Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 # Mengatar ke Butik
Di dalam mobil, suasana terasa hening. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut keduanya. Aliza hanya menatap keluar jendela, seolah menikmati pemandangan kota yang ramai, padahal pikirannya melayang entah ke mana.
Sekretaris Mark yang duduk di depan beberapa kali melirik lewat kaca spion. Ia terheran—Tuan Muda Nadeo yang biasanya tak sudi pergi bersama Nona Aliza, kini justru mengantarnya dengan penuh gengsi.
“Di mana kamu bekerja?” suara Nadeo akhirnya memecah keheningan, terdengar datar namun penuh selidik.
“Belleza by Aliza,” jawab Aliza singkat, tanpa menoleh, masih menatap keluar jendela.
Kening Nadeo berkerut. “Kenapa nama butik itu… seperti namamu?” Nada suaranya dingin, tapi terselip rasa penasaran yang tak bisa ia sembunyikan.
Sebelum Aliza sempat menjawab, Nadeo langsung memberi instruksi.
“Mark, antar Nona Aliza dulu… ke tempat yang ia sebutkan tadi.”
“Baik, Tuan,” jawab Mark,
Apakah itu butikmu?” tanya Tuan Muda Nadeo, suaranya tenang namun sorot matanya penuh selidik.
Aliza menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Tidak, Tuan… hanya kebetulan saja namanya sama dengan nama saya. Saya hanya bekerja sebagai kasir di situ.”
Nadeo menatapnya lama, seolah mencoba menembus setiap kata yang keluar dari bibir Aliza. Kerutan tipis muncul di keningnya. Sulit baginya mempercayai bahwa seorang perempuan yang bisa bersikap setenang dan seteguh Aliza, hanyalah seorang kasir.
Aliza kembali memalingkan wajah ke jendela, berusaha menutup percakapan. Dalam hatinya, ia tahu, semakin sedikit Nadeo tahu tentang dirinya, semakin aman rahasia yang ia simpan.
Mobil hitam itu akhirnya berhenti tepat di depan butik Belleza by Aliza. Dari luar, butik itu tampak elegan dengan kaca besar dan dekorasi modern yang menarik perhatian setiap pejalan kaki.
Pintu mobil terbuka, Aliza melangkah turun dengan anggun. Beberapa pegawai butik yang sedang berdiri di depan langsung terkejut melihatnya. Lebih terkejut lagi ketika mereka menyadari mobil mewah yang mengantarkannya—mobil milik Tuan Muda Nadeo.
Namun Nadeo sama sekali tidak turun. Ia hanya duduk tegak di kursinya, tatapannya mengikuti gerak Aliza sampai perempuan itu benar-benar berdiri di depan butik. Sorot matanya sulit ditebak, seolah ada sesuatu yang ia tahan di dalam dirinya.
Aliza menyadari hal itu. Ia menunduk sedikit, memberi hormat sekadarnya, lalu tersenyum tipis sebelum melangkah masuk ke dalam butik. Senyum yang bagi orang lain tampak biasa, namun bagi Nadeo terasa seperti sebuah teka-teki baru yang membuatnya semakin penasaran.
Sekretaris Mark melirik tuannya dari kaca spion, lalu bertanya hati-hati,
“Apakah kita langsung menuju kantor, Tuan?”
Nadeo tidak segera menjawab. Matanya masih menatap pintu butik yang baru saja menelan sosok Aliza.
Tatapan Nadeo masih tertuju pada pintu butik yang sudah menutup setelah Aliza masuk. Wajahnya datar, tapi ada kilatan samar di matanya.
“Mark,” ucapnya akhirnya, suaranya pelan namun tegas.
“Ya, Tuan?” Mark segera menoleh sedikit, menunggu instruksi.
“Selidiki butik itu… dan juga pemiliknya. Aku ingin tahu siapa yang benar-benar berada di balik nama Belleza by Aliza.”
Mark mengangguk cepat. “Baik, Tuan. Saya akan segera mengurusnya.”
Nadeo bersandar di kursinya, menutup mata sejenak. Kasir, ya? Kau pikir aku akan semudah itu percaya, Aliza… batinnya, bibirnya melengkung tipis, entah itu senyum sinis atau sekadar ketertarikan yang sulit ia akui.
Mobil pun perlahan meninggalkan butik, sementara dari balik kaca jendela lantai dua, Kayla melihat kepergian mobil itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Begitu Aliza melangkah masuk ke dalam butik, beberapa pegawai yang melihatnya langsung saling berbisik pelan. Mereka masih terkejut dengan pemandangan barusan—Nona Aliza turun dari mobil mewah, bahkan diantar langsung oleh Tuan Muda Nadeo.
Di tengah rasa ingin tahu itu, Kayla—sahabat sekaligus rekan kerja terdekat Aliza—segera menghampirinya dengan wajah penuh tanda tanya.
“Liza…” bisiknya, berusaha menahan rasa penasarannya, “tadi itu… jangan bilang yang antar kamu barusan adalah Tuan Muda Nadeo?”
Aliza tersenyum samar, menaruh tasnya di meja kasir seperti biasa. “Kebetulan saja jalannya sama,” jawabnya enteng, seakan tidak ada yang istimewa.
Kayla memutar bola matanya, lalu menepuk lengan sahabatnya. “Jangan bercanda. Selama kalian menikah tuan muda Nadeo tidak pernah mengantarmu!"
Aliza terkekeh kecil, tapi matanya masih menyimpan keseriusan. Ia menunduk sebentar, lalu berbisik, “Jangan bahas di sini. Aku tidak ingin orang-orang salah paham.”
Kayla mengerutkan kening, tapi ia tahu Aliza memang pandai menyimpan rahasia.
Kayla menarik lengan Aliza pelan. “Ayo ke ruanganmu. Aku nggak tahan lihat tatapan kepo orang-orang di luar.”
Aliza hanya mengangguk, lalu berjalan masuk ke ruangannya yang berada di lantai dua butik. Ruangan itu tidak besar, tapi tertata rapi. Dindingnya dihiasi rak berisi buku mode, kain sampel, serta beberapa foto model mengenakan rancangan butik. Di sudut, ada meja kerja dengan komputer dan beberapa sketsa desain berserakan.
Aliza menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap langit-langit ruangan sejenak sebelum melanjutkan.
“Pagi tadi… saat sarapan, Clara sudah ada di meja makan. Dia bahkan duduk di kursiku, seolah itu memang tempatnya. Mama Claudia membelanya habis-habisan, menyuruh Nadeo membiarkan Clara duduk di sana. Tapi, Nadeo… dia justru memerintahkan Clara pindah.”
Kayla terbelalak. “Serius? Jadi Nadeo malah membelamu di depan mereka?”
Aliza mengangguk pelan. “Ya, bahkan dia menyuruh Clara berhenti bersandiwara. Aku tidak menyangka… untuk pertama kalinya dia memilih berpihak padaku, di depan Mama dan Jean.”
Wajahnya lalu berubah getir. “Tapi itu bukan berarti semuanya baik-baik saja. Mama Claudia marah besar. Jean terang-terangan merendahkanku. Clara sendiri… aku bisa lihat matanya penuh api cemburu. Dan akhirnya, mungkin karena situasi yang memanas itu, Nadeo mengajakku pergi bersamanya.”
Kayla mencondongkan tubuh, makin penasaran. “Jadi… itu alasan dia mengantarmu ke sini?”
“Ya,” jawab Aliza lirih. “Dia bilang akan mengantarku sebelum pergi kerja. Tapi sepanjang jalan kami hanya diam. Seakan-akan semua yang terjadi tadi masih bergema di kepalanya. "
Kayla terdiam beberapa detik, lalu meraih tangan sahabatnya. “Liza… kamu benar-benar ada di tengah badai besar. Tapi satu hal yang pasti, Clara datang bukan berarti kamu kalah. Justru ini saatnya kamu menunjukkan kalau kamu pantas berdiri di samping Nadeo.”
“Tidak, Kayla… kamu salah paham,” ucapnya lirih tapi tegas. “Aku justru berharap Clara benar-benar kembali ke Tuan Muda Nadeo. Dengan begitu aku bisa lepas dari genggamannya. Aku bisa hidup bebas, tanpa aturan, tanpa bayang-bayang keluarga yang selalu merendahkanku.”
Kayla membelalakkan mata, tubuhnya menegang. “Liza… apa kamu serius? Kamu benar-benar ingin menyerahkan Nadeo begitu saja kepada mantannya?”
Aliza tersenyum pahit. “Kay, aku tidak pernah mencari cinta dalam pernikahan ini. Yang aku cari hanya… kebebasan. Dan kalau Clara bisa membuat Nadeo melepaskanku, aku akan berterima kasih padanya.”
Kayla terdiam. Ada rasa tidak setuju dalam hatinya, tapi ia bisa melihat betapa tulus keinginan Aliza untuk terbebas dari belenggu itu.