NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:973
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27: Bayang-bayang kesalahan Anthony

Setelah berbincang panjang lebar, akhirnya pertunangan sederhana namun penuh makna itu berjalan dengan lancar. Sebenarnya, jika Nayara dan Zevian menghendaki, keluarga Steel bisa saja menggelar acara pertunangan besar-besaran di sisa waktu seminggu menuju hari H pernikahan mereka. Tapi keduanya menolak dengan alasan tak ingin kelelahan menjelang hari penting tersebut, dan kedua belah pihak pun menyetujui keputusan itu tanpa keberatan.

Anthony hanya meminta satu syarat: ia tidak ingin pendidikan Nayara terganggu setelah menikah. Keluarga Steel dengan lapang dada menyanggupi permintaan itu, karena bagi mereka pun, pendidikan adalah hal yang tak bisa dikompromikan.

Kini, di ruangan yang luas itu, hanya tinggal Nayara dan sang ayah, Anthony. Lelaki paruh baya itu masih duduk di kursinya, tak bergeming. Begitu pula dengan Nayara, yang tetap berada di tempatnya sejak kepergian keluarga Steel beberapa saat lalu. Hening menyelimuti keduanya, seperti ada sekat tak kasatmata yang membuat mereka sulit bicara—padahal hanya berjarak beberapa langkah.

Udara malam mulai dingin, namun bukan itu yang membuat suasana jadi begitu berat. Tatapan mata Nayara tak pernah benar-benar menatap langsung sang ayah. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan segala bentuk perasaan yang tak ingin tumpah.

Cukup lama mereka terdiam, sampai akhirnya Anthony berbicara. Suaranya tenang namun terdengar berat, seolah menyimpan banyak luka dan kata yang tak pernah berhasil diucapkan.

“Sudah, bukan?” Anthony membuka suara lagi, kali ini nadanya lebih datar, namun penuh ironi. “Mereka tidak akan kecewa padamu... tapi Papa yang kecewa padamu,” ucapnya sembari mengulas senyum getir, matanya menatap langsung ke arah Nayara, tajam, namun lelah.

Nayara menatap ayahnya tanpa ekspresi. Tidak ada yang bisa dia tanggapi dari kalimat itu, karena luka di hatinya terlalu dalam untuk sekadar dijelaskan oleh satu atau dua kata.

“Seharusnya kalian menikah saja, tidak perlu meminta restu pada Papa. Memang, sejak kapan Papa berarti dalam hidupmu? Kamu hanya melihat semua kesalahan yang pernah Papa lakukan pada Mama. Hanya itu yang kamu lihat dari Papa. Kamu tidak pernah sekalipun melihat, bahwa Papa... Papa berusaha berubah untukmu.” lanjut Anthony, suaranya mulai mengeras.

Ucapannya terdengar emosional. Kali ini, dia tak lagi menatap ke luar jendela, tapi langsung memandang Nayara dengan sorot mata kecewa—campuran marah, sakit hati, dan penyesalan yang menumpuk.

Namun Nayara hanya mendengus lirih. Dia mengangkat kepalanya, menatap ayahnya balik dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Lalu dia berkata dengan nada yang tak kalah tajam, suaranya bergetar, tapi jelas.

“Perubahan apa? Bahkan sampai saat ini... setelah bertahun-tahun semenjak kepergian Mama... Papa masih terus menyakitinya.” ujar Nayara yang membuat mata Anthony menyipit. Dia seperti tak percaya dengan ucapan putrinya barusan.

“Apa yang kamu katakan?” tanyanya, nyaris tak terdengar, seolah-olah tidak ingin menerima kenyataan dari kalimat itu.

“Ya. Papa pikir Nay tidak tahu apa yang Papa lakukan di belakang Nay? Papa pikir Nay sebodoh itu sampai Nay tidak paham apa yang Papa lakukan pada Mama? Kalian memang terlihat baik-baik saja di depanku, tapi di belakang, kalian selalu bertengkar. Dan semua itu... karena Papa berselingkuh dengan Tante Stefani, kan?” Ucapan Nayara menghantam keras di dada Anthony. Seolah semua rahasia yang ia simpan bertahun-tahun, tiba-tiba dibuka begitu saja—oleh putrinya sendiri.

“Papa pikir Papa bisa membodohi Nay selamanya? Nay tidak sebodoh itu, Papa. Nay tahu Tante Stefani dan Dewi... Yang papa bilang bukan siapa-siapa. Mereka istri kedua dan anak Papa juga, bukan?” Ujarnya dengan nafas mulai memburu. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Emosi yang selama ini ia tahan, akhirnya meledak keluar, seperti lava panas yang tak bisa lagi dibendung.

“Papa bilang Papa berubah. Tapi mana? Bahkan setelah Mama meninggal... Papa masih saja berhubungan dengan Tante Stefani dan Dewi.” ujar nya lagi yang membuat Anthony kini benar-benar terdiam. Tatapannya kosong. Nafasnya berat, dan pandangannya mulai bergetar. Dia tak menyangka. Sama sekali tak menyangka bahwa Nayara, yang selama ini ia anggap tidak tahu apa-apa, ternyata mengetahui segalanya.

Nayara berdiri. Wajahnya merah karena amarah, tapi matanya masih menyimpan luka yang terlalu dalam untuk digambarkan.

“Nay bukan anak kecil lagi, Papa," ujar nya tegas "Nay bukan anak kecil seperti dulu, yang bisa Papa bohongi dengan mengatakan bahwa Tante Stefani dan Dewi itu saudara jauh Papa. Nay lihat sendiri, Papa berduaan dengan Tante Stefani. Papa pergi liburan bersama mereka, seolah aku dan Mama tidak pernah ada.” Nayara mengambil napas dalam, lalu melanjutkan kalimatnya dengan suara yang lebih tenang, namun lebih menghantam.

“Lalu Papa kembali pada Mama... seolah-olah Papa adalah suami dan ayah terbaik di dunia ini. Perubahan yang Papa katakan tadi itu... aku tidak melihatnya. Anggaplah aku buta oleh rasa kecewaku—dan penyebabnya adalah tingkah Papa sendiri.” lanjut Nayara yang membuat Anthony menggertakkan rahang. Dia ingin bicara, ingin menyangkal, tapi semua kata membeku di tenggorokannya.

“Papa tahu... karena Papa—karena pria seperti Papa—aku sempat membenci Tuhan.” ujar nya yang membuat Anthony langsung menoleh cepat. Napasnya tercekat.

“Yang Papa lihat bukan apa yang Nay rasakan,” lanjut Nayara, suaranya pecah. “Papa pikir, dengan mencukupi kebutuhan Nay, Papa sudah menjadi ayah terbaik? Tidak... Bahkan Papa tidak tahu aku bolak-balik ke psikiater dan psikolog... hanya untuk menghilangkan trust issue ku terhadap laki-laki tidak tahu diri seperti Papa.” Tangis akhirnya jatuh. Tapi bukan tangis lemah—ini adalah air mata dari luka yang telah lama tertahan. Nayara mengusapnya dengan kasar, tak ingin terlihat rapuh.

Nayara menatap ayahnya untuk terakhir kalinya malam itu. Mata yang dulu selalu memohon perhatian, kini menatap tanpa takut.

“Dan sekarang... Papa datang padaku, seolah-olah Papa peduli? Terlambat, Pa.” Ujar nya dan dengan langkah tegas, Nayara pun berbalik, meninggalkan Anthony yang masih terduduk di tempatnya. Tak mampu bicara, tak mampu bergerak. Hanya tatapan kosongnya yang menatap punggung putrinya, yang kini telah jauh lebih kuat dari yang pernah ia kira.

Anthony hanya diam, tertegun melihat langkah Nayara yang semakin menjauh dari pandangannya. Hatinya menegang. Tangannya terangkat, mengusap wajahnya dengan kasar, seolah ingin menghilangkan semua rasa frustrasi yang menyesakkan dadanya.

Bayangan Maria—mendiang istrinya—berkelebat dalam ingatannya. Wanita itu bertahan bersamanya selama bertahun-tahun, bahkan setelah tahu bahwa ia memiliki wanita lain, dan seorang anak dari hubungan terlarang itu.

Maria tidak pernah mengungkit, tidak pernah mengamuk, tidak pernah memintanya memilih. Satu-satunya alasan wanita itu bertahan hanyalah Nayara—putri mereka. Maria ingin Nayara tumbuh dengan figur ayah, meski tahu ayah itu adalah seorang penghianat.

Dan kini, semuanya runtuh. Nayara tahu. Rahasia yang dia dan Maria simpan rapat-rapat selama bertahun-tahun akhirnya terkuak. Anthony menutup matanya erat. Dadanya sesak. Dalam diam, penyesalan perlahan naik ke permukaan, mengaduk-aduk isi hatinya hingga tak sanggup ia bendung. Lalu, ingatannya kembali—kembali pada masa ketika segalanya mulai hancur.

•••

Flashback on

Di sebuah ruang kantor megah di lantai tertinggi gedung pencakar langit, sinar matahari sore menembus kaca jendela besar, menyiram ruangan dengan semburat jingga keemasan yang hangat. Anthony duduk di balik mejanya, mata terfokus pada berkas-berkas penting yang tersebar rapi di hadapannya. Jas hitamnya sudah dilepas, lengan kemeja putih tergulung hingga siku.

Hari itu tampak akan berakhir seperti biasa—hingga Stefani masuk tanpa mengetuk, seolah kehadirannya sudah biasa dan tidak perlu izin.

“Masih kerja keras, Mas? Tidak lelah?” ucapnya dengan suara manja, sambil meletakkan cangkir kopi panas di sisi meja. Senyum manis terukir di bibir merahnya yang dilapisi lipstik cerah.

“Kopi lagi? Sudah kubilang, kamu tidak perlu repot-repot,” jawab Anthony, menoleh sekilas tanpa semangat.

“Tapi aku suka meracuni Mas pelan-pelan,” balas Stefani dengan tawa kecil yang menggoda, lalu dengan gerakan lembut yang terlalu halus untuk dianggap biasa, dia menyandarkan tubuhnya di tepi meja. Kaki jenjangnya terbuka sedikit, sengaja menampakkan kesan menggoda.

“Jangan mulai lagi, Stefani,” bisik Anthony, tapi tatapannya sudah mulai goyah, sebagai seorang pria yang mulai kehilangan kendali melihat wanita yang juga sekretarisnya itu begitu dekat di hadapannya.

“Apa aku pernah berhenti, Mas?” suara Stefani nyaris berbisik, setiap kata dipenuhi tajam dan maksud yang jelas, menghantam pertahanan Anthony yang mulai rapuh. Anthony menghela napas berat, berdiri dari kursinya, dan melangkah mundur.

“Kamu tahu posisimu. Aku sudah menikah,” katanya sambil berusaha menahan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan.

“Justru itu masalahnya. Kamu terlalu setia... dan aku terlalu sabar menunggu.” ujar Stefani sembari mendekat pelan, lincah seperti predator yang tahu mangsanya mulai lelah dan goyah.

Dia berdiri tepat di depan Anthony. Tangannya meluncur naik menyusuri dada pria itu hingga ke kerah kemeja putihnya. Wajah Stefani, dengan rambut panjang bergelombang berwarna tampak yang mengilap, terlihat cantik meskipun pesonanya diperkuat dengan sentuhan makeup yang rapi.

Dia mendorong tubuh Anthony hingga pria itu kembali terduduk di kursinya. Tanpa rasa malu, Stefani duduk di pangkuan Anthony, kakinya melingkari pinggang pria itu dengan santai. Jari-jarinya sibuk membetulkan dasi yang sempat terlepas, namun matanya menatap penuh arti—mata yang tahu dirinya bukan yang utama, tapi tetap ingin merasa spesial karena Anthony tak pernah menolaknya.

“Kamu lelah, kan? Maria terlalu percaya padamu sampai lupa bahwa pria juga butuh dihargai... disentuh... didengarkan.” jelas nya sembari mengusap rahang tegas pria di hadapannya. Anthony diam. Dan diam itulah jawabannya. Pendiriannya sebagai seorang suami mulai kalah oleh keinginan nya.

Stefani menyadarinya.

“Sekali saja. Tak akan ada yang tahu. Ini hanya antara kamu dan aku... Aku janji,” bisik Stefani dengan senyum kecil yang menggoda, lalu dengan lembut menarik tangan Anthony seolah mengundangnya ke dalam pusaran rahasia mereka.

Detik berikutnya, bibir mereka bertemu. Napas mereka memburu, tertahan dan tergesa-gesa dalam satu keintiman yang tak terduga. Suasana di dalam ruangan seakan berhenti bergerak, menyisakan hanya dua jiwa yang tersesat dalam godaan yang sengaja mereka ciptakan sendiri. Sentuhan demi sentuhan perlahan meluruhkan batas-batas prinsip dan kesetiaan.

Meja kerja yang biasanya dipenuhi tumpukan berkas penting kini menjadi saksi bisu dari pergeseran nilai seorang suami, tempat di mana ikatan suci mulai tercemar oleh nafsu yang tidak terelakkan.

Waktu berjalan tanpa suara. Tirai tipis di jendela bergoyang perlahan oleh hembusan angin dari ventilasi AC. Sinar matahari sore yang menembus kaca jendela besar jatuh tepat di atas meja kerja besar yang terbuat dari kayu jati mengilap, seolah menjadi sorotan lampu teater dunia yang mempermalukan dua manusia yang tenggelam dalam dosa mereka sendiri.

Mereka melakukan nya seolah tidak perduli dengan apa yang akan terjadi karena dosa yang telah mereka lakukan ini, yang mereka cari hanya kenikmatan sesaat. Saat semuanya berakhir, Stefani masih dalam pelukan Anthony—setengah duduk di pangkuannya, dengan napas yang masih belum teratur dada nya naik turun penampilan ke-dua nya terlihat berantakan tidak jelas.

“Bagaimana kalau suatu hari nanti istrimu tahu tentang ini, Mas?” tanyanya sedikit ngos-ngosan, suaranya lembut tapi sarat dengan nada bermain api. Dia menyandarkan dagunya di bahu Anthony sambil mengusap pelan dada pria itu.

“Aku yakin Maria tidak akan tahu. Dia terlalu percaya padaku. Dia pikir aku pria sempurna.” Anthony menarik napas pelan, senyum tipis tergambar di wajahnya. Stefani terkekeh kecil, nada tawanya seperti ironi yang dibungkus manja.

“Lucu sekali. Istrimu memeluk kesetiaan palsu setiap malam, sementara kamu memeluk aku di siang bolong seperti ini.” jelas nya tentu saja merasa menang. Anthony menatap wajahnya, mengangkat dagu Stefani dengan ujung jari.

“Dia hanya tahu apa yang ingin aku tunjukkan. Sementara kamu, Stef… kamu tahu siapa aku yang sebenarnya. Dan anehnya, kamu masih mau bertahan.” ujar Anthony tersenyum tipis melihat wanita di hadapannya, dahi Stefani tampak berkeringat.

“Karena aku menyukainya. Aku suka saat kamu menjatuhkan topengmu. Saat kamu berhenti jadi suami yang baik, dan hanya jadi laki-laki yang butuh pelarian.” Stefani tersenyum tipis. Anthony memeluk pinggangnya lebih erat, menunduk, dan mencium pipi wanita itu dengan lembut.

“Kamu bukan pelarian. Kamu... hadiah kecil di sela penatnya kehidupan rumah tangga.” Ujar nya sembari memeluk erat tubuh Stefani seolah dia begitu takut kehilangan wanita tersebut. Stefani mencubit kecil bahunya sambil menggoda.

“Hadiah? Jangan-jangan aku hadiah yang kamu buka diam-diam dan buang setelah bosan.” Ujar Stefani memasang wajah sedikit murung. Anthony tertawa ringan, lalu menatap matanya dalam-dalam.

“Kalau aku ingin membuangmu, aku tidak akan duduk di sini berjam-jam, menyentuhmu seperti ini.” jawab Anthony lagi dan lagi menjatuhkan kecupan di pipi wanita itu. Stefani menunduk, bibirnya menyentuh leher Anthony, wanita itu bergerak memberikan balasan dari tindakan Anthony sebelumnya.

“Kadang aku ingin kamu ceraikan dia, ceraikan istrimu yang tidak berguna itu?” bisiknya pelan, nyaris seperti doa yang tak berani disuarakan keras-keras. Pria itu tak menjawab langsung. Hanya diam, sejenak memejamkan mata menikmati pelukan yang salah. Lalu dengan suara rendah ia berbisik.

“Kalau aku kehilangan rumah, aku butuh tempat pulang. Tapi kamu... kamu tidak diciptakan untuk jadi rumah, Stef. Kamu terlalu liar untuk dijinakkan.” Ujar Anthony yang membuat Stefani mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca tapi masih mengulum senyum.

“Dan kamu terlalu pengecut untuk memilih, aku tahu isi hatimu Mas.. pria seperti mu memang rakus.” Ujar Stefani dengan nada menyindir halus. Anthony memeluknya lagi, seolah keheningan bisa menjawab semuanya. Di dalam ruangan itu, waktu seakan berhenti—di antara desah rahasia dan kebohongan yang dikemas manis atas nama cinta yang tidak suci. Stefani menyandarkan kepalanya di bahu Anthony, jemarinya menggambar bentuk tak jelas di dada pria itu.

“Kamu tahu… kadang aku iri pada istrimu,” bisiknya pelan, seakan setengah berharap, setengah menggoda. Anthony menyentuh dagu Stefani dan mengangkat wajahnya perlahan.

“Iri? Untuk apa? Kamu punya hal yang bahkan Maria tidak berikan padaku.” Ujar Anthony berusaha meyakinkan wanita di hadapannya ini.

“Seperti apa?” Stefani tersenyum kecil ego nya sebagai wanita berhasil di ambil oleh ucapan pria itu. Anthony memiringkan kepalanya, mendekat hingga bibir mereka hampir bersentuhan.

“Seperti... perhatian tanpa drama, pelukan tanpa tuntutan, dan waktu-waktu seperti ini... di mana aku merasa hidup.” ujar Anthony yang membuat Stefani mencubit pelan dada Anthony sambil tertawa genit.

“Kamu pandai bicara, Mas. Tidak heran istrimu bisa dibohongi dengan mudah.” jawab Stefani yang jelas merasa bangga karena di puji Anthony. Anthony hanya mengangkat alis, lalu meraih pinggang Stefani dan menariknya lebih dekat.

“Itu karena Maria terlalu sibuk menjadi istri sempurna. Sementara kamu, Stef... kamu tahu caranya jadi pelarian yang menyenangkan.” Ujar Anthony sembari menatap tajam sorot mata di hadapan nya.

"Kalau aku minta lebih... kamu berani?” Stefani menatap Anthony tajam, tapi sorot matanya penuh gairah. Anthony tertawa kecil, lalu mencium leher Stefani sambil berbisik.

“Jangan minta terlalu banyak, Sayang. Yang seperti kamu... lebih nikmat saat tetap jadi rahasia.” Stefani menutup mata, menikmati perlakuan itu. Di antara ciuman-cumbuan mereka, tidak ada yang bicara tentang masa depan. Hanya ada ego, nafsu, dan kebohongan yang dibungkus manis dalam pelukan yang salah.

Stefani mendorong dada Anthony hingga ciuman itu terhenti perlahan. Matanya menatap tajam ke arah pria di hadapannya, lalu suaranya kembali mengalir dengan nada lembut yang penuh kegelisahan.

“Aku takut kamu meninggalkanku setelah semua yang sudah aku berikan padamu. Kamu tahu, kamulah orang pertama yang mengambil kehormatanku,” ujar Stefani sambil memainkan dasi Anthony yang kini sudah berantakan dan acak-acakan, tanda pertempuran batin yang sedang mereka jalani.

“Tidak akan terjadi. Aku mencintaimu...” balas Anthony dengan suara pelan, sembari mengecup bibir wanita itu dengan penuh kasih sayang.

“Tapi kamu juga mencintai istrimu, bukan?” ucap Stefani dengan sedikit nada menantang. Anthony menarik napas panjang, matanya menerawang ke depan seolah mencari jawaban dari hatinya sendiri.

“Aku mencintaimu dan mencintai Maria. Aku sungguh tidak bisa memilih antara kalian berdua. Maria adalah cinta pertamaku, yang bahkan telah melahirkan putriku. Dan kamu, yang selalu ada saat aku merasa bosan padanya, aku merasa nyaman bersamamu meskipun aku masih mencintai istri ku,” katanya, jujur namun bingung.

Namun, di balik kata-kata itu, Stefani yang haus akan kekuasaan dan perhatian merasa jawaban itu jauh dari memuaskan. Dalam hati, ia menyalakan api ambisi yang lebih dalam; dia ingin memiliki Anthony sepenuhnya. Dia ingin menjadi satu-satunya yang dicintai dan menjadi pusat perhatian tanpa ada wanita lain yang berbagi hatinya.

Stefani menarik napas pelan, jemarinya kembali menyusuri kancing kemeja Anthony yang belum sepenuhnya dikancingkan. Dia lalu menyandarkan kepalanya di dada pria itu, membiarkan detak jantung yang tenang dan teratur menyusupi telinganya, seolah menenangkan sekaligus mengikat Anthony dalam pelukannya.

“Mas...” panggilnya manja, suaranya menggesek lembut telinga Anthony. “Aku ingin liburan. Sendirian, santai. Bali mungkin... atau ke Phuket, pantai-pantai kecil yang tidak terlalu ramai. Aku butuh rehat dari drama kantor dan... drama kita.” lanjut nya berusaha mengalihkan pembicaraan mereka dari topik sebelum nya.

“Drama kita yang mana dulu, Stef? Yang di meja kerja ini? Atau yang kamu buat tiap aku telat balas pesanmu?” Anthony tersenyum miring. Stefani mencubit pinggangnya pelan, lalu menggeliat manja.

“Jahat... Kau tahu aku setiap saat mengirim pesan pada mu lewat drive, seolah sedang sibuk bekerja padahal aku sibuk mengincar suami orang” bisiknya.

"Dan aku tidak fokus pada dokumen karena pesan mu yang masuk lewat drive itu," ujar Anthony terkekeh.

“Kalau kamu baik, kamu pasti akan berikan aku sesuatu yang bisa membuatku lupa pada semua beban itu. Seperti... liburan kecil yang menyenangkan. Dan mungkin... tambahan uang? Aku tidak minta banyak,.” ujar Stefani sembari memainkan jari nya, seperti anak kecil yang memohon sesuatu pada sang ayah. Anthony menatapnya lama, lalu mengangkat dagunya agar mata mereka sejajar.

“Kamu tidak pernah minta banyak, tapi kamu tahu caranya minta dengan manis.” Ujar Anthony yang membuat Stefani mengedipkan sebelah mata, lalu memonyongkan bibir.

“Itu artinya Mas setuju?” ujar nya memeluk pria itu dengan senang, karena lagi dan lagi dia menang dalam hal apapun.

“Transfer malam ini. Dan untuk liburan... ambil cuti, bilang aja ada urusan keluarga. Aku akan bilang ke HRD.” ujar Anthony dengan santainya.

"Jadi kita akan liburan kemana mas?" Tanya Stefani penuh semangat, Anthony mengangkat sebelah alisnya mendengar penuturan wanita di depan nya.

"Kamu pergi sendiri kemana saja kamu mau, aku tidak bisa ikut karena ada acara di sekolah Nayara yang memang harus aku hadiri, Maria akan curiga jika aku tidak datang dengan alasan pekerjaan," ujar Anthony yang membuat Stefani sedikit cemberut.

"Aku pikir kita akan pergi bersama, kamu terlalu penakut pada istri mu," ujar Anthony.

"Kita bisa pergi lain kali, jangan terlalu sering. Nanti Maria curiga pada ku," ujar Anthony berusaha membujuk dengan lembut. Stefani langsung memeluknya erat, wajahnya bersinar seperti anak kecil yang baru diberi mainan baru.

"Sungguh?" Tanya nya di sela pelukan itu, Anthony mengangguk tipis sembari menjatuhkan dagu nya di atas kepala wanita simpanannya itu.

"Ya... Untukmu apa yang tidak," ujar Anthony pelan.

“Kamu memang suami orang paling baik sedunia...” godanya setengah serius, setengah menghina.

“Jangan sebut aku suami orang kalau sedang seperti ini.” Anthony tertawa ringan. Stefani mengangkat bahu sambil terkekeh.

“Baiklah. Kalau begitu... untuk malam ini, kamu cuma milik aku, ya?” Pria itu hanya diam, lalu mengecup pelipisnya singkat. Tidak ada janji yang terucap, tapi pelukan itu cukup menipu kenyataan—bahwa bahkan kepemilikan pun cuma ilusi yang dibungkus ego dan kebohongan.

Malam turun perlahan saat mobil hitam Anthony berhenti di depan sebuah apartemen mewah di tengah kota. Lampu-lampu kota menyinari kaca jendela seperti gemerlap dunia yang pura-pura tidak tahu apa yang terjadi di balik tirai-tirai mahal itu.

“Naik, Mas. Jangan hanya mengantar. Aku belum selesai menikmati malam ini.” Stefani tersenyum sambil membuka pintu mobil.

Tanpa banyak kata, Anthony mengikuti langkahnya masuk. Pintu apartemen tertutup rapat dan dunia seperti membeku di dalamnya—hanya ada dua tubuh yang kembali menyatu dalam permainan penuh nafsu dan tipu daya.

Tangan-tangan mereka saling menjelajah dengan penuh gairah, napas masing-masing memburu, dan mata tertutup rapat dalam kenikmatan sesaat yang seolah menenggelamkan akal sehat. Di tengah permainan dosa yang semakin intens itu, tiba-tiba suara ponsel Anthony bergetar dari atas meja kaca yang berkilau di sudut ruangan.

Stefani mengerutkan dahi, berusaha mengabaikan suara itu, tapi Anthony tak kuasa menoleh. Layar ponsel menyala menampilkan satu nama yang sudah tak asing baginya — Maria.

“Angkat, biar aku dengar suara istrimu.” bisik Stefani dengan nada pelan tapi penuh tantangan, matanya menatap dalam ke arah pria yang kini terlihat goyah. Anthony menghela napas panjang, bangkit perlahan, dan menarik napas dalam-dalam seolah sedang mempersiapkan diri menjadi sosok pria yang patuh dan penuh tanggung jawab.

“Halo, Sayang,” ucap Anthony lembut, nada suaranya berubah menjadi hangat dan penuh kasih.

“Kalau tidak salah kamu masih di kantor, kan? Aku tadi ke garasi, mobil yang biasa kamu pakai tidak ada,” suara Maria terdengar lelah, tapi tetap lembut dan penuh perhatian di seberang sana.

“Iya, aku lembur di kantor klien. Ada dokumen penting yang harus direvisi malam ini juga. Kamu baru pulang dari seminar?” Anthony menjawab dengan nada datar dan sangat meyakinkan, seperti seorang aktor yang telah terbiasa memerankan peran terbaiknya dalam kebohongan.

“Iya, Mas. Aku minta maaf karena pulang terlambat, ternyata acaranya lebih banyak dari yang aku duga. Oh ya, apa pekerjaanmu bisa selesai malam ini?” tanya Maria dengan suara lembut, menyiratkan perhatian dan kasih sayang yang tulus terhadap suaminya. Tanpa ia sadari, pria yang begitu dicintainya kini tengah bermain api dengan wanita lain.

“Aku tidak bisa janji, tapi akan aku usahakan secepatnya,” jawab Anthony, suara penuh kepalsuan.

“Tapi kamu tidak bawa laptop dari rumah... Tidak seperti biasanya?” Maria terdiam sejenak, nada suaranya mengandung keheranan sekaligus kekhawatiran, karena dia tahu benar kebiasaan Anthony selama ini. Anthony tersenyum tipis, menatap Stefani yang masih bersandar santai di pangkuannya, lalu dengan tenang kembali menjawab Maria.

“Aku pinjam milik tim. Sayang, ini tidak bisa ditunda. Maaf ya, nanti kalau aku pulang agak larut,” ucap Anthony, nada suaranya penuh pembenaran, seolah berusaha meyakinkan bukan hanya Maria, tapi juga dirinya sendiri.

“Kamu akhir-akhir ini sering sekali lembur, pasti sangat lelah, ya? Mau aku buatkan teh hangat nanti?” suara Maria terdengar tulus, penuh perhatian yang membuat hati Anthony sesaat tersentuh.

“Boleh,” jawab Anthony cepat, mencoba menutupi rasa bersalah yang mulai menggerogoti hatinya. Matanya masih tertuju pada Stefani yang duduk santai di ranjang apartemen itu, senyum liciknya tak tersamarkan.

“Kamu istirahat dulu saja, pasti capek setelah aktivitas seharian,” tambah Anthony dengan nada lembut, tapi penuh tipu daya.

“Baiklah, Mas. Kalau sudah mau tiba, telepon aku saja ya. Takutnya aku tertidur sebelum kamu datang. Aku cinta kamu,” kata Maria dengan suara hangat dan penuh keyakinan di seberang sana. Dia benar-benar percaya bahwa suaminya sedang lembur di kantor, sementara kenyataannya Anthony tengah menikmati malamnya bersama Stefani, wanita simpanannya.

Telepon terputus.

Anthony meletakkan ponselnya di meja kaca, lalu menatap Stefani yang bersandar santai di ranjang, senyum licik masih terukir jelas di bibirnya.

“Dia percaya?” tanya Stefani dengan nada sinis, matanya bersinar penuh kemenangan. Suara tawanya menggema di dalam ruangan, seperti menyaksikan drama kehidupan yang begitu menggelikan.

“Selalu,” jawab Anthony datar, tanpa beban. Dia kembali merangkul Stefani, membiarkan diri tenggelam dalam pelukan wanita yang bukan miliknya, melanjutkan dosa yang belum selesai mereka tuntaskan.

Malam itu kembali sunyi—sepi seperti nurani yang sengaja dimatikan. Hubungan haram mereka sudah berjalan begitu lama, mungkin terlalu lama untuk seseorang yang hidup di antara dosa dan kenyataan. Baik Anthony maupun Stefani melakukan apa pun yang mereka mau, selama kesempatan itu masih ada.

Namun puncak dari semuanya adalah ketika Stefani mengungkapkan bahwa dirinya hamil. Panik menyergap Anthony. Dia segera memerintahkan wanita simpanannya itu untuk menggugurkan kandungannya. Jelas dia tidak pernah menginginkan anak dari Stefani. Baginya, Stefani hanyalah pelampiasan saat rasa bosannya pada Maria muncul. Namun, dia tidak pernah membayangkan akan sejauh ini terperosok dalam jebakan dosa yang tak berujung.

Namun, Stefani menolak untuk menggugurkan kandungannya. Dia memilih jalan lain yang lebih mengancam—dengan suara dingin dan penuh tekad, dia memberitahu Anthony bahwa jika dia tidak mau menikahinya, dia akan membongkar semua perselingkuhan yang selama ini disembunyikan dari Maria. Ancaman itu membuat Anthony buntu. Terpaksa, tanpa sepatah kata kerelaan yang tulus, dia menikahi Stefani secara siri, mengikat janji yang penuh kepalsuan dengan wanita yang selama ini menjadi rahasia gelapnya.

Waktu terus berlalu begitu cepat. Karma seolah enggan menampakkan dirinya dan membalas dosa-dosa yang mereka perbuat. Namun, itu bukan berarti Tuhan lalai atau tidur. Suatu hari, setelah sekian lama tertutup oleh debu kesunyian, kebenaran akhirnya terkuak dan membalas dengan dingin.

Maria mengetahui semua kebusukan suaminya yang selama ini dia simpan rapat-rapat dalam hati. Semua itu terbongkar saat Stefani, tanpa rasa takut, datang ke kediaman Harrison bersama seorang gadis yang usianya hampir seumuran dengan putri Maria. Kedatangan mereka seperti petir di siang bolong yang memporak-porandakan kedamaian yang selama ini dibangun.

Anthony mencoba berdalih, mengaku bahwa Stefani hanyalah saudara jauhnya, sebuah kebohongan yang mudah dilihat retak oleh mata Maria yang tidak pernah bodoh. Maria mulai menggali, mencari tahu kebenaran yang tersembunyi di balik topeng suaminya. Hingga akhirnya, semua fakta terungkap—bahwa pria yang selama ini dia hormati, dia puja, dan dengan sepenuh hati dia jaga, ternyata telah membagi cintanya dengan wanita lain.

Hancur.

Hati wanita mana yang tidak hancur ketika mengetahui bahwa seseorang yang sangat dicintai, dihormati, dan dijaga selama bertahun-tahun ternyata telah membagi hatinya untuk orang lain? Semua pengorbanan, semua kebahagiaan, ambruk dalam sekejap di atas pundak Maria, meninggalkan luka yang dalam dan tak terobati.

Tapi... dia bertahan. Semua itu dia lakukan demi putri mereka, Nayara. Sebagai seorang psikolog anak, Maria sangat paham betul dampak yang akan terjadi jika sang putri mengetahui kenyataan pahit bahwa sosok ayah yang selama ini terlihat sempurna di matanya ternyata adalah orang yang paling menyakitinya.

Oleh sebab itu, selama bertahun-tahun Maria terus berpura-pura bahagia bersama Anthony. Dia bertahan dalam pernikahan yang sebenarnya sudah retak, hidup dalam kepura-puraan yang menghancurkan harapannya, mengikis segala keinginan dan impiannya yang pernah ia miliki. Mereka menjalani hari-hari bersama, berbagi cinta yang hanya tersisa dalam bentuk topeng—topeng yang mereka pakai untuk menutupi luka dan kenyataan pahit dalam dunia yang penuh kepalsuan.

Hingga akhirnya, wanita hebat itu pergi meninggalkan dunia ini, membawa serta dosa-dosa suaminya yang tak pernah terungkap. Sang putri, Nayara, tidak pernah tahu bahwa ayahnya adalah luka terbesar bagi ibunya.

Flashback off.

Anthony menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa, matanya terpejam rapat seolah tengah berusaha menghapus semua kenangan masa lalu yang terus mengganggu pikirannya. Rasa bersalah yang menumpuk seakan tak pernah memberi ruang bagi dirinya untuk benar-benar bernapas lega. Semua ucapan Nayara barusan menghujam tajam. Tidak ada satu pun yang bisa dia bantah. Semuanya benar.

Perubahan? Apa yang dia maksud dengan perubahan, jika nyatanya hingga hari ini dia masih rutin mengirimkan sejumlah uang untuk Stefani—wanita yang telah menjadi bagian dari kehancuran rumah tangganya? Meski kini hubungan mereka telah putus tanpa ikatan apa pun, sisa-sisa dosa itu tetap dia pelihara diam-diam. Dan ya, Maria pasti tahu itu. Wanita setegar dan setabah Maria tentu mampu merasakan, bahkan meski tanpa kata. Dan itu pasti sangat menyakitkan... meskipun dunia mereka kini sudah tak lagi sama.

Anthony perlahan bangkit dari duduknya, tubuhnya terasa berat seperti diseret beban yang tak terlihat. Ia melangkah pergi, berniat menuju kamar untuk mengistirahatkan tubuh dan jiwanya yang letih. Fisiknya kelelahan, pikirannya kacau, dan hatinya remuk dalam diam.

Langkah-langkahnya melintasi ruang tamu yang temaram. Pandangannya tertuju pada satu foto keluarga yang terpajang rapi di meja sudut—potret dirinya, Maria, dan Nayara. Semuanya tampak begitu sempurna di bingkai itu. Senyuman mereka seolah menyimpan dunia yang bahagia, padahal semua itu hanya topeng semu dari kepedihan yang tak pernah benar-benar terlihat.

Lagi-lagi, sebuah helaan napas panjang lolos dari bibir Anthony. Kali ini, dia memilih menaiki tangga menuju lantai atas terlebih dahulu—menuju kamar Nayara. Ruang kerja Anthony memang terletak di lantai yang sama, sementara kamar utamanya dulu, kamar yang pernah dia tempati bersama Maria, berada di lantai bawah.

“Aku minta, jangan biarkan siapa pun masuk ke kamar ini. Jangan kotori tempat pribadiku. Aku mohon padamu... tolong sisakan satu tempat suci untuk pernikahan kita yang sudah kamu hancurkan ini.”

Bayangan suara Maria terdengar lagi dalam benaknya. Kata-kata yang diucapkan dengan napas tertahan dan mata berkaca-kaca, saat dia memohon agar kamar mereka tetap menjadi ruang sakral yang tak boleh diinjak oleh siapa pun—terutama oleh Stefani. Permintaan yang hingga kini masih Anthony hormati. Dia tidak pernah membiarkan Stefani, bahkan juga Dewi, masuk ke ruangan itu dalam kondisi apa pun.

Kini, Anthony berdiri di depan pintu kamar Nayara. Tangannya menggantung di atas gagang pintu, ragu. Ada perasaan bersalah yang mengendap dalam dadanya, menghantui seperti hantu dari masa lalu yang tak pernah selesai. Namun, ada juga kebenaran yang ingin dia ungkapkan—sesuatu yang selama ini dia simpan dalam diam—tapi lidahnya kelu, keberaniannya lumpuh.

Klik...

Suara kunci pintu terbuka begitu pelan. Dengan penuh kehati-hatian, Anthony mendorong daun pintu, membiarkannya terbuka perlahan seiring langkah kakinya yang berat. Gelap langsung menyambutnya. Kamar itu diselimuti sunyi, senyap seolah ikut menyimpan segala luka dan rahasia penghuninya. Suhu dingin dari pendingin ruangan membuat udara terasa menggigit kulit, menambah kesan beku yang menggantung di setiap sudut ruangan.

Anthony melangkah masuk, mengatur napasnya yang mulai terasa sesak. Matanya langsung tertuju pada sosok Nayara yang tengah tertidur di atas ranjang. Putrinya itu tampak lelap, namun dari raut wajahnya terlihat gelisah, alis yang sesekali berkerut, dan tubuhnya yang sesekali bergerak kecil, seperti sedang berperang dalam mimpinya sendiri. Meski kehadirannya cukup dekat, Nayara tidak terbangun. Seakan tubuhnya terlalu letih untuk menyadari siapa yang kini berdiri di sisinya.

Anthony duduk di tepi ranjang, pelan-pelan, agar tidak menimbulkan bunyi. Tangannya bertumpu di pangkuan, sementara tatapannya tak lepas dari wajah putri satu-satunya itu. Wajah yang begitu mirip dengan Maria. Wajah yang selalu berhasil membuatnya merasa seperti pria paling berdosa di dunia ini.

Air matanya jatuh. Tanpa suara. Tanpa peringatan.

"Maafkan Papa, Nay..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, seolah takut mengusik tidur putrinya.

"Papa memang pria yang tidak berguna. Maafkan Papa... karena keegoisan Papa, kamu yang harus menanggung semuanya. Papa ingin yang terbaik untukmu, tapi Papa lupa... Papa lupa kalau semua lukamu berasal dari Papa. Semua penderitaanmu bermula dari kesalahan Papa sendiri." Suaranya bergetar, penuh penyesalan dan luka yang tertahan bertahun-tahun.

Anthony mendekatkan wajahnya, mengecup singkat kening Nayara dengan penuh kasih sayang yang terlambat. Kening putrinya terasa hangat, bertolak belakang dengan hawa dingin yang menyelimuti kamar.

Nayara mengerutkan dahinya, tubuhnya bergerak sedikit, menggeliat pelan seolah merespons ciuman itu, namun tetap dalam tidurnya. Anthony merapikan posisi selimutnya, menariknya hingga menutup pundak Nayara dengan lembut, seolah itu satu-satunya hal yang bisa dia lakukan sebagai seorang ayah malam ini.

“Jangan terlalu jauh dari Papa, Nay... Papa sayang kamu,” gumamnya lagi sebelum akhirnya bangkit perlahan.

Dia berdiri, menatap putrinya sekali lagi untuk terakhir kalinya malam itu. Lalu, tanpa menoleh lagi, ia melangkah keluar dari kamar, menutup pintu pelan-pelan di belakangnya.

Dan kamar kembali tenggelam dalam gelap dan sunyi, menyimpan semua luka yang belum selesai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!