Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.
Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.
Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.
Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Koin Perak
Di atas kereta kuda sederhana, Anul, Arum, dan Biro duduk menikmati pemandangan tandus disekitarnya. Matahari yang baru melewati separuh lintasan sebelum mencapai titik tertingginya, sudah mulai melepaskan terik yang terasa menusuk kulit.
Samar-samar, ditengah udara yang berhembus pelan dapat ditemukan sedikit aroma asin yang segar. Di sisi jalan secara bertahap mulai nampak rerumputan hijau yang tumbuh subur diselingi dengan beberapa pohon kecil yang penuh dengan vitalitas.
Jalan yang sebelumnya bergelombang dan tandus sekarang jauh lebih mulus dan tertata rapi, membuat getaran di atas kereta kuda semakin berkurang.
Sebuah garis biru berkilau muncul di kejauhan. Angin mulai berhembus sepoi-sepoi dan aroma garam yang segar semakin jelas bisa dirasakan. Beberapa rumah penduduk mulai nampak berdiri kokoh di sepanjang jalan. Beberapa kincir sederhana terus berputar untuk melengkapi sebuah sistem irigasi sederhana.
"Laut! Itu Laut!" Seru Arum dengan mata berbinar. Rambut hitamnya yang terkuncir tergerai ujungnya—mengikuti arah angin. Kulit putihnya yang bercahaya di bawah terpaan matahari membuatnya menjadi nampak semakin menarik.
Biro menarik nafas panjang dan melengos sedikit. "Huh, laut apanya. Kasur di rumah jauh lebih baik dari tempat apapun."
Anul yang ada di depan kereta masih nampak menutup mata. Setelah meninggalkan Kota Hantu, tidak ada rintangan apapun yang menghadang mereka.
Untuk mengisi waktu tenang itu, Anul terus memacu siklus perombakan jiwanya selama seminggu penuh. Selama seminggu ini ia sudah menyelesaikan dua ratus tiga puluh tujuh siklus. Dengan tambahan ini, total siklus yang sudah ia lewati adalah sebanyak dua ribu empat ratus lima belas siklus. Persepsi jiwanya saat ini sudah mencapai radius seratus lima belas meter jika di keluarkan secara maksimal.
Perahu-perahu kecil berlalu lalang tidak jauh dari bibir pantai, menciptakan pemandangan yang mengesankan. Beberapa nelayan nampak berdiri di atas sebuah perahu sambil terus menarik jaring dari dalam laut. Setelah jaring itu terangkat, mereka mengambil ikan malang yang tersangkut dijaring itu. Pemandangan yang begitu hidup di pinggiran kota Gelombang ini sangat kontras jika di bandingkan dengan Kota Hantu.
Sebuah gerbang batu besar yang megah menyambut kedatangan ketiga pendekar muda itu. Mereka yang berasal dari desa terpencil di tengah gunung—belum pernah keluar desa, merasa takjub dengan pemandangan laut dan hiruk pikuk kota yang baru kali ini mereka rasakan. Anul yang tadi menutup matanya, sekarang sudah berdiri dengan gagah di samping kuda penarik kereta membawa mereka sepanjang perjalanan, menuntun kuda itu perlahan untuk masuk kedalam kota. Arum berdiri tepat di samping Anul, sementara Biro yang berjalan gontai karena malas agak jauh berada di belakang.
"Roti kukus! Roti kukus!"
"Mie Kuah! Mie Kuah!"
"Sayuran Segar Baru dipetik!"
"Ayam, Ikan, Daging segar!"
"Pok pok petok! Pok pok petok!"
Baru saja mereka bertiga melangkah memasuki gerbang kota, riuh suara pedagang dan beberapa hewan dagangan menyambut kedatangan mereka. Wangi berbagai aroma makanan yang sedang dimasak membuat perut mereka bergetar hebat dengan suara yang menggelegar bagaikan petir.
Brak!!
Seseorang menabrak kuda yang sedang di tuntun oleh Anul. Seorang pria berbadan kekar terduduk tepat di sebelah kuda yang terdiam itu. Dengan sedikit meringis, ia terus memegangi salah satu tangannya. Untungnya kuda merah yang berada disampingnya itu tidak terkejut dan mengamuk. Kuda itu hanya sedikit melirik dengan tatapan yang menghina.
Dari balik kerumunan yang berlalu lalang muncul pria lain dengan penampilan rapi. "Mengendarai kuda ditempat ramai adalah pelanggaran. Kalian bahkan menabrak seseorang."
Anul dan yang lainnya hanya diam melihat tingkah orang yang baru datang itu. Orang itu bersikap seolah hendak membantu pria kekar yang terduduk ditanah tadi. Tangannya terulur, dan membantu pria kekar itu untuk berdiri.
Dari tangan pria kekar itu nampak cairan berwarna merah yang menempel seolah ada luka di lengannya itu—luka itu sangat realistis, sampai orang akan tertipu jika hanya melihatnya dengan sekilas.
"Ckckck, kuda milik kalian sudah melukai orang lain. Kalian harus membayar untuk pengobatan. Selain pengobatan kalian juga harus membayar ganti rugi."
Omong kosong macam apa ini?
"Ganti rugi? Kau itu buta atau idiot?" Biro memotong dengan nada mengejek.
"Berani sekali kau melawan perkataanku. Kalau aku bilang ganti rugi ya kau ganti rugi."
Biro mulai kesal menghadapi orang tidak tahu diri dihadapannya itu. Arum jauh lebih baik, ia hanya menatap hening kearah kedua orang yang mencari masalah itu.
"Berapa biaya ganti rugi yang kau minta?" Anul yang dari tadi diam mulai bersuara, wajahnya datar.
"Sepertinya masih ada orang waras di antara kalian. Baiklah, untuk tangan yang patah membutuhkan biaya pengobatan sebanyak lima koin perak. Karena orang ini tidak bisa bekerja sampai tangannya sembuh, maka biaya ganti ruginya total dua puluh koin perak." Pria berbaju rapi itu tersenyum puas.
Krak..
"Arrgghhh.. tanganku!!" Pria bertubuh kekar itu mengangkat tangan kirinya yang sudah patah sungguhan. Tangan itu terkulai tanpa ditopang oleh tulang yang tadinya kokoh.
Suasana yang tadinya riuh dan ramai dengan sorakan penjual dari segala arah, mendadak hening.
Tanpa ekspresi sedikitpun, Anul yang entah kapan sudah berada di depan kedua pria pencari masalah itu—mengulurkan tangannya yang memegang sebuah kantung kain. Pria berbaju rapi hanya bisa menyambut apa yang diberikan Anul dengan tangan yang bergetar. Celananya basah dan genangan berwarna kuning muncul tepat dibawah kakinya.
Anul tiba-tiba sudah kembali di tempatnya semula, tepat disebelah Arum. "Dua puluh koin perak," ujarnya dingin.
Kedua pria itu hanya bisa membisu—gemetar, Anul dan teman-temannya terus jalan menjauh.
Suasana hening kembali riuh setelah beberapa saat.
...****************...
"Jangan pernah ragu-ragu saat bertemu dengan orang yang seperti tadi. Jika kalian ragu atau menunjukan emosi kalian, maka mereka akan menggigit kalian dengan keras."
Sembari berjalan, Anul memperingatkan dua temannya.
Di kota kecil yang sangat padat ini, berbagai jenis manusia hidup dan saling membaur. Beberapa di antara mereka adalah serigala yang mengintai dari kegelapan, sedangkan yang lainnya hanyalah anak anjing yang menggonggong untuk menguji mangsanya.
Untuk anjing yang menggonggong, jika mereka melihat lawannya memiliki keraguan ataupun rasa takut, mereka akan menggigit dengan sangat keras.
Didepan sebuah bangunan bertingkat, mereka bertiga berhenti sejenak. Biro masuk kedalam bangunan itu sebelum akhirnya keluar.
"Masih ada dua kamar kosong, sepertinya kita beruntung," Biro berujar sambil tersenyum.
Melihat keramaian kota ini membuatnya tidak sabar untuk melihat-lihat—lebih tepatnya ia tidak sabar mencicipi semua jajanan yang ada dikota itu.
Selama beberapa jam mereka mencari penginapan, baru sekaranglah mereka bisa mendapatkan kamar untuk beristirahat. Mereka bertiga memutuskan untuk beristirahat selama beberapa hari di kota kecil ini sebelum melanjutkan perjalanan.
Sebenarnya Biro beberapa kali merengek untuk berhenti sejenak di beberapa kedai makanan. Tapi Anul dan Arum menolaknya dan mengatakan bahwa mereka harus mencari penginapan terlebih dahulu untuk meletakan barang bawaan mereka.
Dengan meninggalkan beban di penginapan maka akan lebih mudah dan leluasa untuk berkeliling nantinya.
Setelah membayar biaya penginapan dua kamar sebanyak dua koin perak, mereka langsung mengikat kuda mereka di samping penginapan. Barang bawaan mereka yang ada di atas kereta dipindahkan kedalam kamar dengan bantuan beberapa pelayan.
Anul akan sekamar dengan Biro, sedang Arum akan tidur sendiri di kamar lain. Setelah selesai menyusun barang bawaan mereka, mereka lalu turun lagi untuk pergi berkeliling.
Setelah berdiskusi, mereka bertiga akhirnya sepakat untuk berkeliling secara terpisah sekaligus membeli ulang beberapa kebutuhan untuk perjalanan selanjutnya.
"Hati-hati, jangan sampai tersesat." Anul mengingatkan sebelum mereka bertiga berpencar.