“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”
Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.
Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.
Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.
Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.
Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Aku Bersumpah!
Rupanya Noah mengunjungi Eve diam-diam tanpa sepengetahuan Celline.
Dia datang pagi-pagi, bahkan sebelum Eve membuka mata.
Noah melihatnya masih terbaring di atas brankar. Kelopak mata Eve tampak rapat, napasnya pelan dan teratur. Selang infus di tangannya menciptakan kontras yang menyakitkan. Sementara Alex berdiri di sisinya, mengawasi wajah istrinya.
Tadinya dia ingin melangkah masuk, tapi saat yang dia lihat adalah pemandangan seperti itu, kakinya berhenti di depan pintu. Hanya mengawasi dari celah yang tidak tertutup, sisa kepergian perawat yang baru mengganti infus.
Selama Alex berdiri dan hanya menatap wajah Eve, selama itulah Noah juga berada di tempatnya. Tidak bergerak.
Hingga keberadaannya disadari Alex.
Pria itu menoleh, menangkap keberadaannya.
Noah mengerjap. Kakinya masih mengakar, seolah menunggu Alex menghampirinya.
“Untuk apa kau di sini? Aku rasa, aku pernah memperingatkanmu soal ini.” Alex melangkah dingin, tapi tatapannya sengit.
Dia berdiri tepat di hadapan Noah, memutus pandangan pria itu dari istrinya. Bukan hanya itu, Alex juga menutup pintu kamar, seolah dia sedang membangun tembok setinggi langit di tengah mereka berdua.
“Aku hanya memastikan keadaannya.”
“Lucu sekali.” Alex tersenyum miring mengejek. “Orang yang dengan terang-terangan menghancurkannya, sekarang ingin memastikan kondisinya. Kenapa? Belum puas?”
“Jangan bicara seolah kita tidak jauh berbeda. Kau bahkan hampir membunuhnya.”
Alex menyipitkan mata. Rahangnya mengeras, tetapi dia tetap diam.
“Apa maksudmu?”
Kini giliran Noah yang tersenyum mengejek. “Kenapa kau menguncinya di kamar mandi? Jika kau benar-benar ingin membunuhnya, kenapa tidak kau gunakan pisau untuk memotong nadinya? Dengan begitu kau bisa membunuh tanpa menyiksa.”
Lipatan di kening Alex semakin bertambah. Rasanya dia ingin menyumpal mulut pria itu, tapi di satu sisi, dia juga penasaran apa yang sebenarnya ingin diucapkan Noah.
“Darren mengatakannya padaku. Jika kau benar-benar tidak menginginkannya, kenapa tidak kau lepas saja?”
Alex masih diam, menunggunya menuntaskan.
“Kau tidak tahu kalau Eve memiliki ketakutan pada genangan air? Apa kau juga tidak tahu kalau dia tidak pernah menggunakan bathtub? Dia tidak bisa berenang, dan tidak bisa melihat bak air yang terisi penuh.”
“Kau tahu kenapa?”
“Karena di masa kecilnya, dia melihat Ibunya bunuh diri di dalam bak air.”
“Jika bukan karena Liana yang mengasuhnya, mungkin dia sudah menghabiskan masa kecil di pusat rehabilitasi.”
Lalu Noah mendekat selangkah, mengangkat dagunya lebih tinggi. “Alex, dia memang sudah menjadi istrimu sekarang. Tapi jika kau menyakiti lebih dari ini, aku bersumpah akan kembali mengambilnya. Bahkan jika aku harus menggunakan cara apa pun.”
Apakah ini bentuk penyesalan? Atau hanya sekedar obsesi lama yang belum padam?
Entahlah. Semua itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutnya. Dia sendiri tidak pernah merencanakan akan mengatakan semua itu pada Alex. Tapi nyatanya, semua kalimat tadi dia lontarkan dengan mudah.
Satu hal yang pasti. Dia hanya … tidak ingin seseorang menyakiti Eve lagi.
Sementara Alex ….
Dari terakhir kalimat Noah, ekspresinya langsung mengendur. Punggungnya membentur pintu dengan kepala menengadah.
Liana … mengasuh Eve sejak kecil dan membantunya dari trauma?
Lalu bagaimana dengan anaknya sendiri?
Apa dia tidak pernah memikirkan bahwa di luar sana, anaknya pun melewati masa kecilnya dengan tertatih-tatih?
Atau mungkin … dia memang tidak ingin tahu?
Hari-hari berikutnya berlalu begitu saja.
Setelah akhirnya diizinkan pulang, Eve kembali ke rumah. Tak banyak yang berubah.
Kecuali satu hal—dan itu cukup membuat langkahnya terhenti di ambang pintu kamar mandi.
Ia berdiri mematung. Pandangannya menyapu ruangan yang kini terasa asing meski tak benar-benar berbeda.
Tidak ada bathtub.
Seolah bagian itu sengaja dihapus.
Langkah kaki terdengar pelan dari belakang.
“Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” suara Pak Frans menyusul lembut, sedikit membungkuk.
Eve menoleh sedikit. “Pak, ini … ke mana bathtub di sini?”
“Tuan meminta saya mengeluarkannya,” jawabnya hati-hati.
“Kenapa?” Nada suara Eve naik setingkat.
“Katanya ... itu menyusahkan jika Anda tenggelam lagi.”
Ternyata itu menyusahkan, ya?
Baru saja dia nyaris merasa simpati. Tapi nyatanya, itu hanya supaya dia tak lagi jadi beban.
Pria seperti Alex ... apanya yang bisa diharapkan?
Karena Laureen sudah kembali, kamar pun kembali seperti semula.
Eve memilih mengurung diri sejak sore, tak ingin keluar kamar. Malamnya makan sendiri. Lalu masuk kamar lagi.
Ia bahkan tak tahu apakah Alex akan pulang atau tidak.
Paginya, saat turun untuk sarapan, ketidakhadirannya tetap terasa.
“Apa Alex tidak pulang?” tanyanya pelan saat Pak Frans sedang menuang susu.
“Tidak, Nyonya. Tuan bilang ia akan sibuk. Sudah dua hari beliau tidak masuk kantor, jadi ... mungkin pekerjaan menumpuk.”
Ah, benar juga.
Selama dua hari, Alex menemaninya di rumah sakit. Tidak pulang sama sekali.
Jika dipikir ulang ….
Itu cukup luar biasa.
Dengan sikap Alex yang dikenal dingin dan nyaris tak peduli, hanya menemani seseorang pun sudah seperti anomali.
Tanpa sadar, sudut bibir Eve melengkung tipis. Ada rona merah samar merayap di pipinya.
Perasaan itu masih terbawa sampai ke toko.
Irish hanya bisa geleng-geleng melihatnya. Tapi Shania ... tatapannya lain. Jauh lebih dalam dari siapa pun, seperti sedang berusaha menel4njangi isi kepala Eve.
“Ini ... untuk pesanan hari ini, kan?” tanya Eve ringan, senyumnya masih belum surut.
“En.” Irish mengangguk.
“Kalau begitu, aku akan mengantarnya sendiri.”
“Sungguh? Kau bersemangat sekali, Eve!” Irish mendekat, menyenggol lengannya. “Apa ini karena tempatnya dekat dengan lokasi perusahaan suamimu?”
Eve hanya tersenyum. Tak menjawab.
Tapi sorot wajahnya menjelaskan lebih banyak daripada kata-kata.
Hari ini, dia bukan hanya akan mengantar pesanan.
Dia juga membawa dessert box dan beberapa kue—yang dibuat khusus untuk Alex.
Anggap saja, sebagai ucapan terima kasih ... karena telah menunggunya di rumah sakit.
….
Gedung perusahaan Alex tampak tak begitu ramai siang itu. Eve berjalan masuk dengan membawa satu kotak besar di tangannya. Setiap orang yang bernyawa di perusahaan tersebut sudah tahu siapa dia, jadi resepsionis hanya menyapanya singkat, sebelum membiarkan dia naik ke lantai atas.
Langkahnya ringan. Hatinya sedikit gugup, tapi juga sedikit hangat.
Dia berharap Alex akan menyukainya. Setidaknya … dia hanya perlu menerima saja.
Pintu ruang kerja Alex tidak sepenuhnya tertutup. Terbuka sedikit, hanya sekitar sejengkal.
Tidak ada Rayyan di ruangan.
Eve melangkah pelan. Ia sempat menoleh ke arah kanan dan kiri lorong, memastikan tidak mengganggu siapa pun. Berniat mengetuk, tapi karena tidak terdengar suara apa pun dari dalam, dia mendorong pintunya sedikit.
Dan saat itulah dia melihatnya.
Seorang wanita sedang berdiri begitu dekat dengan Alex—terlalu dekat.
Lengan wanita itu melingkar di lehernya, dan sebelum Eve sempat benar-benar memproses apa yang terjadi, bibir mereka sudah bertemu.
C!uman itu lambat.
Tidak tergesa, tidak panik.
Seolah sudah biasa.
Eve membeku di tempat.
Kotak di tangannya hampir terjatuh, tapi ia refleks mengeratkan genggaman.
Nafasnya tercekat.
Langkahnya surut satu, lalu satu lagi. Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia takut suaranya terdengar.
Tapi meski dia berusaha pergi diam-diam, gerakannya tertangkap.
Alex menoleh. Tatapan mereka bertemu—hanya sekejap. Tapi cukup.
Eve langsung membalikkan badan, mengambil langkah cepat. Bahkan dia juga mengabaikan Manda yang sedang melambai ke arahnya.
“Eve! Eve …!”
Manda hampir mengejar. Tapi saat dia tahu Alex berjalan keluar dari ruangan seperti ingin mengejar Eve juga, dia menarik langkahnya lagi.
Dia tahu ini bukan bagiannya.
***