NovelToon NovelToon
Brautifully Hurt

Brautifully Hurt

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: PrettyDucki

Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.

Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.

Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.

Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ledakan

G-Wagon kelabu Rendra melaju di jalanan Kebayoran Baru yang mulai lengang. Saat tikungan terakhir mendekati rumah Seno, matanya langsung tertuju pada Fortuner hitam yang terparkir di depan pagar rumah itu. Bukan mobil keluarga Seno, tapi rasanya familiar.

Setelah menepikan mobil, ia mencoba menangkap sosok di dalamnya. Samar-samar ia melihat siluet dua orang di bangku depan. Satu perempuan berambut panjang. Dinda. Dan satu pria di sebelahnya. Bima?! Tentu saja. Ia pernah melihat mobil itu saat menjemput Dinda dulu.

Brengsek!

Tanpa pikir panjang, Rendra membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Matanya penuh curiga. Dia langsung menuju sisi penumpang dan mencoba membuka pintu Fortuner itu. Terkunci.

"Buka." Katanya di luar. Suaranya cukup keras untuk terdengar dari dalam. Tidak ada respon dari Dinda. Tangannya mulai menggedor, kacanya bergetar, tapi pintu belum juga terbuka.

Di dalam, Dinda mulai panik. Tangannya hampir menyentuh tuas kunci, tapi Bima langsung menahan pergelangan tangannya.

"Jangan, Din. Dia mungkin emosi, bahaya."

Dinda sempat menoleh pada Bima.Tapi kemudian matanya tidak lepas dari Rendra di luar kaca. Kini ekspresi pria itu mulai berubah. Tangan mengepal, mata membidik, seperti bom waktu yang siap meledak.

"Nggak apa-apa." Kata Dinda kemudian membuka pintu mobil. Ia takut Rendra akan mengacau kalau ia tidak turun.

Rendra meraih tangan Dinda dan menariknya keluar. Membawanya menuju mobilnya yang masih menyala. Bima turun mengikuti, agak berlari mendahuluinya dan menghadang mereka dengan tubuhnya.

"Sorry, Om Seno mau gue bawa Dinda pulang ke rumah orangtuanya."

Dinda mendesah cemas, "Mas Bima, aku ikut Mas Rendra aja." Ia berusaha mencegah sesuatu yang lebih besar terjadi.

"Minggir." Desis Rendra, menahan emosinya sekuat tenaga. Ia mendorong Bima menjauh dan hendak berjalan melewatinya.

Tapi kemudian dengan cepat Bima menarik satu tangan Dinda yang bebas untuk menahannya.

"Lepasin!" Bentak Rendra.

"Lo yang lepasin! Dia ketakutan! Udah cukup lo paksa dia nikah sama lo, sekarang kasih dia kebebasan!" Mata Bima mengeras, ia tidak mengendurkan cekalan tangannya pada Dinda.

Rendra menggeretakkan giginya, "ANJING! What the hell is your problem?!" Ia mendorong paksa tubuh Bima dan membuat cekalannya pada Dinda terlepas.

Satu detik kemudian, BUAKKK!! Tinju Rendra mendarat tepat di rahang Bima. Kepala Bima terhempas ke samping. Tapi Bima langsung membalas dengan ayunan lurus ke dada Rendra. Perkelahian meledak. Tinju, dorongan, hantaman.

Nafas mereka memburu. Amarah dan kegelisahan yang lama ditahan Rendra akhirnya pecah malam itu. Bima adalah sasaran empuk. Tidak ada logika. Tidak ada kontrol. Hanya emosi yang terbakar habis-habisan.

Dinda menjerit, mencoba melerai, tapi tidak satu pun dari mereka menanggapi. Yang tersisa hanya dua pria, saling menghantam. Suaranya nyaris tak terdengar di tengah suara pukulan dan umpatan. Tangannya berusaha meraih siapapun yang bisa dijangkau, tapi tenaga dan ukuran tubuh mereka jauh berbeda. Hingga akhirnya, BRAKKK!! Dinda terhempas jatuh entah oleh siapa. Tubuhnya menghantam pada aspal.

Mereka berdua membeku. Napas keduanya masih memburu, tapi tatapan mereka langsung tertuju pada Dinda yang kini meringis, terbaring setengah duduk.

Rendra lebih dulu bereaksi. Ia mendekat cepat, berlutut di samping Dinda, wajahnya panik. Tangannya gemetar saat meraih bahu istrinya dengan hati-hati. "Sayang.. kamu nggak apa-apa?" Suaranya serak, nyaris terputus.

Dinda mengangguk pelan, meski rasa nyeri masih tersisa di lengan dan punggungnya.

Bima ikut mendekat, tangannya hendak terulur untuk ikut membantu, namun langsung ditepis kasar oleh Rendra.

"Jangan sentuh dia!" Ia menyalak. Matanya penuh amarah .

Bima hendak mengabaikannya dan maju selangkah lagi, namun Dinda buru-buru menahannya.

"Aku nggak apa-apa, Mas Bima pulang aja."

Bima menatap Dinda dalam diam. "Din?" katanya mengonfirmasi.

"Nggak apa-apa." Dinda meyakinkan. Ia tidak mau semuanya jadi lebih kacau. Ia tau Rendra bisa lebih liar dari ini.

Bima tidak berkata apa-apa. Ia akhirnya mundur setengah langkah. Diam. Lalu pergi.

...***...

Pintu rumah terbuka dengan suara pelan, menyingkap wajah Rani yang langsung terbelalak melihat kondisi Rendra. Hidung berdarah, pelipis memar, sudut bibir sobek. Dinda bergidik ngeri saat teringat betapa lebih buruknya keadaan Bima tadi.

Tak jauh di belakang Rani, Seno muncul, masih dengan segaram dinasnya. Pandangannya juga langsung tertuju pada wajah babak belur Rendra. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang bertanya setelah Dinda menggeleng, memberi isyarat untuk tetap diam. Hanya tatapan singkat yang bingung, lalu mereka mundur. Diam-diam memberi ruang.

Beberapa menit yang lalu, Rendra sempat memaksa Dinda ikut ke mobilnya. Tapi Dinda menolak mentah-mentah.

"Aku nggak mau sendirian sama kamu. Kalo mau ngomong, aku mau di tempat aman." Katanya saat itu. Nada suaranya keras, walau mata masih berkaca-kaca.

Dan tanpa perlu debat panjang, Rendra mengalah. Rumah Seno jadi satu-satunya tempat yang masuk akal malam itu.

Sekarang, di dalam kamar tamu, Dinda duduk di ujung ranjang sambil mengompres luka di pelipis Rendra dengan handuk dingin. Tangannya masih gemetar, tapi tetap telaten. Sedangkan Rendra hanya diam, menahan perih.

"Ngapain kamu berdua dia di dalem mobil ?" Tanya Rendra dengan suara pelan, tapi matanya jelas menghakimi.

"Mas Bima jemput aku di apartemen Tania. Ayah yang suruh." Dinda menatap lurus ke luka di pelipis pria itu, "Dan ini bukan waktunya kamu introgasi aku."

Rendra terdiam. Rahangnya yang semula keras, kini melemas, "Maaf."

Dinda hanya diam, kali ini mengusap lukanya dengan cairan Rivanol.

"Ayo pulang, sayang." Tatapan matanya melembut.

Dinda masih diam.

"Please. I need you..."

Dinda sengaja menekan luka Rendra hingga pria itu mendesis kesakitan, refleks menjauhkan wajahnya.

"Aku nggak bisa bersihin lukanya kalau kamu ngomong terus." Dengan cepat ia menuangkan cairan antiseptik berwarna merah ke kapas dan menepuk pelan ke luka Rendra yang sudah dibersihkan.

"Dinda, aku sayang kamu. Nggak ada hal yang lebih penting daripada kamu dan pernikahan kita. Kita mulai semuanya dari awal ya.."

Oh.. akhirnya dia mengatakannya dengan lantang. Tapi terlambat. Dinda sudah tidak menginginkan itu sekarang. Paling tidak dia ingin Rendra berpikir begitu.

Dinda menghentikan kegiatannya, meletakkan kapas di tangannya ke meja kemudian menatap Rendra lekat-lekat. "Prilaku kamu nggak nunjukin itu, Mas. Kamu bohong, kamu tinggalin aku, kamu nggak pernah terbuka sama aku, aku nggak boleh tau apa-apa tentang kamu."

"Apa lagi yang mau kamu tau?"

"Semuanya. Soal kontrak itu. Soal kenapa aku nggak boleh tanya soal masa kecil kamu, soal mama kamu. Kenapa kamu nggak mau punya anak? Kamu cuma bilang nggak siap, tapi nggak pernah jelasin kenapa kamu nggak siap."

Untuk beberapa detik ruangan itu menjadi sunyi.

"Mama aku bunuh diri." Suaranya pelan dan lirih.

Dinda tertegun.

"Aku orang pertama yang nemuin dia berlumuran darah di kamar mandi. Dia sayat nadinya sampai meninggal." Matanya menjadi gelap.

Benarkah? Bukan tumor otak seperti kata media?

"Tapi semua bilang mama kamu meninggal karena tumor." Dinda tercekat.

"Papa nutupin semuanya. Mama skizofrenia dan sering coba bunuh diri."

Ya Tuhan. Dinda terdiam. Tiba-tiba dadanya terasa sesak. Membayangkan Rendra kecil menanggung beban yang sangat besar di usianya saat itu. Kasihan sekali dia.

Dinda membelai pipi Rendra dengan ibu jarinya, "Maaf Mas, aku nggak tau."

Rendra meraih tangan Dinda di pipinya dan menciumnya. Menghirupnya dalam-dalam.

"Itu alasan kenapa aku nggak pernah punya hubungan serius sebelum aku ketemu kamu, aku nggak mau terikat. Aku nggak mau ngerasain kehilangan yang berat lagi. Kontrak itupun aku sepakati sebelum ketemu kamu. Itu memang keserakahanku di masa lalu, aku minta maaf. Dan anak, aku takut nggak bisa memperlakukan dia dengan baik nantinya." Ia berhenti.

Memejamkan matanya sebentar, dan menggeleng pelan. Seolah ingin menghilangkan rasa sakit. "Aku liat gimana egoisnya papa dalam rumah tangganya, dan gimana dia hancurin istrinya, dan aku anaknya. Aku tumbuh besar dengan caranya, sifat kami nyaris sama. Mungkin aku juga akan jadi racun untuk orang-orang yang aku sayang." Lanjutnya.

Dinda masih terdiam, tidak tau harus merespon apa. Ia bisa memahami bahwa Rendra mungkin banyak mengalami penderitaan, tapi setiap tindakan manipulatifnya terhadap Dinda adalah pilihannya sendiri. Trauma tidak memberinya hak untuk menguasai orang lain.

"Aku sadar itu bukan alasan. Aku mau berusaha, Dinda. Kamu lebih penting dari semua ketakutan itu. Aku akan belajar jadi suami dan ayah yang baik. Jadi tolong... kasih aku kesempatan." Katanya memohon. Ia menggenggam tangan Dinda erat-erat.

Namun Dinda melepas genggaman Rendra, "Aku masih butuh waktu. Aku nggak bisa jawab sekarang. Aku belum bisa maafin kamu."

Untuk beberapa detik mata pria itu terlihat putus asa karena merasa ditolak untuk ke sekian kalinya.

"Kasih aku waktu satu bulan."

Rendra menatapnya gundah, "Dinda.." ia memohon.

"Aku butuh waktu, Mas." Kata Dinda tegas. "Dan tolong minta Rico bawa Yaris-ku ke sini. Besok aku kuliah." Lanjutnya.

Rendra hendak membantahnya, tapi ia urungkan. Ia tau Dinda tidak akan mendiskusikan apapun sekarang. Ucapannya hanya informasi, bukan bahan debat.

Sebenarnya Dinda ingin kembali. Tapi ia sadar kepribadian Rendra mungkin bisa menghancurkannya juga. Ia sudah melihat diri Rendra yang telanjang beberapa hari ini. Termasuk saat ia dibakar amarah seperti tadi. Seringkali ia juga bersikap manipulatif dan tidak jujur. Dinda tidak tau keputusan apa yang harus diambilnya. Haruskah ia bercerai?

Tapi pergi juga tidak mudah. Karena terlepas dari semua manipulasi dan ambiguitas Rendra, dia sangat mencintai suaminya. Dan ia ingin anak dalam kandungannya tidak kehilangan kesempatan untuk memiliki keluarga yang utuh.

***

1
Ecci Syafirairwan
🥰
Roxy-chan gacha club uwu
Ceritanya asik banget, aku jadi nggak tahan ingin tahu kelanjutannya. Update cepat ya thor!
PrettyDuck: Ditunggu ya kakk. Aku biasanya update jam 2 siang 🥰🥰
total 1 replies
Tsubasa Oozora
Sudah nggak sabar untuk membaca kelanjutan kisah ini!
PrettyDuck: Aa thank you kakak udah jadi semangatku untuk update 🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!