Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Beginning'3
Di suatu sore yang damai, Irago sedang sendirian di rumah. Tiba-tiba, suara dobrakan keras memecah keheningan. Pintu rumah terbuka paksa dan sekelompok pengawal kerajaan dengan wajah dingin masuk ke dalam.
Irago, yang terkejut, langsung mengambil posisi bertarung. "Apa yang kalian inginkan?" tanyanya, pedangnya sudah terhunus.
Tanpa menjawab, para pengawal langsung menyerang, memulai pertempuran sengit yang tidak seimbang. Meskipun Irago telah berlatih keras, staminanya sebagai manusia biasa mulai terkuras, membuatnya terdesak.
Ketika ia hampir kehabisan tenaga, Irago mengeluarkan serangan terakhirnya. Ia mengayunkan pedangnya dengan jurus yang telah diajarkan oleh sang ibu, sebuah teknik pedang yang dikenal sebagai Sakura no Yuki. Serangan itu memancarkan aura es dan salju yang indah namun mematikan.
Namun, sebelum jurus itu mengenai target, sebuah sosok muncul dan dengan mudah menepisnya. Sosok itu adalah Raja Tirani, yang kini terlihat jauh lebih mengerikan dari yang pernah ia bayangkan.
Raja memiliki wujud yang menakutkan, perpaduan manusia dan iblis. "Teknik pedang yang menyedihkan," ejek Raja dengan suara dingin, "Itu adalah warisan dari wanita yang lemah."
Mendengar kata-kata itu, kemarahan Irago meledak. Ia berjalan terhuyung-huyung, mencoba melarikan diri, tetapi ia hanya berhasil sampai di alun-alun kota yang kini sudah hancur.
Kerajaan telah membabat habis kota yang dulunya adalah tempat yang penuh kenangan. Raja terus mengikutinya, suaranya dipenuhi kebencian. "Bagaimana bisa kau pikir teknik lemah itu bisa mengalahkanku? Wanita itu memang bodoh, dan kau pun tidak jauh berbeda," ejeknya lagi.
Irago yang kesal hendak menjawab, namun ia tidak diberi kesempatan.
Tiba-tiba, Irago merasakan sakit yang luar biasa, seolah-olah jiwanya sedang tercabik-cabik. Raja Tirani membunuhnya tanpa melukai tubuh fisiknya, menyerang langsung ke batinnya.
Sebelum kegelapan merenggutnya, Irago hanya bisa bergumam, "Maafkan aku, Ibu... aku tidak bisa menepati janjiku..." Tubuhnya ambruk, menyisakan keheningan di tengah reruntuhan.
Perlahan, Irago membuka matanya. Ia tidak lagi merasakan sakit atau kekalahan. Sebaliknya, ia merasakan kehangatan yang familiar. Ketika pandangannya menjadi jelas, ia melihat wajah yang paling ia rindukan: Yukio Ikaeda sedang memangkuanya, tersenyum lembut. "Sudah sadar, Nak?" tanya Yukio dengan suara menenangkan.
Irago terkejut, namun sebelum ia sempat bertanya mengapa ia bisa berada di sana, Yukio melanjutkan. "Ibu tidak marah kau kalah. Ibu sudah tahu kau tidak akan bisa mengalahkan Raja Tirani. Kekuatan iblisnya terlalu besar."
Irago mencoba menjelaskan, "Tapi, Bu... aku tidak bisa menepati janjiku..."
Yukio tersenyum lebih lebar. "Ibu tahu. Tapi Ibu tidak pernah meragukanmu. Lagipula, ini adalah takdirnya. Araya yang akan menuntaskan misi ini." Perkataan Yukio membuat Irago menghela napas, merasa sedikit lega.
Ia kemudian mengingat hal penting yang harus ia sampaikan. "Bu, ada satu hal lagi. Araya... dia sedang mengandung putraku," ucap Irago, suaranya dipenuhi campuran antara kebahagiaan dan kecemasan.
Mata Yukio berbinar-binar mendengar kabar itu. "Anakku akan menjadi seorang ayah!" serunya, suaranya dipenuhi kegembiraan. "Ibu sangat senang mendengarnya. Kau akan menjadi ayah yang hebat." Yukio lalu melanjutkan penjelasannya tentang takdir, tentang bagaimana setiap langkah yang diambil Araya dan yang lainnya akan membawa mereka pada takdir yang telah digariskan. Ia berbicara tentang kekuatan, takdir, dan cinta yang tak terbatas, semua sambil menikmati hembusan angin sejuk di taman bunga yang indah.
Irago hanya bisa mendengarkan, merasa damai untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Ia tidak lagi merasa bersalah atau menyesal. Ia tahu, meskipun tubuhnya telah tiada, jiwanya kini bersama Yukio di tempat yang aman. Ia memandang wajah sang ibu yang penuh kasih sayang, menikmati momen langka ini, sebelum akhirnya tertidur pulas dalam pangkuan wanita yang telah menjadi ibu baginya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Araya tiba di rumah dan disambut oleh pemandangan yang mengerikan. Evelia, Nuita, Ninaya, dan Riana berlutut di samping tubuh Irago yang tergeletak tak bernyawa. Mereka mencoba yang terbaik untuk menyembuhkan luka Irago, tetapi sihir penyembuhan mereka tidak berpengaruh.
"Aku tidak bisa menyembuhkannya! Tubuhnya baik-baik saja, tapi entah kenapa jiwanya..." Riana terisak.
"Aku tidak mengerti, sihirku tidak bekerja sama sekali," Nuita menambahkan, putus asa.
Araya, yang menyaksikan pemandangan itu, jatuh berlutut di samping mereka. Matanya kosong. Ia meraih tangan Evelia, "Apa... apa yang terjadi!?"
Evelia, sambil menangis, menjelaskan bahwa Raja Tirani datang langsung ke rumah mereka, menghancurkan segalanya, dan membunuh Irago. Mendengar penjelasan itu, Araya merasakan sakit yang luar biasa. Ia memegang keningnya, kepalanya terasa pusing, dan pandangannya mulai kabur. Tiba-tiba, semuanya menjadi gelap.
.
.
.
.
.
Araya mencoba untuk membuka matanya, tetapi yang ia lihat hanyalah kegelapan. Namun, ia bisa mendengar suara yang sangat familiar.
"Araya, jangan takut," suara itu lembut, seperti embusan angin. Suara itu adalah suara Yukio. "Kau tidak akan bisa melihat apa pun. Ini adalah tempat di mana jiwa-jiwa bertemu."
Tiba-tiba, suara lain terdengar. "Kakak... kau tidak akan bisa melihatku sekarang, tapi aku ada di sini." Itu adalah suara Irago.
Araya yang masih dalam kegelapan, merasakan tangan Irago yang hangat menggenggam tangannya.
"Maafkan aku, Kakak," suara Irago terdengar sedih. "Aku tidak bisa melindungimu dan anak kita."
Air mata mengalir di wajah Araya. Ia tidak bisa melihat Irago, tetapi ia bisa merasakan keberadaannya. "Tidak... jangan bilang begitu, Irago... aku yang seharusnya melindungimu."
Yukio lalu menyahut, "Kalian berdua sudah kuat, tapi takdir kalian berbeda. Araya, dengarkan Ibu. Perjalananmu masih panjang. Kau harus kuat."
Dalam kegelapan, Araya bertanya pada Yukio dengan suara gemetar, "Ibu... apa yang harus aku lakukan sekarang? Irago sudah tidak ada."
Suara Yukio terdengar tegas, namun dipenuhi kasih sayang. "Kau tidak sendirian, Araya. Masih ada Evelia, Nuita, Ninaya, dan Riana. Mereka semua ada untukmu." Lalu, suara Yukio berubah menjadi lebih misterius, "Dan ada satu pria lagi. Ia berambut merah dan sedang merasa putus asa. Ia berada di Benua Hanie."
Araya yang bingung bertanya, "Bagaimana Ibu tahu?"
Yukio terkekeh pelan. "Ssst, Ibu selalu tahu, Nak." Yukio mulai memberikan petunjuk kepada Araya, menyuruhnya untuk segera mencari pria itu.
Setelah percakapannya dengan Yukio selesai, Araya memanggil nama Irago. "Irago... apa kau ada di sana?" meskipun dalam kegelapan, ia bisa merasakan kehadiran Irago.
Suara Irago terdengar, tenang dan damai. "Ya, Kakak. Aku di sini."
Araya bertanya dengan nada penuh kekhawatiran, "Apa kau baik-baik saja?"
Irago menjawab, "Aku sangat baik. Kau tidak perlu khawatir. Aku dan Ibu akan selalu mengawasimu dari sini."
Irago lalu melanjutkan, "Kakak tidak perlu memikirkan untuk menyusulku dalam waktu dekat. Kau harus menjaga putra kita, dan menyaksikan apa yang akan dia lakukan kelak. Dia akan menjadi sosok yang luar biasa, sama seperti Ibu."
Araya mengangguk, memahami pesan itu.
Suara Yukio dan Irago secara bersamaan terdengar, "Sudah tidak ada yang perlu kami sampaikan lagi. Selamat tinggal, Araya... sampai kita bertemu lagi."
Araya menahan air matanya, menjawab dengan suara bergetar, "Selamat tinggal... sampai bertemu lagi." Ia lalu berbisik kepada Irago, "Selamat tidur, sayangku."
Irago yang mendengarnya merasa sedikit terkejut, "Kau bilang seolah-olah aku akan tidur pulas," candanya, suaranya sedikit mencela, tapi penuh kehangatan.
Araya terkekeh kecil, air mata mengalir bersama tawa. "Tentu saja," jawab Araya, suaranya menjadi lebih romantis,
"Tidurlah, cinta. Sampai kita bertemu di alam mimpi kita." Jawab Irago.
.
.
.
.
Araya terbangun dengan napas memburu, jantungnya berdebar kencang. Ia mengusap keringat di dahinya, mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi. Di sampingnya, Ninaya tertidur pulas sambil menggenggam tangan kanannya erat.
Araya tersenyum, mengelus rambut adiknya dengan lembut. Sentuhan itu membuat Ninaya terbangun. "Kakak sudah sadar!" serunya, suaranya dipenuhi kelegaan. "Kakak mau makan atau minum?"
Araya mengangguk dan membiarkan Ninaya menyuapinya. Makanan itu terasa hambar, tetapi kehangatan dari adiknya membuatnya lebih baik.
Araya memandang sekeliling, bingung. "Kita ada di mana, Ninaya?" tanyanya.
Ninaya dengan sabar menjelaskan, "Kita di Gunung Shirayuki, di tempat tinggal Evelia yang sudah lama terbengkalai. Tempat ini jauh dari jangkauan kerajaan." Ia melanjutkan, "Evelia, Nuita, dan Riana sedang mengurus proses kremasi Kak Irago. Mereka menunggu Kakak siuman."
Araya hanya mengangguk pelan, kepalanya masih terasa pusing. Ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh, menikmati suapan dari adiknya yang penuh perhatian.
Hatinya hancur, tetapi ia berusaha tegar. Kata-kata terakhir Yukio dan Irago masih terngiang di benaknya. Ia tahu, sekarang ia harus lebih kuat dari sebelumnya. Tangannya yang kosong kini terasa berat, karena ia harus membawa beban duka dan juga janji yang telah ia buat. Araya tahu bahwa ia harus melanjutkan misi mereka, bukan hanya untuk memenuhi janji Yukio, tetapi juga untuk menghormati Irago yang telah mengorbankan nyawanya.
.
.
.
.
Setelah Araya selesai makan, ia menatap Ninaya. "Ninaya," katanya pelan. "Kau harus kuat. Sekarang, kita hanya punya satu sama lain."
Ninaya mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Aku akan kuat, Kakak. Untuk Kak Irago, dan untuk Ibu Yukio." Kata-kata Ninaya memberikan kekuatan bagi Araya, menyadarkannya bahwa ia tidak sendirian. Mereka akan bangkit dari duka ini bersama, dan melanjutkan perjuangan mereka.
.
.
.
.
Araya bertanya kepada Ninaya, "Berapa lama aku tertidur?"
Ninaya dengan polos menjawab, "Sekitar dua hari, Kakak."
Araya sedikit terkejut, namun Ninaya segera menenangkannya. "Tidak ada penyerangan selama Kakak pingsan. Ada sekutu dari Benua Hanie yang membantu kita, namanya Otsuki dan Roseline," jelasnya.
Araya merasa lega mendengar dua temannya dari seberang benua datang membantu.
Setelah itu, Araya dan Ninaya berjalan menuju altar kremasi. Sesampainya di sana, Araya melihat Irago terbaring damai, wajahnya yang tampan terlihat bersih. Araya yang selama ini berusaha tegar, tak mampu lagi menahan air matanya. Ia menangis, membiarkan semua kesedihan yang ia pendam selama ini keluar. Evelia, Nuita, Ninaya, dan Riana hanya terdiam, membiarkan Araya melewati momen dukanya.
.
.
.
Araya terus menangis, memohon maaf kepada Irago. "Maafkan aku, Irago... seharusnya aku ada di sini untuk melindungimu. Maafkan aku..." isaknya.
Evelia mendekat dan memeluk Araya dengan erat. "Ini bukan salahmu, Araya," bisiknya. "Tidak ada yang bisa melawan raja itu sendirian." Meskipun kata-kata Evelia tidak bisa menghilangkan rasa sakitnya, Araya merasa sedikit lebih baik. Ia tahu ia tidak sendirian.
Mereka semua berdiri dalam keheningan, mengenang Irago. Rasa kehilangan yang mendalam menyatukan mereka, menguatkan tekad mereka untuk melanjutkan misi. Mereka berjanji untuk memenuhi impian Yukio dan membalas kematian Irago.
.
.
.
.
.
Di dekat altar kremasi, kesedihan menyelimuti Araya dan yang lainnya. Namun, mereka tidak sendirian. Otsuki, Roseline, Jeon, dan Irene juga hadir, berdiri dalam duka. Mereka berdoa, mengenang kepergian Irago yang juga adalah teman mereka. Irene, sang Ratu Feita yang dikenal dengan kehangatan dan kebaikan hatinya, mendekati Araya yang masih terpukul. Tanpa ragu, ia memeluk Araya, mencoba memberikan sedikit kekuatan.
"Aku turut berduka, Araya. Kita semua di sini untukmu," bisik Irene. "Irago adalah orang yang luar biasa, dan dia akan selalu ada di hati kita."
Jeon, sang Raja Feita yang dikenal pendiam dan tegas, menatap tubuh Irago dengan mata sendu. Ia telah mengenal Irago dengan baik, dan kehilangan ini terasa begitu berat. Irago bukan hanya sekadar teman, tetapi juga saudara seperjuangan yang memiliki tujuan yang sama. Jeon merasa kehilangan sosok yang memahami beban dan tanggung jawab seorang pemimpin. "Dia adalah salah satu yang terbaik," gumamnya pelan, suaranya dipenuhi kesedihan.
Otsuki, pemimpin Benua Hanie, berdiri di samping Roseline. Ia menatap Araya, merasakan kesedihan yang mendalam. "Kami seharusnya bisa lebih cepat," bisiknya kepada Roseline.
Roseline mengangguk, matanya yang tajam kini dipenuhi empati. "Tapi kita datang tepat waktu untuk mencegah kehancuran yang lebih besar. Ini adalah perang, Otsuki. Kita tidak bisa menyelamatkan semua orang." Perkataan Roseline adalah kenyataan pahit yang harus mereka terima.
Momen duka ini menjadi titik balik bagi mereka semua. Araya, yang awalnya hanya ingin membalaskan dendamnya pada Raja Tirani, kini memiliki alasan yang lebih besar. Ia berjuang untuk mewujudkan impian Yukio, menghormati pengorbanan Irago, dan melindungi dunia yang kini diperjuangkan oleh teman-teman barunya. Mereka semua bersatu dalam duka, berjanji untuk bersama-sama mengakhiri tirani yang telah merenggut begitu banyak nyawa.
.
.
.
.
..
.
Setelah berjam-jam dalam duka, Araya akhirnya berhasil menenangkan diri. Proses kremasi Irago telah selesai, dan abu kekasihnya telah ditaburkan di puncak Gunung Shirayuki, di dekat rumah Evelia.
Araya berbalik, menatap semua orang yang ada di sana dengan tatapan penuh tekad yang baru. "Aku akan pergi ke Benua Hanie," ucapnya, suaranya mantap. "Aku harus menemui seseorang di sana."
Mendengar itu, Otsuki menawarkan diri. "Aku bisa memindahkanmu ke sana dengan cepat," katanya. "Benua Hanie adalah rumahku."
Araya merasa sangat berterima kasih. "Terima kasih, Otsuki. Itu akan sangat membantu," jawab Araya.
Sebelum Otsuki memulai sihirnya, Araya berbalik ke arah teman-temannya yang lain. "Untuk sementara, kita tinggal di sini dulu," katanya. Evelia, Nuita, Ninaya, Riana, Jeon, Irene, dan Roseline mengangguk, menyetujui rencana itu. Mereka semua tahu bahwa ini adalah langkah pertama yang harus diambil.
Otsuki lalu mulai memusatkan kekuatannya. Sihir transfer yang ia gunakan adalah sihir yang langka dan kuat, yang membutuhkan konsentrasi tinggi.
Cahaya kebiruan terang mulai menyelimuti Araya dan Otsuki. Dalam sekejap, mereka menghilang, meninggalkan teman-teman mereka di belakang.
Mereka tahu bahwa meskipun Araya telah pergi, ia tidak sendirian. Mereka semua akan terus berjuang di jalan masing-masing, demi tujuan yang sama.
Araya merasakan sensasi aneh, seperti tubuhnya ditarik ke dalam pusaran air. Ketika ia membuka matanya, ia melihat lanskap yang sama sekali berbeda. Ia berada di sebuah kota yang ramai, penuh dengan bangunan-bangunan megah dan kehidupan.
"Selamat datang di Hamel," ucap Otsuki, suaranya terdengar di samping Araya.
Araya menatap sekeliling, menyadari bahwa ia telah tiba di tempat yang akan menjadi babak baru dalam perjalanannya.