Bram, playboy kelas kakap dari Bekasi, hidupnya hanya tentang pesta dan menaklukkan wanita. Sampai suatu malam, mimpi aneh mengubah segalanya. Ia terbangun dalam tubuh seorang wanita! Sialnya, ia harus belajar semua hal tentang menjadi wanita, sambil mencari cara untuk kembali ke wujud semula. Kekacauan, kebingungan, dan pelajaran berharga menanti Bram dalam petualangan paling gilanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaenal 1992, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Playboy Jadi Korban: Kabur dari Sahabat Mesum
Aku berlari keluar apartemen dengan hanya mengenakan kaus oblong dan celana pendek yang kebesaran. Penampilanku pasti sangat kacau; rambut panjangku berantakan, dan wajahku pucat karena ketakutan. Para tetangga yang berpapasan denganku menatapku dengan tatapan aneh. Aku tidak peduli, yang penting adalah kabur dari ibuku yang sedang histeris.
"Ke mana gue harus pergi?" gumamku sambil berlari menyusuri lorong apartemen. Otakku berputar mencari solusi. "Tomi! Ya, gue harus menemui Tomi!"
Aku segera menuju parkiran, mencari taksi. Setelah mendapatkannya, aku langsung menyebutkan alamat rumah Tomi. Selama perjalanan, aku mencoba menghubungi Tomi, tapi tidak diangkat. "Sial! Jangan-jangan dia masih tidur."
Akhirnya aku tiba di depan rumah Tomi. Dengan tergesa-gesa, aku mengetuk pintu rumahnya. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka, dan Tomi muncul dengan wajah bantal dan mata yang masih setengah terpejam.
Tomi membuka pintu. Matanya kemudian terbuka lebar, terpaku pada sosokku. "Wow..."
Ya Tuhan, siapa cewek ini? Cantik banget! Rambutnya... matanya... body-nya... Sempurna!
Tomi tidak terlihat bingung, melainkan terpesona. Matanya menelusuri tubuhku dari atas ke bawah, dengan ekspresi kagum yang kentara. "Siapa kamu? Ya ampun, cantik banget! Bram kenal sama kamu?"
"Tomi, ini gue! Ini Bram!" kataku dengan nada putus asa.
"Tomi, dengerin gue! Gue tahu ini kedengeran gila, tapi beneran, gue sekarang jadi cewek!" Aku mencoba menjelaskan dengan nada panik.
Tomi menggeleng-gelengkan kepalanya, masih terpaku pada kecantikanku. Gue nggak ngerti apa yang dia omongin, tapi... ya ampun, dia bener-bener cantik banget. Kayak bidadari jatuh dari langit! "Gue nggak ngerti apa yang lo omongin, tapi... ya ampun, lo bener-bener cantik banget. Rambut lo indah banget, mata lo juga... bikin gue nggak bisa berhenti natap."
Aku menghela napas frustrasi. "Tomi, gue serius! Semalem gue mimpi aneh, terus pas bangun, gue udah jadi cewek! Gue nggak tahu gimana jelasinnya, tapi ini beneran gue!"
Tomi tampak tidak mendengarkan perkataanku. Matanya masih terpaku pada dadaku yang kini membusung indah. Gila! Dadanya... perfect! Gue jadi pengen nyentuh... eh, apa sih yang gue pikirin!
"Tomi!" Aku membentak, berusaha menyadarkannya. "Dengerin gue! Gue butuh bantuan lo! Gue nggak tahu harus gimana sekarang!"
Tomi tersentak kaget, lalu tersenyum malu-malu. Aduh, dia marah! Tapi tetep aja cantik! "Maaf, gue keasikan natapin lo. Lo emang cantik banget sih."
Aku mengulangi ceritaku tentang mimpi aneh dan perubahan yang terjadi padaku. Tomi mendengarkan dengan seksama, tapi ekspresinya menunjukkan bahwa dia tidak benar-benar mengerti.
"Gue nggak peduli siapa lo. Yang penting lo ada di depan gue sekarang," katanya sambil tersenyum miring. "Masuk yuk."
Tomi menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam apartemennya. Aku merasa tidak nyaman dengan tatapannya yang intens.
"Duduk dulu, Nona Cantik," kata Tomi sambil menunjuk sofa. Dia kemudian pergi ke dapur dan kembali dengan dua gelas es teh. "Nah, sekarang cerita deh, gimana ceritanya kamu bisa nyasar ke sini? Aku yakin Bram pasti iri banget kalau tahu ada cewek secantik kamu nangkring di apartemennya."
Aku mencoba menjelaskan semuanya, mulai dari mimpi aneh tentang wanita berjubah, sampai saat aku terbangun dan mendapati diriku memiliki... aset baru. Tapi, Tomi sepertinya tidak terlalu mendengarkan. Matanya terus menatapku dengan tatapan lapar, sesekali melirik ke arah dadaku.
"Tom, lo dengerin gue nggak sih?" tanyaku kesal.
Tomi tersentak kaget. "Eh, iya, gue denger kok. Jadi, kamu ini... hadiah dari surga buat aku, gitu?" Dia tersenyum genit, lalu mendekatiku. "Aku sih nggak peduli kamu siapa atau dari mana. Yang penting kamu ada di sini, di depan aku."
Tomi kemudian mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh rambutku. Aku merasa tidak nyaman, tapi aku tidak ingin membuatnya tersinggung.
"Tom, stop deh. Gue lagi nggak mood buat bercanda," kataku berusaha menjauh.
"Siapa bilang aku bercanda?" bisik Tomi di telingaku, suaranya serak. Dia kemudian mencoba menciumku, tangannya mulai merayap ke pinggangku.
Aku terkejut dan mendorongnya sekuat tenaga. "Tom! Ini gue, Bram! Lo sahabat gue!"
Tomi tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Bram? Kamu ini lucu banget deh. Aku tahu Bram itu sahabatku, tapi dia nggak secantik kamu. Lagian, mana mungkin Bram jadi cewek? Udah deh, nggak usah ngeles. Aku tahu kamu suka sama aku, kan?" Dia kembali mendekat, kali ini dengan tatapan yang lebih agresif. "Ayo, jangan malu-malu. Kita kan orang dewasa."
Aku merasa jijik dan panik. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Tomi yang kukenal sudah berubah menjadi predator mesum. Aku berdiri dan berlari ke arah pintu.
"Mau ke mana lo? Jangan pergi dong, kita kan baru mulai seru-seruan!" teriak Tomi, suaranya terdengar seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.
"Sorry, gue nggak seru sama lo!" balasku sambil membuka pintu dan berlari keluar.
Saat aku berlari keluar, aku mendengar Tomi berteriak, "Tunggu! Kamu lupa nomor telepon aku! Aku bisa anterin kamu pulang!"
Tapi aku tidak peduli. Aku terus berlari, menjauh dari Tomi yang sudah benar-benar gila.
"Sial! Tomi udah nggak bisa diharapin! Dia malah jadi mesum dan nggak ngenalin gue sama sekali!" gumamku sambil terus berlari. "Gue harus cari tempat yang aman. Tapi ke mana?"
Saat aku sedang bingung mencari tempat bersembunyi, tiba-tiba aku teringat sesuatu.
"Maya!" seruku. "Gue harus cari Maya! Dia pasti bisa bantu gue!"
Maya adalah cewek yang sedang dekat denganku sebelum aku berubah menjadi wanita. Dia baik, pengertian, dan yang terpenting, dia tidak tahu kalau aku adalah seorang playboy.
"Oke, Bram, tenang. Lo harus cari Maya. Dia satu-satunya harapan lo," gumamku menyemangati diri sendiri sambil berlari menuju rumah Maya.
Semoga saja Maya bisa membantuku keluar dari masalah gila ini. Kalau tidak, aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan.