautkan jemari mereka berdua.
"Di samping kiri jalan juga ada sungai lumayan dalem. Gelap kalau malam. Jadi....kita harus gandengan biar lo nggak nyusruk ke dalam sungai. Mau nyusruk ke sungai?" Cakra tersenyum penuh arti. Membuatnya hanya bisa mencibir sebal dan tak jadi menghentakkan tangan untuk yang kedua kalinya. Menurut saja digandeng sedemikian rupa oleh Cakra.
"Tiap hari Selasa sama Jumat malam tuh, disini ada pasar malam. Jadi ramai," terang Cakra saat mereka kembali melangkah.
"Rezeki banget nih, lo datang kesini pas hari Selasa, jadi bisa sekalian lihat pasar malam," lanjut Cakra yang selama bicara bibirnya tak pernah lepas menyunggingkan senyum.
"Yaa, emang cuma Pasar Malam orang kampung sih. Beda jauh pasti sama Dufan atau park park keren yang biasa lo datangi."
Ia menoleh kearah Cakra berniat untuk menggerutu, namun urung demi melihat Cakra yang bicara sambil selalu menyunggingkan tersenyum.
"Jadi, lo juga bakal nemuin hal-hal yang nggak pernah lo temuin sebelumnya. Kayak gini nih contohnya," Cakra menoleh kearahnya sambil hidungnya mengendus-endus. Namun ia tak bereaksi, masih berdiri sambil terlolong memperhatikan setiap ucapan Cakra.
"Udah kecium belum baunya?" Cakra terkekeh. "Bau sampah rada busuk."
Ia buru-buru memalingkan muka sambil memutar bola mata kesal. "Jorok banget sih! Kayak gini tuh nggak usah dibahas!"
"Sebagai guide yang baik, gue menganut asas transparansi demi kepuasan pelanggan. Daripada lo kecewa trus ngeluh di belakang. Hayo?!"
"Emang gue tipe orang gampang ngeluh gitu?!"
"Banget," jawab Cakra tertawa sambil melepaskan genggaman tangan mereka dan berlari menjauh.
"Sialan! Awas lo ya!" gerutunya sebal namun sambil berusaha menahan senyum untuk kemudian mengejar langkah Cakra.
Benar juga kata Cakra, suasana pasar malam ini ramai sekali. Banyak orang berjalan kaki di sepanjang sisi pasar sambil sesekali mampir ke kios-kios yang ada untuk membeli berbagai keperluan atau pun hanya melihat-lihat saja.
Antrian pengendara motor yang seolah tiada habisnya dan tempat parkir yang meluber tak mampu menampung seluruh kendaraan yang datang, semakin menambah padat suasana.
"Lo mau nyobain makanan apa? Gue yang traktir," ujar Cakra saat mereka berjalan melewati deretan kios sayur mayur dan buah-buahan.
"Sombong amat!" cibirnya sebal.
Namun Cakra tak menghiraukan cibirannya. Sambil terus menggandeng tangannya, Cakra mulai menawarkan deretan penjual jajanan yang kini sedang mereka lewati, "Sostel mau nggak?"
"Apaan tuh?" kernyitnya heran.
"Sosis telur. Masa nggak tahu sih? Di depan sekolah kita kan suka ada yang mangkal."
Namun Cakra buru-buru meralat ucapannya sendiri, "Oya gue lupa, elo kan jajannya selalu di kantin. Trus pulang sekolah pasti langsung naik mobil jemputan. Nggak pernah mampir jajan di pinggir jalan kay...."
BUG!
Ia memukul lengan Cakra dengan kesal, "Mulai deh!"
Cakra terkekeh sambil berteriak, "Sostel dua Bang!"
Ia pun memperhatikan bagaimana cara penjual Sostel membuat pesanan mereka. Pertama, dengan memanaskan cetakan warna hitam yang memiliki lubang berjumlah 10 deret. Kemudian memasukkan minyak goreng ke tiap lubang cetakan. Meratakannya dengan kuas panjang. Mengocok telur yang telah diberi garam, potongan daun bawang, seledri dan mi....
"Bang, pesenan kita berdua nggak pakai micin ya," suara Cakra memecah konsentrasinya memperhatikan gerik penjual Sostel.
"Siaaap!" jawab penjual Sostel sambil mengacungkan jempol.
Sekarang penjual Sostel mulai memasukkan telur yang telah dikocok ke dalam cetakan, baru kemudian memasukkan sosis yang telah ditusuk dengan tusukan sate.
Sekitar lima sampai sepuluh menit kemudian mulai keluar buih dari dalam cetakan, tanda bahwa Sostel sebentar lagi akan matang. Dan akhirnya, perlahan-lahan cetakan mengeluarkan Sostel yang telah matang.
"Pakai apa aja nih?" tanya penjual Sostel.
"Semua Bang. Kamu?" Cakra beralih padanya.
"Mayonaise sama saos sambal aja," jawabnya sambil terus memperhatikan gerik si penjual Sostel.
Pesanan mereka pun jadi, dengan Cakra yang langsung mengulurkan uang untuk membayar.
"Makasih loh traktirannya," selorohnya sambil menggigit sedikit Sostel karena masih panas.
"Ini sih recehan, nggak ada apa-apanya dibanding traktiran kamu yang harganya mahal-mahal itu."
Membuatnya melotot kesal, namun tak berlangsung lama karena kini Cakra tengah tersenyum sambil meniupi Sostelnya.
"Masih panas ya?" Cakra kembali meniupi Sostelnya.
"Ih!" membuatnya buru-buru menjauhkan diri. "Makanan panas tuh jangan ditiup! Nggak boleh!"
"Kenapa?" Cakra mengernyit heran.
"Pertama, lo bakal nyebarin virus sama bakteri."
"Karena, virus sama bakteri dari mulut lo bakal nempel ke makanan atau minuman. Jadi terkontaminasi deh."
"Ah, masa?"
"Kedua, bisa kena gangguan lambung. Karena, bakteri sama mikroorganisme bakal pindah dari mulut lo ke makanan sama minuman yang lo tiup."
Cakra menggelengkan kepala sambil mencibir.
"Ketiga, mungkin cita-cita jangka panjang elo nih."
"Apaan tuh?!"
"Bisa menyebabkan penyakit jantung!"
"Eh, Maemunah! Lo ngedoain gue sakit jantung?!" Cakra melotot.
Namun ia tak peduli, "Karena....pas elo niup makanan panas, air (H2O) sama karbondioksida (CO2) yang keluar dari mulut lo berubah jadi asam karbonat."
"Asam karbonat tuh zat senyawa kimia yang bisa menimbulkan penyakit jantung. Tahu nggak sih lo?!"
Cakra tertawa sumbang, "Elo ternyata pinter juga ya. Kirain...."
"Kirain apa?!" semburnya kesal. "Lo kira gue be go gitu?!"
"Bukan gue lho yang ngomong. Itu barusan lo ngaku sendi...."
"Cakra!!!" ia mengkerut sambil memukuli lengan Cakra yang justru terkekeh-kekeh kesenangan.
Beberapa menit kemudian mereka kembali berjalan menyusuri pasar malam yang semakin malam semakin ramai pengunjung.
"Enak juga," gumamnya saat menghabiskan suapan terakhir Sostelnya. "Alatnya bisa beli dimana ya? Enak kali ya kalau bisa bikin sendiri di rumah."
"Bikin sendiri apa Bibi kamu yang bikin?" seloroh Cakra sambil tersenyum mendekatkan wajah mereka berdua.
"Emang kenapa kalau Bi Enok yang bikin?!" sungutnya sebal. "Terserah gue dong. Kenapa jadi elo yang ribet?!"
Cakra hanya tertawa mendengar gerutuannya. Kemudian berkata serius, "Lo beneran mau jadi dokter gigi?"
Ia mengangguk yakin. "Kenapa emang?"
Cakra terdiam sebentar, tak lama kemudian mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Semoga tercapai ya cita-cita kamu. Nggak sabar pingin berobat ke dokter gigi Anjani Prameswari....," dengan tangan mengarah ke depan membentuk sebuah kotak.
"Pasti keren banget," lanjut Cakra lagi. "Pasti laku keras, banyak yang ngantri."
"Kok bisa? Emang sembako pakai ngantri segala?!" cibirnya tak percaya.
"Ya, habis dokter giginya cantik sih," jawab Cakra dengan senyum diku lum. "Orang jadi pada pingin sakit gigi semua deh."
Ia hanya memutar bola mata sambil menutup mulut dengan tangan untuk menahan tawa malu-malu kucing yang hampir lolos. "Jayus banget. Garing tahu nggak?!"
Cakra hanya tersenyum, "Gue serius kok."
Ia kembali memutar bola mata, "Kalau lo.... cita-citanya apa?" tanyanya benar-benar ingin tahu.
"Gue?" Cakra menunjuk dadanya sendiri.
Ia mengangguk.
Lama Cakra terdiam, ketika ia mulai tak sabar barulah Cakra bersuara, "Nggak tahu."
"Kok nggak tahu sih?!" ia mengkerut. "Masa lo nggak punya cita-cita. Keinginan gitu?!"
Cakra menggeleng, "Gue mungkin nggak akan kuliah. Atau kerja dulu, ngumpulin duit buat kuliah."
"Elo kan bisa ngajuin beasiswa?!?"
"Beasiswa?!" Cakra mengulang kata-katanya dengan nada sumbang. "Gue udah hopeless sama yang namanya beasiswa."
"Apa karena pengalaman beasiswa lo di PB?"
Cakra menatapnya tanpa ekspresi, "Lo tahu tentang itu?"
Ia menggeleng, "Dengerin kata anak-anak aja sih. Dan mungkin juga ceritanya jauh beda sama versi elo."
Cakra tersenyum samar, "Lo mau denger versi gue?"
Ia mengangkat bahu, "Kalau lo nggak keberatan. Tapi kalau lo males cerita, ya nggak usah cerita. As simple as that."
Mata Cakra terlihat menerawang di kejauhan.
"Daftar kuliah aja dulu. Masuk dulu. Pasti banyak kok beasiswa," ujarnya memecah kesunyian karena Cakra tak kunjung bersuara.
"Jangan sampai takut kuliah karena khawatir sama biayanya."
Cakra kembali tersenyum samar.
"Itu buktinya, sopir Papa, Pak Cipto. Anaknya kan kuliah di Kampus Jakun, keren nggak?"
"Dia ambil teknik apa ya....mmm perkapalan kalau nggak salah. Tuh bisa, padahal kan Pak Cipto....," ia berhenti sejenak khawatir Cakra salah paham dengan maksud dari ucapannya.
"Kerjanya cuma sopir pribadi. Bukan gue lagi mengecilkan suatu pekerjaan ya. Maksud gue disini kan lagi ngasih contoh ke elo, tentang orang-orang yang bisa struggle di pendidikan untuk meraih gelar akademis demi kehidupan yang lebih baik, meski hidup dalam keterbatasan materi."
"Nah itu bukti nyata, Pak Cipto. Gue beneran tahu sendiri kalau anaknya bisa kuliah, Jakun lagi. Keren sumpah."
"Dan dari awal masuk kuliah, dia dapat beasiswa terus loh. Serius."
Mata Cakra kembali menerawang di kejauhan.
"Banyak kok beasiswa dari berbagai sumber, apalagi universitas negeri. Tinggal lo nyari yang cocok sama kebutuhan lo."
"Apalagi elo kan mantan peraih emas OSN. Nasional lagi. Pastilah punya privilege tersendiri. Atau minimal ada bekasnya lah. Iya nggak?"
Namun Cakra tetap terdiam dengan mata terus menerawang.
Ekspresi wajah Cakra jelas membuatnya bersungut-sungut kesal, "Elo dengerin gue nggak sih?! Jangan-jangan dari tadi gue ngomong sendiri lagi!"
"Dengerin," Cakra tersenyum sambil menatapnya dalam-dalam. "Gue dengerin semuanya."
Namun ucapan Cakra justru membuatnya kembali bersungut-sungut, "Lagian elo ya, alumni OSN bukannya cari kerja yang sesuai bidang. Jadi tutor bimbel kek, buka les privat kek, apa kek. Bukannya malah jadi pelayan cafe!"
"Nggak nyambung tahu nggak sih?!"
"Kecuali elo emang demen bisnis sama suka hal yang berbau ke ekonomi ekonomian. Atau punya cita-cita kelak mau buka bisnis sendiri. Baru deh cocok meniti karier dari bawah jadi pelayan Cafe."
"Lha elo, punya otak cerdas, gimana ceritanya malah jadi pelayan Cafe?!"
"Bukannya buka les privat. Tarifnya per jam aja udah berapa tuh. Lo nggak harus cape-cape kerja pakai tenaga fisik. Cukup pakai ini!" sungutnya sambil menunjuk kepalanya sendiri.
Ia masih berniat membuka mulut untuk mengungkapkan uneg-uneg tentang jalan hidup yang kini tengah diambil Cakra, ketika Cakra tiba-tiba berkata,
"Gue haus banget nih. Lo haus nggak?" tawar Cakra yang tiba-tiba sudah berbelok memasuki sebuah kios peralatan rumah tangga yang di bagian depannya terdapat showcase cooler berisi berbagai minuman dingin.
"Lo mau air mineral apa juice apa susu?"
mas sadaaaa,anja nakal nih mancing² buat adegan punggung seputih susu part 2😂