NovelToon NovelToon
Nikah Kontrak

Nikah Kontrak

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti
Popularitas:13k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Amira 22 tahun menikah kontrak dengan Ferdi baskara untuk biaya kesembuhan ayah angkatnya.
Amira bar-bar vs Ferdi yang perfeksionis
bagaimana kisah tom and Jery ini berlangsung

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

jebakan

“Selamat datang di keluarga Baskara.”

Viona menyambut dengan senyum ramah. Suaranya hangat, lembut, Jauh sekali dengan apa yang dicuapkan oleh para pengawal yang membawa yono dan rahayu yang mengatakan kalau Nyonya viona adalah sosok yang tak tersntuh angkuh sombong dan kejam.

Yono langsung menunduk dalam-dalam, membungkukkan badan nyaris sembilan puluh derajat.

“Terima kasih, Nyonya.”

Viona terkekeh kecil, menepuk lengannya. “Ah, jangan begitu. Panggil saja aku Kak Viona. Aku rasa usiaku lebih tua darimu.”

Senyum itu tulus, menenangkan. Ada ketegasan sekaligus keramahan. Bagi Rahayu, yang berdiri di samping suaminya, sosok Viona seperti kakak perempuan sedari kecil dia hidup sebatangkara mendapat perlakuan hangat seperti itu tentu saja Rahayu merasa tersentuh, Bayangan akan adu mulut bahkan jambak-jambakan lenyap sudah.

“Ayah!” suara ceria terdengar dari tangga.

Amira, putri mereka, berlari kecil sambil mengibaskan rambut. Malam itu ia hanya mengenakan piyama tipis berwarna pastel. Biasanya gadis itu selalu tampil nyentrik: jeans robek-robek, kemeja kotak-kotak kebesaran. Tapi kali ini… lain.

Yono menatap heran. Senyum terbit begitu saja di wajahnya.

“Kesurupan jin apa anak ini, bisa ganti gaya kaya perempuan asli” ucap Rahayu dalam hati tapi dia merasa bangga karena sebenarnya itulah yang dia inginkan, karena kalau Amira terus mempertahankan gaya seperti lelaki bisa-bisa Amira tidak menemukan jodoh.

Amira melompat ke pelukan ayahnya. Hangat, erat, lama sekali ia menahan rindu itu. Saat tubuhnya menempel, ia berbisik pelan, nyaris tak terdengar.

“Ayah, di sini banyak musang berbulu domba.”

Yono tak menjawab. Matanya tetap teduh. Tapi bisikan itu jelas. Itu kode. Isyarat yang hanya mereka bertiga pahami.

Amira lalu beralih memeluk ibunya. Rahayu menepuk punggung putrinya, menahan haru.

“Baiklah,” Viona menengahi, suaranya tetap manis. “Cukup dulu melepas rindunya. Amira, tolong antar orangtuamu ke kamar.”

“Siap,Mah.” Amira mengangguk patuh.

Beberapa pasang mata di sudut ruangan menyaksikan pemandangan itu dengan sinis. Laudia, Anton, Laras, juga beberapa asisten rumah tangga senior. Tatapan mereka menusuk. Dari ujung kepala sampai kaki, Yono dan Rahayu dipandang rendah. Baju sederhana, tas usang, penampilan yang jauh dari mewah.

Seperti gembel masuk istana, pikir Laudia, menyilangkan tangan.

Kamar yang disediakan untuk Yono dan Rahayu cukup luas, dengan sofa empuk di sudut, lemari kayu jati, dan ranjang king size. Begitu pintu tertutup, pasangan itu saling pandang.

Amira mengira Rahayu dan Yono akan loncat-loncat di kasur mewah itu, karena menurut Amira orang tuanya belum pernah merasakan hidup mewah, tapi Amira melihat mereka seperti biasa dengan kemewahan.

“Amira,” suara Yono tegas. “Kamu jangan macam-macam.”

Amira mengangkat alis. “Aku nggak macam-macam, Yah.”

“Lalu kenapa memberi kode tadi?”

Amira menyeringai. “Ayah sendiri yang ajarkan, kan? Kalau aku ditindas, aku harus berani melawan.”

“Siapa yang menindasmu?” Rahayu ikut bicara.

Amira terkekeh pendek. “Emang ada yang bisa menindasku?” Matanya menyala nakal.

Yono menggeleng. “Ingat. Jangan sampai kelewatan. Ayah tidak selalu ada untukmu.”

“Tenang saja, Yah. Paling cuma koma,” jawab Amira enteng.

Yono menepuk jidat. Rahayu mendekat, menatap tajam putrinya. “Mertuamu orang baik-baik. Awas kalau kamu punya niat jahat.” Ia mengepalkan tangan, pura-pura mengancam di depan wajah Amira.

“Iya, Bu. Aku akan berusaha jadi istri yang baik.” Amira tersenyum. Senyum manis di bibir, tapi di balik matanya sudah berputar banyak rencana.

“Sudah, aku ke kamar dulu.” Ia melangkah pergi, meninggalkan kedua orangtuanya dalam keheningan.

Di kamar lain, situasi berbeda. Anton duduk di kursi empuk, bersandar dengan wajah penuh rencana. Di sekelilingnya berkumpul Laudia, Nina, Laras, dan beberapa asisten rumah tangga lain.

“Kalian dengarkan,” suara Anton dingin. “Hari ini kita kedatangan orang kampung. Mereka bermimpi jadi raja di rumah ini.”

“Iya!” sahut Nina cepat. “Aku benci melihat mereka. Mereka bahkan tidak layak jadi pembersih toilet, sekarang malah jadi besan. Aku tidak terima.”

Laudia mengangguk penuh kebencian. “Mereka harus disingkirkan.”

“Aku juga mau Amira diusir,” timpal Laras. “Kita harus hancurkan reputasi Amira biar mereka di usir dari mansion ini mereka benar-benar tidak layak tinggal disini”

“ok kita sepakat kalau keberadaan orang kampung itu penghinaan bagi kita, apakah kalian ada ide untuk menyingkirkan mereke” Tanya anton

Ruangan mendadak hening. Semua terdiam, menunduk, seolah otak mereka berhenti bekerja.

“Dasar bodoh,” Anton menghela napas panjang. Tangannya merogoh saku, mengeluarkan sebuah cincin berlian berkilau. Ia angkat tinggi-tinggi.

“Cincin itu…” suara Nina tercekat. “Itu cincin kesayangan Nyonya Renata.”

Anton tersenyum puas. “Pintar. Karena itu aku suka padamu, Nina.”

“Lalu?” tanya Laudia.

“Siapa pun yang berani memasukkan cincin ini ke kamar orang kampung itu, akan kuberi dua puluh juta.”

Semua menarik napas. Tapi ekspresi mereka datar. Dua puluh juta bukan angka besar di rumah Baskara.

“Dasar mata duitan,” desis Laudia. “Tiga puluh lima juta. Ditambah lima juta lagi kalau rencana berhasil.”

 “Setuju.” Semua ART serempak menjawab

Nina mengangkat tangan. “Aku mau. Aku yang lakukan.”

“Bagus.” Anton menyerahkan cincin itu. “Tugasmu sederhana. Masukkan ke kamar mereka. Sisanya biarkan aku yang atur.”

Anton lalu menatap seluruh ruangan. “Kalian semua juga akan dapat lima juta masing-masing. Tugas kalian mudah: tuduh mereka pencuri. Terus-menerus. Jangan berhenti.”

“Jadi kami provokator?” tanya Lasmi, salah satu asisten.

“Persis,” jawab Anton, senyum dingin.

Rapat gelap itu berlanjut. Mereka membagi peran: siapa yang mengalihkan perhatian Yono, siapa yang menyelipkan cincin, siapa yang berteriak-teriak menuduh, siapa yang menggalang dukungan untuk demo kecil di depan Viona. Semua dipikirkan. Semua disusun rapi.

Malam turun dengan tenang. Lampu-lampu taman menyinari halaman mansion, bayangannya bergetar di dinding.

Tok… tok… tok.

Lasmi mengetuk pintu kamar Yono.

Pintu terbuka, Yono muncul dengan wajah heran. “Ada apa, Mbak?” tanyanya.

“Tuan Ferdi memanggil Bapak di kolam renang. Katanya harus datang bersama Ibu, ada yang ingin dibicarakan,” jawab Lasmi cepat.

Yono mengernyit. Ia masuk memanggil istrinya. Tak lama, Rahayu keluar dengan raut penasaran.

“Tapi tumben sekali, Pak Ferdi memanggil kita. Ada apa, ya?” gumam Rahayu.

Yono hanya menggeleng. “Entahlah.” Ia menoleh pada Lasmi. “Tolong antar kami.”

Lasmi menunduk, berpura-pura sibuk. “Aduh, maaf Pak, saya harus kembali ke dapur. Bapak tinggal lurus, belok kanan, lalu lurus lagi. Nanti akan ketemu kolam renang.”

Yono dan Rahayu mengikuti arahan itu. Begitu punggung mereka lenyap di ujung koridor, Lasmi cepat memberi kode ke arah Nina.

Nina muncul dari sudut gelap, membawa kunci cadangan. Dengan cekatan ia membuka pintu kamar Yono. Langkahnya ringan, napasnya ditahan.

Ia menuju lemari, membuka laci pakaian yang sederhana. Dari saku bajunya, Nina mengeluarkan cincin berlian yang berkilau menusuk mata. Perlahan ia meletakkannya di tumpukan baju. Lalu, dengan ponsel, ia memotret. Klik.

Foto itu segera terkirim ke Anton.

“Bos, sudah selesai,” tulisnya.

Balasan singkat muncul: “Ok.”

Di sisi lain, Yono dan Rahayu berjalan berputar-putar di koridor. Kolam renang tak kunjung terlihat. Mereka akhirnya kembali ke dapur, menemui Lasmi yang sibuk membersihkan meja.

“Ferdi ada di mana, Mbak?” tanya Yono, mulai kesal.

Lasmi menepuk jidat pura-pura lupa. “Astaga! Saya lupa bilang, Pak Ferdi tadi sudah berangkat. Katanya besok saja bicaranya. Maaf ya, Pak.”

Yono menarik napas panjang. “Oh, begitu. Ya sudah, kami balik ke kamar.”

Pasangan itu berlalu. Dari jauh, Lasmi dan Nina saling pandang, senyum sinis tersungging.

“Mampuslah kau, orang kampung,” bisik Nina. “Besok kalian akan diusir dari mansion ini.”

1
partini
dah keluar lihat Laras gih biar mata suamimu keluar wkwkwkwk
partini
sehhhh buaya di kadalin wkwkwkk
OMG ngapain lihat Amira ma Ferdi 😂😂😂😂
partini
OMG live HS ,,hai fer lihat nih wanita yg kamu cintai
partini
sehhhh kecolongan jg aduhhhh no good
ChikoRamadani
⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️ Sangat menarik
Alur ceritanya bagus dan konfliknya tidak begitu terlalu rumit...
pemilihan kosakata sangat baik dan mudah untuk dipahami...

terimakasih buat kk othor,
semoga sukses ❤️
partini
dihhh disuruh bercinta dengan gembel kamu Ra ,,di balik aja biar Laras yg bercinta dengan gembel jangan lupa bikin video
partini
😂😂😂😂
partini
ko bisa,,wah wah dah tau dong itu jebakan makanya cincin nya di pindah tempat
Dwi Anto
buaya kok di kadalin
Wesley Cherrylava
Wah bagus jalan ceritanya ga klise
Yani
Lucu Amira dan Ferdi
Yani
Seru
Yani
Ternta Amira kembar dengan Amora
Yani
Jangan" sodaranya Amira
Yani
Bentar lagi kamu bucin Ferdi
Yani
Seru
Yani
🤣🤣🤣🤣Amira
Yani
Tenang mmh Viona , Amira punya seribu cara bikin nenek baik 🤭
Yani
Ga akan bisa Ferdi
Yani
Seru suaminya ga berkutik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!