Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SIANG YG MENYISAKAN RINDU
Langkah Maya terasa ringan sore itu, meski pikirannya penuh hal yang belum terjawab. Udara siang agak teduh, angin membawa aroma rumput basah sisa hujan semalam. Di genggamannya, tangan kecil Nayla terasa hangat. Boneka kelinci lusuh yang selalu dibawanya pun ikut bergoyang mengikuti langkah.
Begitu memasuki taman kecil di ujung gang, suara tawa anak-anak langsung menyambut. Ayunan berderit pelan, perosotan memantulkan cahaya matahari, dan burung-burung pipit sesekali beterbangan dari dahan ke dahan.
“Kamu mau main ayunan atau perosotan dulu?” Maya menunduk sambil mengelus rambut anak itu.
“Perosotan!” Nayla menunjuk penuh semangat.
Maya membantu Nayla menaiki tangga kecil. “Pegangan yang kuat, ya.”
“Iya, Bunda.” Nayla meluncur sambil tertawa, rambutnya terurai ditiup angin.
Di bangku dekat ayunan, seorang ibu paruh baya menoleh. “Wah, Nayla makin gede aja. Mirip ayahnya banget.”
Maya tersenyum tipis. “Iya, Bu.”
“Ibunya jarang kelihatan sekarang, sibuk kerja ya?”
“Begitulah…” jawabnya singkat sambil mengamati Nayla yang kembali berlari menuju tangga perosotan.
Nayla berlari menghampiri, matanya berbinar. “Bunda, nanti ayah jemput aku di sini nggak?”
Pertanyaan itu menusuk dada Maya. “Nayla kangen sama ayah?”
“Iya… ayah suka dorong ayunan kenceng banget sampai aku ketawa terus.”
Maya mencoba tersenyum. “Kalau kangen, nanti Bunda peluk Nayla lebih lama. Biar rasanya sama hangatnya.”
“Tapi… pelukan Bunda baunya beda,” jawab Nayla polos.
Maya terdiam, hanya membelai pipinya.
Di sisi lain taman, dua ibu muda yang sedang mengawasi anaknya berbisik-bisik.
“Itu yang kemarin diboncengin mobil hitam, kan?”
“Iya, kayaknya pengacaranya artis. Pasti mahal banget tuh.”
Maya pura-pura sibuk membetulkan ikatan rambut Nayla, meski telinganya menangkap setiap kata.
Seorang bapak tua penjaga taman lewat sambil membawa sapu lidi. “Siang, Bu Maya. Udah lama nggak main ke sini.”
“Siang, Pak. Iya, kemarin-kemarin agak sibuk.”
“Wah, Nayla tambah cantik aja. Nanti sore main lagi, ya, Nak,” katanya sambil tersenyum.
“Iya, Pak!” seru Nayla, melambaikan tangan kecilnya.
Maya memperhatikan Nayla yang kini bermain dengan dua anak lain. Tawanya lepas, tapi hati Maya berat. Di tengah suara riang anak-anak, ada rasa asing yang menggelayut di dadanya.
Ponselnya bergetar di saku jaket. Maya mengeluarkannya, layar menyala dengan nama yang membuat napasnya sedikit tercekat.
Adrian Lesmana.
Pesannya singkat.
“Malam ini, datang jam delapan. Jangan terlambat.”
Hanya itu. Tanpa salam, tanpa penjelasan.
Maya menatap layar ponselnya lama, seolah mencoba membaca maksud di balik kata-kata dingin itu.
“Bunda, lihat aku! Tinggi banget, kan?!” suara Nayla memecah lamunannya.
Maya segera tersenyum, mengangkat tangan untuk melambaikan semangat. “Iya, tinggi sekali!”
Tapi di hatinya, bayangan malam nanti mulai membentuk skenario sendiri—antara rasa takut, penasaran, dan sesuatu yang tidak mau ia akui.
...----------------...
Matahari sudah mulai condong ketika mereka meninggalkan taman. Nayla berjalan sambil menyeret langkah, jelas masih ingin bermain.
"Bu, besok kita ke taman lagi, ya?"
"Nanti kalau Ibu nggak sibuk, kita ke sini lagi," jawab Maya sambil mengelus kepala putrinya.
Mereka melewati jalan setapak yang dipenuhi aroma gorengan dari warung pinggir jalan. Nayla menoleh, matanya berbinar.
"Bu, boleh beli tahu bulat?"
Maya tersenyum kecil. "Boleh, tapi makan di rumah, ya."
Sesampainya di kos, udara di lorong terasa lebih pengap. Beberapa pintu terbuka, menampakkan penghuni yang sedang istirahat siang. Maya langsung mengajak Nayla masuk. Di dalam, ia melepas tas kecil Nayla dan membantu melepas sepatunya.
"Nayla, Ibu mau keluar sebentar nanti malam. Jadi, nanti kamu tidur sama Bu Ina, ya?"
Nayla mengerutkan dahi. "Kenapa nggak sama Ibu?"
"Ibu ada urusan penting, sayang. Nggak lama kok. Besok pagi Ibu udah ada lagi."
"Urusan sama orang yang di taman tadi bilang pengacara itu?" tanyanya polos.
Pertanyaan itu membuat Maya tercekat. Ia mengalihkan tatapan. "Iya… pokoknya buat kita berdua."
Setelah memberi Nayla camilan, Maya membawa putrinya ke rumah Bu Ina. Wanita paruh baya itu sudah menunggu di depan pintu sambil menyapu halaman kecilnya.
"Loh, Maya. Malam ini titip Nayla lagi?"
"Iya, Bu. Ada urusan kerjaan," jawab Maya, setengah berbohong.
Bu Ina tersenyum ramah. "Nggak apa-apa. Nayla kan anak manis. Sini sayang, main sama Tante dulu."
Nayla sempat menoleh ke ibunya sebelum masuk. "Ibu pulangnya jangan lupa peluk aku dulu, ya."
Maya menunduk, mencium kening putrinya. "Pasti, sayang."
Saat pintu rumah Bu Ina tertutup, Maya berdiri beberapa detik di depan teras, menatap langit sore yang mulai berwarna jingga. Ia merogoh ponsel dari saku. Pesan dari Adrian tadi siang masih ada di layar.
Adrian Lesmana:
Malam ini, pukul delapan. Jangan terlambat.
Maya menarik napas panjang. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang, tahu ia akan melangkah, tapi tidak tahu seberapa dalam ia akan jatuh.
kamu harus jujur maya sama adrian.