Aryani Faizah yang sedang hamil tua mengalami kecelakaan tertabrak mobil hingga bayi yang ia kandung tidak bisa diselamatkan.
Sang suami yang bernama Ahsan bukan menghibur justru menceraikan Aryani Faizah karena dianggap tidak bisa menjaga bayinya. Aryani ditinggalkan begitu saja padahal tidak mempunyai uang untuk membayar rumah sakit.
Datang pria kaya yang bernama Barra bersedia menanggung biaya rumah sakit, bahkan memberi gaji setiap bulan, asalkan Aryani bersedia menjadi ibu susu bagi kedua bayinya yang kembar.
Apakah Aryani akan menerima tawaran tuan Bara? Jika mau, bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Mata Barra menyipit ketika melirik ke sebelah kanan, benda yang tidak asing tergeletak di sana. Sebenarnya ia penasaran, apakah benda tersebut yang ia cari-cari. Tetapi Barra menahan dulu akan menanyakan kepada supir di waktu yang tepat.
Gedung megah lantai tujuh nampak berdiri kokoh, kaki-kaki pria maupun wanita melangkah pasti masuk lobby gedung dengan pakaian yang berbeda model.
Tidak terkecuali Barra. Dengan langkah pasti dan percaya diri, pria pemilik perusahaan itu masuk di antara para karyawan. Jas hitam yang ia kenakan nampak elegan, sorot matanya memancarkan ketegasan visi kepemimpinan.
Kaki-kaki itu cepat menyingkir ketika tahu bahwa di belakang mereka ada orang nomor satu di perusahaan tersebut sedang lewat.
Para karyawan pria wanita membungkuk memberi hormat hingga Barra masuk ke dalam lift.
"Dul" panggilnya ketika Barra sudah tiba di ruangan. Menatap Abdullah yang sudah berjibaku di depan komputer. Abdullah memang jarang sekali berangkat ke kantor bersama Barra. Sebab, Barra selalu santai datang agak siang.
"Apa Bang" Abdullah menoleh Barra yang sedang meletakkan tas di atas meja kerja.
"Aku curiga ada yang tidak beres dengan supir di rumah" ucapnya lalu bokongnya nangkring di sudut meja kerja Abdullah.
Abdullah geleng-geleng kepala menatap sepupunya, mungkin Barra tidak ingat jika yang dia duduki bukan kursi. "Ada apa dengan supir Abang?" Abdullah menarik napas, baru juga mulai kerja Barra sudah mengajaknya curhat.
"Kamu ingat tidak, handphone aku yang hilang di bandara sebelum kunjungan ke timur tengah?" Barra akhirnya turun dari meja kerja Abdullah. Kemudian pindah ke kursi kebesarannya.
"Ingat Bang, bagaimana? Pencurinya sudah ketemu?" Abdullah bertanya serius.
Barra pun akhirnya menceritakan ketika di mobil tadi melihat hape yang mirip miliknya itu. Barra curiga jika supirnya itu yang ambil.
"Ya Allah... hape mirip mah, tidak bisa dijadikan barang bukti Bang" Abdullah membantah. Semua hape yang merk dan model sama sudah pasti mirip.
"Sudahlah, nanti aku akan buktikan" pungkas Barra, padahal yang dia maksud bukan begitu. Handphone memang banyak yang mirip, tapi sebagai pemilik tentu Barra bisa membedakan. Lagi pula hape Barra sangat mahal, masyarakat tidak akan mampu membeli, kecuali para pengusaha, artis, dan orang-orang kaya.
Barra pun akhirnya membuka lembar demi lembar berkas, lantas menandatangani. Hingga menjelang makan siang kemudian istirahat.
"Selesai shalat, kita cari makan, Dul" ujarnya lalu berdiri ambil air putih di dispenser.
"Siap Abang ku..." Abdullah bersemangat.
"Kalau ditawari makan saja, kamu semangat" Barra melirik Abdullah sekilas, lalu duduk. Tidak merespon lagi tawa Abdullah yang memenuhi ruangan.
Barra minum air putih terasa segar, karena sejak mulai kerja tidak meneguk air. Itulah kebiasaan Barra jika sudah fokus kerja, minum pun sampai lupa.
Selesai minum, Barra tidak lupa video call dengan si kembar. Lebih tepatnya bukan si kembar saja, tapi ingin menatap wajah ibu si kembar.
"Assalamualaikum..." Faiz mengucap salam memperlihatkan wajah si kembar ke depan layar handphone.
Barra menjawab sallam tertawa lebar. "Hai, sayangnya Abi..." Barra gemas menatap kedua putranya yang hendak menggapai layar handphone, seolah Abinya berada di hadapan mereka.
"Bii... bii..." ujarnya, lalu tertawa ketika Barra mengajaknya bicara. Jika sudah begitu, Barra rasanya ingin pulang.
"Faiz, kamu sudah makan belum?" Barra beralih menatap wanita yang ia rindukan.
"Sudah..."
"Oh, sampai jumpa nanti sore, Abi mau makan dulu"
"Dada Abi..."
Barra tersenyum ketika Faiz mengangkat tangan Rohman dan Rohim dada di depan layar. Itulah penutup pembicaraan mereka.
"Alasan saja telepon si kembar, padahal Faiz tuh yang Abang tuju..." Abdullah mengangkat dua alis.
"Dua-duanya lah, makanya kamu cepat cari pacar, supaya tahu rasanya bucin" Barra kali ini gantian yang tertawa.
"Carikan dong Bang" Abdullah serius, ia selama ini belum pernah jatuh cinta. Sekalinya jatuh cinta kepada Faiz, terpaksa mengubur dalam-dalam, tentu saja Abdullah tidak mau bersaing dengan kakak sepupunya.
"Jodoh itu lebih baik mencari sendiri Dul, kamu tidak mau belajar dari pengalaman aku, hasil pernikahan dari perjodohan itu seperti apa" Barra menasehati.
"Tapi kenyataannya, walaupun Abang dijodohkan, toh menghasilkan si kembar" jawab Abdullah.
"Stop! Jangan dibahas lagi." Barra segera mengalihkan, mengajak Abdullah shalat dzuhur. Sholat pun selesai, sepuluh menit kemudian mereka masuk ke dalam lift. Dua pria itu hendak mencari makan siang seperti biasanya.
Tiba di tempat parkir, Barra melihat supir tengah berbincang-bincang dengan teman seprofesi. Barra minta Abdullah memanggilnya.
"Maaf Tuan, saya sampai lupa jika sekarang sudah jam satu siang" kata supir sembari membuka pintu tengah untuk Barra dan juga Abdullah.
"Santai saja Pak." Abdullah yang menjawab.
Sementara Barra tidak berkata-kata, ia memilih duduk di depan seperti ketika berangkat. Ia lagi-lagi melirik handphone yang mirip miliknya. Letak masih di tempat yang sama, tapi posisi berbeda. Handphone tersebut sepertinya selesai di gunakan.
"Mau diantar ke restoran mana Tuan?" Tanya supir setelah mobil berjalan lumayan jauh.
"Restoran yang biasanya, Pak. Benar kan Bang?" Abdullah menjawab supir, lalu bertanya Barra.
"Iya" hanya itu jawaban Barra.
Supir menjalankan mobil Barra hingga tiba di salah satu restoran yang biasa mereka kunjungi. Barra mencari tempat duduk yang untuk bertiga, selanjutnya memesan makanan sesuai selera masing-masing.
Barra masih juga memperhatikan handphone yang berada di saku baju supir, ia memutar otak bagaimana caranya agar bisa meneliti handphone tersebut lebih dekat.
Hidangan makan siang pun sudah tersaji, mereka menikmati pesanan masing-masing. Setelah habis, mereka kembali ke kantor.
Tidak terasa, waktu berganti begitu cepat untuk orang sibuk seperti Barra. Pria itu ingin segera pulang, dan menimang buah hatinya.
"Aku duluan, Dul"
"Iya, Kak. Hati-hati"
Barra meninggalkan ruang kerja lantas pulang. Supir yang baru bekerja selama kurang lebih satu tahun itu, begitu terampil selap selip mencari jalan. Begitu ada jalan tikus, supir belok kiri hingga terbebas dari kemacetan walaupun agak jauh sedikit.
Ruko demi ruko penjual bermacam-macam makanan supir lewati, hingga melintas di depan toko khusus makanan kering.
"Berhenti dulu Pak" titah Barra.
Supir pun akhirnya berhenti, menunggu perintah Barra selanjutnya.
"Tolong belikan snack kacang-kacangan di ruko itu" Barra memberi beberapa lembar uang. Ia ingin membelikan Faiz kacang-kacangan agar asinya banyak.
"Baik Tuan" Supir turun dari mobil berjalan menuju toko.
Kesempatan itu Barra gunakan untuk memeriksa handphone yang sudah sejak pagi menunggu kesempatan ini.
Ia buka handphone merk mahal yang sudah diganti cover itu, kemudian memeriksa agar Barra tidak salah tuduh.
"Ini memang handphone aku" gumamnya lalu menatap gusar supir yang sedang membayar keripik.
"Keripiknya Tuan" Supir sudah kembali, lalu meletakkan keripik di jok tengah yang kosong, kemudian menjalankan mobil kembali.
"Berhenti!" Tandas Barra ketika tiba di tempat yang sepi, matanya menatap supir mendelik tajam.
Supir di sebelahnya mengerem mendadak, kaget, karena mendengar perintah bos yang tidak biasanya demikian.
"Dari mana kamu mendapatkan handphone ini?!" Barra mengangkat handphone di tangan.
...~Bersambung~...
Lilis emaknya Faizah? atau emaknya kembar?