NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:166
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25: KABUT PERANG DIGITAL

*VROOOOOOMMM...*

Mesin V6 tua itu meraung, suaranya terdengar tidak senonoh di malam yang telah dikoyak.

Reza menginjak pedal gas, dan truk pikap itu melompat ke depan, ban-bannya berdecit di jalanan yang sepi.

Di kursi penumpang, Rania tidak bergerak. Dia seperti patung porselen yang retak.

Dia duduk tegak lurus, sebuah sikap yang mustahil bagi Rania yang dulu pemalas. Matanya menatap lurus ke depan, tidak berkedip, memindai kegelapan. Satu tangannya mencengkeram *hard drive* perak itu begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Tangan lainnya memegang pipa rebar berkarat di pangkuannya.

Amulet obsidian itu tersembunyi di balik kemejanya, tapi Reza bisa melihat luka bakar kemerahan di lehernya tempat tali kulit itu putus dan batu itu membakar kulitnya.

Rania tampaknya tidak merasakan sakit.

Reza gemetar begitu hebat hingga giginya bergemeletuk. Dia berjuang untuk memegang kemudi. "Ke... ke mana?" katanya, suaranya serak. "Kembali ke... tempat itu?"

"Ya," suara Rania datar. "Kembali ke Elysian Spire. Itu adalah satu-satunya *Titik Buta* manusiawi yang kita miliki."

"Bagaimana jika... bagaimana jika mereka mengikuti kita? Pria... pria berpayung itu..."

"Dia tidak mengikuti," kata RANIA. "Dia tidak perlu. Dia melepaskan 'Koreksi'. Dan Bima... Bima sedang menonton."

Reza bergidik, teringat pada jari tengah yang Rania acungkan ke kamera tak terlihat. Itu adalah hal terakhir yang *manusiawi* yang Rania lakukan.

"Ambil jalan lingkar selatan," lanjut Rania, matanya memindai kaca spion. "Jalanan utama akan dipenuhi patroli."

"Aku tahu," bentak Reza, lebih keras dari yang dia maksudkan. Dia perlu merasakan *sesuatu* selain ketakutan.

Mereka melaju dalam keheningan yang menyesakkan selama sepuluh menit. Kota itu adalah sebuah labirin hantu. Mobil-mobil yang ditinggalkan terparkir miring, beberapa dengan pintu terbuka, seolah-olah pengemudinya baru saja menguap dari eksistensi. Lampu lalu lintas berkedip-kedip tak menentu dalam pola yang rusak—merah, hijau, mati, hijau lagi—sebuah simfoni yang kacau balau akibat "Koreksi" Gema.

Dan di atas segalanya, di sebelah kiri mereka, cahaya oranye yang sakit-sakitan dari Blok M memancar ke langit, menodai bagian bawah awan-awan rendah. Itu adalah api unggun supernatural yang menandai kuburan "Kopi Titik Koma".

Setiap kali Reza melihat cahaya itu, perutnya mual.

"Belok kanan," kata Rania tiba-tiba. Suaranya tenang, tapi mendesak.

"Apa? Elysian Spire lurus—"

"BELOK KANAN. SEKARANG."

Reza, karena terkejut, membanting kemudi. Truk itu meluncur di jalanan yang licin oleh embun malam, hampir menabrak hidran. Dia menguasai kemudi dan masuk ke jalan yang lebih kecil dan gelap.

"Ada apa?!" teriak Reza.

"Lampu sorot," kata RANIA datar. "Satu blok di depan. Barikade militer. Mereka memperluas perimeter karantina."

Reza baru menyadarinya sekarang—kilatan cahaya samar yang menyapu gedung-gedung. Rania, yang "buta Gema", telah melihat ancaman *manusiawi* itu jauh sebelum dia, yang matanya sibuk melirik cahaya oranye yang menakutkan.

Argumen Reza di truk—bahwa Rania membutuhkan "mata manusiawi"-nya—terasa bodoh sekarang. Amulet itu tidak membuatnya bodoh. Amulet itu membuatnya... *fokus*.

"Oke," bisik Reza, gemetar lagi. "Oke. Mata manusiawi. Aku... aku akan fokus."

Mereka menyusuri jalan-jalan belakang. Rute kurir Rania. Melewati gudang-gudang yang tutup dan pabrik-pabrik tekstil yang gelap. Keheningan di dalam kabin truk itu lebih menakutkan daripada jeritan di apartemen Rania.

Reza harus memecahnya.

"Ra?" katanya pelan.

"Ya."

"Di dalam sana... di apartemenmu... aku... aku mendengarmu."

Rania menoleh. Matanya yang tumpul dan kosong menatapnya.

"Aku mendengarmu berteriak," lanjut Reza, suaranya bergetar. "Jeritan yang... aku tidak tahu... rasanya seperti... aku mendengarmu di dalam *kepalaku*. Sebelum kamu keluar."

"Itu adalah data yang meluap," kata RANIA. Nada suaranya seperti seorang teknisi yang menjelaskan kegagalan server. "Amuletnya gagal menahan Gema. Sistem sensorikku kelebihan beban. Lolongan psikis kota bercampur dengan Gema-Mimic."

Reza menelan ludah. "Gema-Mimic?"

"Makhluk yang ada di dalam. Bayangan dari cermin. Benda itu terbuat dari tatanan murni. Benda itu mencoba 'meluruskanku'."

"Lalu... bagaimana kamu...?"

Rania menatap tangannya yang masih terkepal erat di *hard drive*. "Aku merusaknya."

"Merusaknya? Seperti... Pria Payung itu?"

"Tidak." Rania menoleh kembali ke jalan di depan. "Dia menggunakan tatanan untuk menghapus kekacauan. Aku... aku menggunakan kekacauan untuk menghancurkan tatanan."

Dia berhenti sejenak, dan untuk pertama kalinya, Reza mendengar sedikit kebingungan dalam suaranya yang datar. "Aku... memberinya emosiku. Rasa takutku. Kemarahanku. Kesedihanku atas kafemu. Itu... itu data yang tidak bisa diprosesnya. Itu merusaknya dari dalam."

Reza menatap Rania dengan ngeri dan takjub. "Kamu... kamu *mengweaponisasi*... perasaanmu?"

"Data emosional adalah desain yang paling tidak logis," kata RANIA, seolah mengutip buku teks yang tidak ada. "Itu adalah virus yang sempurna untuk sistem yang murni logis."

Reza terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Temannya telah berubah menjadi sesuatu yang tidak dia kenali lagi. Seorang pejuang logis yang menggunakan emosi sebagai senjata biologis.

Mereka akhirnya sampai di pagar seng "The Elysian Spire". Semuanya tampak sama. Sepi. Terbengkalai.

Rania mematikan lampu truk. Dia meluncurkannya dengan gigi netral melewati celah pagar yang telah mereka buka, masuk kembali ke dalam kegelapan gua beton.

Reza mematikan mesin.

Keheningan makam kembali.

"Kita aman," kata RANIA.

Reza hanya terkekeh. Tawa yang kering dan pahit. "Aman."

Dia merosot di kursinya, kelelahan yang luar biasa—lebih dari sekadar fisik—menghantamnya. Dia telah menahan adrenalinnya selama berjam-jam. Sekarang setelah mereka berhenti, tubuhnya menyerah.

"Aku... aku harus tidur, Ra," bisiknya. "Hanya... sebentar..."

Rania menatapnya. "Diizinkan," katanya. "Kamu butuh istirahat untuk berfungsi."

Dia keluar dari truk. Dia mengambil *hard drive* dan pipa rebar.

"Kamu... kamu mau ke mana?" tanya Reza, terlalu lelah untuk bergerak.

"Aku tidak butuh istirahat," kata RANIA. "Aku butuh data."

Reza memperhatikan saat Rania berjalan dengan langkah yang stabil dan efisien melintasi lobi parkir, kembali ke trailer kontainer. Dia tidak terlihat seperti seseorang yang baru saja bertarung dengan monster bayangan dan melarikan diri dari militer. Dia terlihat seperti seorang arsitek yang akan lembur.

Reza mengunci pintu truk. Dia meringkuk di kursi, menarik jaket flanelnya erat-erat, dan memejamkan mata, membiarkan kegelapan yang dingin dan bau bensin yang samar membawanya pergi.

***

**(Interlude: Kepingan Puzzle)**

**Apartemen Santi Ibrahim - 04.30 DINI HARI**

Santi belum tidur.

Apartemen studionya adalah kekacauan yang terorganisir. Papan buletin gabus yang penuh dengan catatan, benang merah, dan foto-foto buram. Cangkir-cangkir kopi yang setengah terisi berserakan. Dan di tengah-tengah itu, dia duduk di depan tiga monitor, wajahnya diterangi oleh cahaya biru data.

"Ledakan gas," gumamnya sinis, menyesap kopi yang sudah dingin dan basi. "Omong kosong."

Di layar kirinya: rekaman CCTV jalanan (yang dia dapatkan secara ilegal dari kontaknya di dinas perhubungan) yang menunjukkan patroli polisi 302 melaju ke Jalan Merdeka... dan tidak pernah kembali.

Di layar tengah: foto-foto *glitch* dari fotografernya, Ari. Bangunan yang *meleleh*. Aspal yang *terhapus*.

Di layar kanannya: *software* analisis audio, menampilkan gelombang suara yang aneh.

"Apa-apaan ini..."

Satu jam yang lalu, dia menerima email.

Dari alamat yang dienkripsi, tanpa subjek, tanpa pengirim yang bisa dilacak.

Isinya hanya dua hal.

Pertama, sebuah file audio. Saat dia memutarnya, speaker komputernya hanya mengeluarkan desisan statis bernada sangat tinggi yang membuat anjing tetangganya menggonggong panik. Tapi *software* analisisnya menunjukkan sesuatu yang lain: pola gelombang yang kompleks dan berulang. Sebuah... *bahasa*?

Kedua, satu baris teks.

Bukan alamat. Bukan nama. Hanya koordinat GPS.

Santi menyeret koordinat itu ke dalam peta digital.

Dia memperbesarnya.

Jari-jarinya berhenti di atas *mouse*.

Koordinat itu tidak menunjuk ke Blok M, tempat "ledakan" terjadi. Koordinat itu juga tidak menunjuk ke markas polisi atau gedung pemerintahan.

Koordinat itu menunjuk ke tengah-tengah lokasi konstruksi besar yang terbengkalai. Sebuah proyek gagal yang dia liput dua tahun lalu.

"The Elysian Spire," bisiknya ke dalam ruangan yang sunyi.

Ini adalah jebakan, atau sebuah permintaan tolong.

Santi Ibrahim tidak percaya pada jebakan yang tidak bisa dia tangani. Dan dia tidak bisa menolak permintaan tolong yang berbau cerita.

Dia meraih jaket kulitnya, memeriksa baterai kamera digitalnya, dan mengambil kunci mobilnya.

***

**(Kembali ke "The Elysian Spire")**

Di dalam trailer kontainer, Rania telah bekerja.

Dia menemukan generator diesel tua di belakang kontainer. Setelah dua puluh menit bekerja dengan insting mekanis yang tidak dia sadari dia miliki, dia berhasil menyalakannya. Suara *thrum-thrum-thrum* pelan kini memberikan daya ke trailer itu.

Satu lampu neon di langit-langit berkedip-kedip hidup, memandikan interior yang berantakan itu dengan cahaya hijau yang sakit-sakitan.

Dia menemukan monitor CRT tua yang berdebu dan sebuah *keyboard* yang tombol-tombolnya lengket. Semuanya milik mandor konstruksi yang telah lama pergi. Dia menghubungkan semuanya.

Dia menatap *hard drive* perak di tangannya. Denyutan jantungnya—dia tidak memilikinya. Dia merasa tenang.

Dia mengambil kabel USB, meniup debu dari port-nya.

Dia mencolokkan *hard drive* itu.

Layar CRT itu berdengung hidup, dan sebuah ikon muncul di *desktop* yang kosong.

*DRIVE EKSTERNAL (E:)*

Rania mengklik dua kali.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!