Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.
Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Kembali
Suasana rumah sakit mendadak berubah begitu Selene muncul di depan pintu ruang dokter.
Langkahnya teratur, wangi parfumnya mahal, tapi hawa di sekitarnya terasa dingin. Damian terpaku beberapa detik sebelum akhirnya membuka suara.
“Selene…”
Nada suaranya datar, antara bingung dan tidak percaya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Selene menurunkan kacamatanya perlahan.
“Jawab aku,” Damian menahan nada suaranya tetap profesional. “Kenapa kamu datang?”
“Untuk melihat seseorang,” jawabnya singkat, senyum samar di bibirnya.
“Siapa?”
“Orion.”
Nama itu membuat Damian langsung tegang. dia menatap adik tirinya lama, mencoba memastikan ia tidak salah dengar.
“Orion Delvano?”
“Ya,” Selene menatapnya balik, sorot matanya tenang tapi menusuk.
“Dia,seseorang yang dulu hampir jadi suamiku.”
Damian terdiam. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Dia baru tahu kalau adik tirinya itu, gadis yang dulu nyaris tidak pernah ia pahami, ternyata memiliki hubungan dengan pasien yang sekarang sedang berjuang keras untuk bangkit dari trauma.
“Kamu—” Damian berhenti. “Kamu nggak bisa begitu saja datang dan mengguncang dia.”
Selene tersenyum tipis. “Kamu bicara seolah kamu tahu apa yang terbaik untuknya.”
“Aku tahu satu hal. Orion tidak butuh masa lalunya datang lagi.” Nada Damian keras kali ini.
Selene menatapnya tajam. “Lucu, kamu bicara seolah kamu peduli padaku.”
“Karena kamu adikku,” balas Damian cepat. “Mau seberapa bencinya aku sama masa lalu kita, aku masih nggak mau lihat kamu bikin orang lain hancur lagi.”
Senyum Selene memudar. Ada luka lama di balik matanya, tapi ia menutupinya dengan dingin.
“Aku cuma mau memastikan satu hal, Kak Dami,” katanya pelan. “Apakah dia benar-benar bahagia tanpaku?”
“Selene—”
Namun Selene sudah berbalik, melangkah pergi tanpa menunggu jawaban.
Damian memijit pelipisnya keras, napasnya berat. Masa lalu yang sudah ia kubur, kini menyeruak tanpa peringatan.
Ruang rehabilitasi siang itu terasa sepi.
Orion baru selesai latihan saat pintu terbuka, dan suara yang dulu hanya hidup di ingatannya kini terdengar nyata lagi.
“Rion…”
Dia membeku. Suara itu membuat seluruh tubuhnya menegang.
Dia menoleh pelan.
Dan di sana, berdiri Selene,dengan senyum kecil yang tidak sepenuhnya tulus, dengan tatapan yang menyimpan masa lalu yang belum selesai.
“Selene…” suaranya serak, nyaris berbisik.
“Sudah lama ya,” katanya lembut, melangkah mendekat.
“Kamu,kelihatan berbeda.”
Orion tidak menjawab. Ia hanya menatap dingin, wajahnya sulit dibaca.
“Aku dengar kamu masih di sini,” lanjut Selene pelan. “Aku cuma ingin tahu,apakah kamu baik-baik saja.”
Orion tertawa hambar. “Peduli?”
“Kamu marah?”
“Marah?” ia menggeleng kecil. “Aku cuma heran. Setelah semua yang terjadi, kamu masih punya keberanian datang.”
Selene menahan napas. “Aku minta maaf, Rion.”
“Terlambat,” jawabnya datar.
Kata itu menampar udara dengan dingin.
“Semua sudah selesai sejak kamu memilih pergi waktu itu.”
Suara Orion nyaris tidak terdengar, tapi getirnya tajam.
Selene menatap kakinya, lalu menatap mata Orion lagi. “Aku tidak bisa melihat kamu di tempat ini tanpa merasa bersalah.”
“Bersalah bukan berarti kamu diizinkan datang lagi,” balas Orion cepat.
“Sakit ini belum sembuh, Selene. Dan kamu salah satu alasannya.”
Suara pintu terbuka pelan. Luna muncul di sana, membawa buku catatan terapi di tangan. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Selene berdiri di depan Orion. Udara di ruangan itu terasa berat.
“Maaf, aku tidak tahu kalian lagi—” Luna hendak mundur, tapi suara Orion menahannya.
“Luna, tunggu.”
Luna menoleh pelan. Tatapannya beralih antara Orion dan Selene.
“Ini orang yang dulu bersamaku,” ucap Orion tanpa ekspresi.
Selene tersenyum tipis, tapi matanya dingin.
“Oh, jadi ini pengganti aku?”
Luna menunduk, menahan napas. “Aku hanya membantunya, Miss.”
“Bantuannya kelihatan luar biasa,” balas Selene sinis. “Bahkan sudah mulai bisa membuat Orion bicara lagi, ya?”
“Selene, cukup.” Orion menatapnya tajam. “Dia tidak ada hubungannya dengan masa lalu kita.”
“Justru karena itu aku penasaran,” jawab Selene lembut.
“Orang sepertimu tidak mudah membuka hati. Tapi untuk dia,kamu berubah, Rion.”
Hening beberapa detik.
Sampai akhirnya Luna berucap pelan, tapi mantap. “Miss, maaf. Tapi, kalau hari ini kamu datang untuk buat dia ingat sakitnya, lebih baik kamu pergi.”
Selene menatap Luna dengan dingin. “Kamu siapa berani bicara begitu padaku?”
Luna tidak menunduk. “Aku orang yang ingin dia sembuh.”
Orion menatap Luna lama ada rasa bangga kecil di matanya yang bahkan dia sendiri tidak sadari.
Selene menarik napas dalam. “Aku nggak akan ganggu kalian lagi.”
Dia melangkah pelan, tapi sebelum keluar, dia berhenti di ambang pintu.
“Cuma ingat satu hal, Rion…” suaranya pelan tapi menusuk.
“Orang yang bisa bikin kamu sembuh, juga bisa bikin kamu hancur.”
Pintu tertutup dengan bunyi klik yang lembut tapi berat. Hening kembali menyelimuti ruangan.
Luna menatap Orion. “Kamu gppa?”
Orion menghela napas panjang. “Aku nggak tahu. Tapi aku nggak mau dia ada di sini lagi.”
Luna mendekat, duduk di sisi ranjang.
“Kalau kamu perlu sendiri, aku tunggu di luar.”
Orion menatapnya, dan untuk pertama kalinya sejak Selene muncul, ekspresinya melunak.
“Terima kasih.”