Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25. TINDAKAN DARURAT
Aruna menempelkan telapak tangannya di dada wanita itu, merasakan getaran berat setiap tarikan napas. Ia tahu, bila serangan ini berlanjut, bisa berakibat fatal. Maka ia melakukan cara yang ia pernah pelajari di era modern: menekan titik tertentu di antara tulang rusuk untuk merangsang pelebaran jalan napas.
Pelan-pelan ia memijat, sementara bibirnya berbisik doa penuh harap, penuh keyakinan.
Beberapa saat kemudian, wanita itu tersedak, mengeluarkan suara seperti batuk. Napasnya masih berat, tapi tidak lagi seputus-putus tadi. Aruna segera memiringkan tubuhnya sedikit agar udara lebih mudah masuk.
Babu gubernur kembali dengan sebotol minyak kayu putih. Aruna segera menuangkan beberapa tetes ke telapak tangannya, lalu mengusap perlahan di dada bagian atas dan punggung wanita itu. Aroma kuat menusuk hidung, memicu lega di paru-paru yang sesak.
Wanita itu merintih pelan, matanya bergetar seperti hendak terbuka.
"Bagus," ucap Aruna sambil tersenyum tipis. "Dia mulai merespons."
Kerumunan yang semula panik kini menahan napas menyaksikan Aruna bekerja.
Seorang pedagang Belanda berbisik kagum, "Gadis pribumi itu tahu apa yang "ia lakukan."
"Dia tabib?"
"Dia bahkan tanpa ragu sedikit pun membantu wanita itu."
Bisik-bisik terdengar dari setiap sudut, membicarakan tentang Aruna.
Pria muda yang ternyata adalah suami wanita itu, memandang Aruna dengan mata basah. "Tolong ... selamatkan dia. Dia istriku, Maria. Aku tak tahu apa jadinya bila dia pergi."
Aruna menatapnya lembut namun mantap. "Dia akan selamat, Tuan. Percayalah."
Van der, yang biasanya menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada, kini justru berdiri di belakang Aruna, membiarkan gadis itu menjadi cahaya yang dipandang semua orang. Hatinya bergetar, ada rasa bangga, tapi juga kekaguman yang makin sulit ia sembunyikan.
Beberapa menit terasa panjang seperti jam. Perlahan, napas wanita itu menjadi lebih teratur. Warna kebiruan di bibirnya mulai memudar, digantikan rona merah pucat. Kelopak matanya bergetar, lalu terbuka sedikit, menampakkan bola mata yang masih redup namun hidup.
"Maria?!" seru suaminya, suaranya bergetar antara syukur dan tangis. Ia menggenggam tangan istrinya erat-erat.
Wanita itu mencoba bicara, tetapi hanya terdengar bisikan serak. Aruna segera menepuk lembut tangannya.
"Jangan paksa bicara. Bernapaslah pelan, tarik lewat hidung, buang lewat mulut. Ya ... begitu," kata Aruna lembut. Aruna mendemonstrasikan pernapasan, dan wanita itu perlahan mengikutinya.
Sesak yang mencekik tadi mulai mereda.
Suara lega menyebar di kerumunan. Beberapa orang bertepuk tangan kecil, yang lain mengangguk-angguk kagum.
"Luar biasa ... seorang gadis pribumi menolong nyawa seorang nyonya Belanda," bisik seseorang.
Van der menatap sekeliling dengan sorot tajam, memastikan tak ada nada merendahkan dalam bisikan itu. Tetapi ia mendapati justru kekaguman yang terdengar.
Suami wanita itu menunduk pada Aruna, matanya penuh rasa terima kasih. "Nona, siapa pun nama Anda, Anda telah menyelamatkan istriku. Aku tidak tahu bagaimana membalasnya. Terima kasih."
Aruna menunduk sopan. "Saya hanya melakukan apa yang saya bisa, Tuan. Pastikan istri Anda banyak beristirahat, hindari udara lembap dan debu yang memicu serangan. Jika serangan datang lagi, segera cari tabib yang paham pengobatan pernapasan. Jangan kenakan korset, dan langsung pakai pakaian tebal dan hangat jika udara dingin. Berikan air hangat untuk diminum jika istri Anda kambuh. Ini adalah penyakit pernapasan bernama Asma. Akan bisa muncul tiba-tiba jika ada di udara dingin, tempat berdebu, kelelahan, banyak beban pikiran, dan juga saat demam. Jika kambuh, buatkan rebusan air jahe, tambahkan madu sedikit jika tidak suka rasanya. Itu akan sangat membantu."
Pria itu mengangguk cepat. "Aku akan melakukannya. Terima kasih ... terima kasih. Aku akan ingat yang Anda katakan."
Maria, wanita yang baru saja terselamatkan, memandang Aruna dengan mata berair. Tangannya yang lemah terangkat sedikit, seperti ingin menyentuh wajah gadis itu. Aruna meraih tangannya, menggenggam lembut. Ada rasa syukur yang tak terucap di dalam tatapan itu.
Setelah pasangan itu dibawa pulang dengan tandu oleh beberapa pelayan, kerumunan perlahan bubar. Namun bisikan tentang 'gadis pribumi yang menyelamatkan nyonya Belanda' tetap bergaung.
Van der berdiri di samping Aruna, menatapnya dengan sorot yang sulit ditebak. Wajahnya serius, namun di balik itu ada kebanggaan yang membuncah.
"Aruna?" panggil Van der perlahan, suaranya dalam, "Kau luar biasa hari ini. Kau menyelamatkan wanita tadi."
Aruna menoleh, pipinya merona mendengar ucapan itu. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan, Tuan."
Van der menggeleng pelan. "Tidak, kebanyakan orang hanya akan berdiri dan menonton. Tetapi kau melangkah maju, tanpa ragu, dan menyelamatkan nyawa. Itu membutuhkan keberanian sekaligus pengetahuan. Kau bahkan tahu penyakit perempuan itu dengan pemeriksaan cepat hingga pemicu sampai obatnya juga."
Aruna menunduk, menyembunyikan senyumnya. "Aku belajar dari orang Tionghoa. Dia mengajarkan sedikit tentang titik-titik tubuh dan pernapasan. Aku hanya mengingat apa yang pernah ia katakan," jawabnya walau bukan orang Tionghoa di zaman ini yang mengajarkan Aruna.
Van der menatapnya lebih lama dari seharusnya, hingga Aruna merasa jantungnya berdebar. Ia buru-buru menunduk lagi, menyibukkan diri dengan merapikan selendangnya.
Kereta kuda kembali berjalan pelan menyusuri jalan utama Batavia. Namun suasana hati Van der dan Aruna masih dipenuhi gema peristiwa yang baru saja terjadi. Dari luar jendela, hiruk pikuk pasar tetap sama: teriakan pedagang, tawa anak-anak, suara logam beradu di bengkel pandai besi. Tetapi bagi mereka, dunia terasa sedikit berbeda, seolah waktu berhenti beberapa saat ketika seorang nyawa diselamatkan.
Van der duduk tegak, tangannya terlipat di pangkuan. Ia sesekali melirik Aruna yang termenung, matanya menatap keluar jendela. Selendang tipisnya bergeser tertiup angin, menyingkap sebagian rambut hitamnya yang berkilau. Ada kelembutan sekaligus keteguhan di wajah gadis itu yang membuat Van der tak bisa mengalihkan pandangannya.
"Aku tak menyangka," katanya akhirnya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. "Seorang gadis yang aku kira hanya pandai bicara dan membawa cahaya di rumah, ternyata juga mampu menantang maut di tengah jalan."
Aruna menoleh, menatapnya dengan seulas senyum samar. "Jangan terlalu melebih-lebihkan, Tuan. Aku hanya melakukan apa yang semestinya. Kalau bukan aku, mungkin orang lain pun akan menolongnya."
Van der menghela napas pelan, menggeleng. "Tidak, Aruna. Kebanyakan orang tadi justru panik, bingung, atau sekadar berbisik. Kau satu-satunya yang berani maju. Itu bukan hal biasa."
Aruna tidak menjawab. Ia kembali menatap ke luar, melihat seorang budak kecil yang digiring oleh majikannya sambil membawa beban kayu. Anak itu kurus, pundaknya nyaris patah oleh beban yang terlalu besar. Aruna merasakan nyeri di hatinya.
"Batavia ini memang tampak megah, tetapi di baliknya ada begitu banyak luka," ujar Aruna.
Van der mengikutinya menatap. Matanya redup, suaranya berat. "Itulah yang selalu menghantui pikiranku. Aku datang dengan tugas memimpin, tetapi setiap kali melihat perbudakan, aku merasa seperti penjahat yang membiarkannya terjadi. Aku bisa melarang penyiksaan, aku bisa hukum mereka yang melanggar, tetapi aku belum bisa menghapus belenggu itu. Hukum lama dan kepentingan banyak pejabat masih terlalu kuat."
Aruna menoleh, menatapnya lama. "Tapi setidaknya kau sudah memulai. Kau berani berkata 'tidak' pada kekejaman, sementara banyak orang hanya diam. Itu pun sudah berarti."
Ucapan itu membuat Van der terdiam. Kata-kata Aruna terasa seperti cahaya yang masuk ke ruang gelap dalam dirinya. Ia menoleh, menatap mata gadis itu dengan tatapan yang dalam.
Kereta berbelok ke lorong yang lebih sempit, di mana kehidupan rakyat pribumi terlihat nyata tanpa topeng. Anak-anak berlari tanpa alas kaki, tertawa meski tubuh mereka kurus. Perempuan menjemur kain di tali bambu, sementara laki-laki memikul karung padi dari pelabuhan.
Aruna menatap pemandangan itu dengan mata berbinar sekaligus sedih. "Inilah wajah sesungguhnya dari kota ini. Mereka yang berjuang setiap hari hanya untuk bertahan."
Van der mengangguk, matanya penuh refleksi. "Kadang aku merasa, merekalah yang sebenarnya menjadi denyut Batavia. Tanpa mereka, kota ini tidak akan berdiri. Namun justru mereka yang paling banyak menderita."
Kereta berhenti di sebuah sudut, di mana seorang pedagang Tionghoa menjual perhiasan dan kain dengan warna mencolok. Van der mengajak Aruna turun lagi, ingin menebus ketegangan dengan sesuatu yang lebih ringan.
Namun saat mereka berjalan melewati gang kecil, Aruna kembali membuatnya terkejut. Ia mendengar percakapan dua pedagang Tionghoa tentang harga sutra dan kesulitan kiriman kapal dari Tiongkok. Dengan fasih, Aruna menyahut, memberi saran dalam bahasa mereka.
Kedua pedagang itu terbelalak, lalu tertawa gembira. "Nona ini sungguh luar biasa! Tidak hanya cantik, tetapi juga pandai bahasa kami!"
Van der hanya bisa menggeleng sambil tertawa kecil. "Aruna, aku harus mengaku kalah. Kau seperti permata yang tak pernah habis kilaunya. Setiap kali aku pikir sudah mengenalmu, kau selalu menunjukkan sesuatu yang baru."
Aruna tersenyum, pipinya sedikit bersemu. "Aku hanya senang belajar. Bahasa adalah jendela dunia, Tuan. Dan aku ingin mengintip dunia dari jendela itu."
Mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di tepi sebuah kali yang membelah kota. Airnya berwarna cokelat keruh, penuh perahu kecil yang membawa barang dagangan. Di kejauhan, kapal-kapal besar Belanda bersandar di pelabuhan, layar putihnya berkibar.
Saat matahari mulai condong ke barat, mereka kembali naik kereta menuju kediaman gubernur. Perjalanan pulang lebih hening, tetapi bukan hening yang canggung. Hening itu penuh dengan pikiran, refleksi, dan rasa yang tumbuh diam-diam di antara keduanya.
Van der menatap Aruna sekali lagi. "Hari ini ... kau membuatku melihat Batavia dengan cara yang berbeda. Bukan hanya kota yang harus aku pimpin, tetapi juga kota yang harus aku dengarkan suaranya."
Aruna tersenyum samar. "Dan aku pun melihatmu berbeda hari ini, Tuan. Kau bukan hanya seorang gubernur, tetapi seorang manusia yang juga terluka oleh ketidakadilan."
Ucapan itu menancap dalam di hati Van der. Ia tahu, semakin hari ia semakin terikat pada gadis ini, bukan hanya karena keberaniannya, tetapi karena cara Aruna membuatnya melihat dunia dengan mata yang lebih jernih. Kasih sayang yang semakin lembutkan hati Van der Capellen.