Arunika adalah seorang wanita yang memendam cinta dalam diam, membangun istana harapan di atas sajadah merah yang pernah diberikan oleh Raka, pria yang diam-diam memikat hatinya. Setiap sujud dan lantunan doa Arunika selalu tertuju pada Raka, berharap sebuah takdir indah akan menyatukan mereka. Namun, kenyataan menghantamnya bagai palu godam ketika ia mengetahui bahwa Raka telah bertunangan, dan tak lama kemudian, resmi menikah dengan wanita lain, Sandria. Arunika pun dipaksa mengubah 90 derajat arah doa dan harapannya, berusaha keras mengubur perasaan demi menjaga sebuah ikatan suci yang bukan miliknya.
Ketika Arunika tengah berjuang menyembuhkan hatinya, Raka justru muncul kembali. Pria itu terang-terangan mengakui ketidakbahagiaannya dalam pernikahan dan tak henti-hentinya menguntit Arunika, seolah meyakini bahwa sajadah merah yang masih disimpan Arunika adalah bukti perasaannya tak pernah berubah. Arunika dihadapkan pada dilema moral yang hebat: apakah ia akan menyerah pada godaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 – Libur Minggu
Hari Minggu datang dengan udara yang agak berbeda. Di asrama, suasana lebih lengang daripada biasanya. Sebagian besar anak memilih pulang ke rumah masing-masing, sebagian lagi sibuk di taman kampus, bercengkerama atau sekadar menumpuk tugas.
Di villa mewah tak jauh dari kampus, Raka duduk di kursi malas dekat taman. Angin berembus seiring terik matahari. Beberapa maid tengah beberes sebagian memasak. Di tangan Raka ponselnya dalam genggaman.
Menatap layar ponsel yang sudah berkali-kali ia buka. Tangannya ragu di atas keyboard, ingin mengetik sesuatu, sekadar sapaan sederhana: “Lagi apa?” atau “Sudah makan?” Namun, entah mengapa, setiap huruf yang hendak ia kirim serasa terlalu berat.
Ia tahu Arunika bukan tipe yang mudah membalas pesan. Dan ia juga terlalu takut, takut pesannya hanya dibaca tanpa balasan, atau malah menambah jarak yang mulai terasa sejak hari itu di perpustakaan. Raka menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja, lalu menutup wajah dengan kedua tangan.
“Kenapa susah banget, sih, cuma buat nanya kabar?” gumamnya lirih.
Di sisi lain kota, suasana berbeda jauh. Purnomo mendadak membawa keluarganya keluar rumah sejak pagi. Eka sempat kebingungan melihat suaminya sudah rapi dengan mobil terparkir di depan rumah.
“Mau ke mana, Yah?” tanya Eka, masih menutup rambutnya dengan kerudung sambil menggendong tas kecil.
“Jalan-jalan. Sudah lama kita nggak keluar sekeluarga, kan? Ayo, mumpung hari Minggu.” Purnomo tersenyum, matanya berbinar seperti seorang ayah yang sudah menyiapkan kejutan.
Arunika yang baru turun dari kamarnya menatap ayahnya heran. “Jalan-jalan? Ke mana?”
“Pokoknya ikut saja. Jangan banyak tanya.” Purnomo pura-pura serius, membuat kedua wanita di rumah itu saling berpandangan.
Mereka berangkat tanpa tujuan yang benar-benar jelas, tapi Purnomo mengemudikan mobilnya seolah sudah tahu ke mana harus membawa keluarganya. Eka sesekali menatap suaminya penuh tanda tanya, lalu menoleh pada Arunika yang hanya mengangkat bahu.
"Kita sarapan dulu!" ujar Purnomo.
Kendaraan itu berbelok di sebuah restoran mewah. Eka sampat ragu, ia tau jika sang suami bisa membayar semua makanan di sana. Tapi, ini adalah yang beberapa kali mereka keluar.
“Yah…” bisiknya pelan. “Kamu yakin kita mau makan di sini? Ini—”
Mereka duduk di sebuah meja dekat taman terbuka. Ada air mancur buatan dan banyak bunga-bunga indah. Ruangan eksklusif dipesan Purnomo.
Purnomo menepuk tangannya di atas meja. “Sudahlah. Sekali-kali nggak apa-apa. Arunika kan sudah belajar keras, sebentar lagi ujian semester. Kita kasih dia semangat!"
Arunika menatap ayahnya dengan wajah bercampur antara bingung dan haru. “Ayah…”
“Sudah, makan saja. Jangan kebanyakan mikir.”
Arunika sudah lupa kapan mereka makan enak di restoran. Hidangan yang datang memang mewah, porsinya pun jauh dari kebiasaan sederhana mereka di rumah. Eka awalnya masih kikuk, tapi senyum Purnomo perlahan menular padanya.
"Ayo makan, kalau masih kurang. Bisa nambah!' suruhnya lalu tangannya menyendok nasi.
Mereka makan dengan nikmat dan tenang. Hanya bunyi sendok dan piring beradu. Arunika menikmati suasananya.
"Nggak usah buru-buru makannya. Kita bisa sambil lihat-lihat pemandangan. Bukan taman bunga mawar Bunda yang kemarin habis dimakan hama!" sahut Purnomo mencairkan suasana.
"Ih, Ayah!" seru Eka malu.
"Bener Bun, kok bisa mati gitu sih?" tanya Arunika bingung.
"Beda sama pohon pare yang buahnya lebat ya?" sahut Purnomo dan membuat Eka mencubit pelan pinggang suaminya.
"Aduh, sayang!' protes Purnomo.
Arunika merona begitu juga Eka yang langsung salah tingkah. Arunika buru-buru menghabiskan makanannya.
"Ayah!" protesnya.
Purnomo hanya tertawa, beberapa pelayan melihat keluarga itu ikut tersenyum. Setelah selesai makan dan membayarnya. Mereka pun keluar restoran.
"Habis ini ke mana?" tanya Arunika yang menguasai tangan ayahnya.
Eka hanya menghela nafas panjang, ia akan kalah jika Arunika menyerobot tangannya yang menggandeng tangan suaminya. Purnomo jelas akan mendahulukan sang putri.
"Kita ke Mall!" jawab Purnomo.
Mereka masuk mobil dan kendaraan itu keluar dari sana. Suasana masih pagi, beberapa mall masih belum sepenuhnya buka. Purnomo memilih mengemudikan kendaraannya ke sebuah wahana bermain. Arunika yang tak pernah cocok dengan suasana ramai sedikit takut.
Mereka turun, Eka yang melihat kegelisahan putrinya langsung memeluk bahu Arunika. Senyuman hangat cepat menenangkan Arunika.
"Ayo sayang!" ajak Purnomo yang juga menggandeng tangan putrinya.
"Buka dirimu Nak. Suatu saat kamu harus berjalan sendirian!" ujar Purnomo.
Arunika menatap ayah dan ibunya, ada gelengan kecil. Tapi tatapan tegas sang ayah membuat Arunika benar-benar harus membuka diri.
Hari masih pagi, tak banyak orang bermain di wahana itu. Arunika masih berdiri menatap beberapa permainan yang menguji nyali.
"Dunia nanti akan lebih menyeramkan dan semua permainan ini Nak!" seru Purnomo.
Eka hendak menyelamatkan putrinya, tapi lengan kekar Purnomo menahan pundaknya.
"Kita awasi saja ya!" ujarnya pelan.
Langkah pertama: perahu ayun raksasa. Arunika sempat menolak, tapi tatapan tegas Purnomo membuatnya maju.
Ayunan mulai bergerak. Semakin tinggi, semakin kencang. Teriakan orang-orang di dalamnya menggema. Arunika pun ikut berteriak, suaranya pecah antara takut dan lega. Tubuhnya gemetar, wajahnya memerah, tapi saat permainan usai, ia turun dengan senyum lebar.
Eka merentangkan tangan, dan Arunika langsung berlari ke pelukan ibunya.
“Gimana rasanya?” tanya Purnomo dengan nada puas.
“Serem…” jawab Arunika, terengah. Tapi senyumnya menjawab lebih banyak daripada kata-katanya.
Belum selesai, ia justru menunjuk rollercoaster.
“Aku mau coba itu!” katanya, membuat Eka kaget.
“Nak…” panggil ibunya cemas.
Tapi Purnomo hanya mengangguk.
“Bagus!”
Rollercoaster meluncur cepat, menukik tajam, berputar dengan suara angin memekakkan telinga. Teriakan Arunika kembali pecah, kali ini bercampur dengan tawa lepas. Saat turun, pipinya merah, rambutnya berantakan, tapi matanya berbinar.
Eka langsung memeluk putrinya, sementara Purnomo berdiri tegak, wajahnya keras tapi matanya penuh kebanggaan.
“Nah, itu baru anak Ayah!"
Selesai bermain, mereka menuju mall. Purnomo berjalan mantap, seolah tahu apa yang harus ia lakukan. Ia membelikan baju-baju baru untuk kuliah Arunika, lengkap dengan sepatu dan peralatan tulis.
Saat melewati deretan kosmetik, Eka menatap sebuah palet make-up, lalu menoleh ke suaminya.
“Biar dia pilih sendiri kosmetiknya,” bisik Eka.
Arunika mendengar, wajahnya langsung memerah. Ia tak pernah terpikir berdandan, apalagi dengan make-up semewah itu.
Namun Purnomo tak berkomentar banyak. Ia hanya menatap putrinya dalam-dalam, lalu menepuk bahunya.
“Kamu sudah besar, Run. Dunia bukan hanya soal buku atau nilai. Tapi juga bagaimana kamu tampil percaya diri. Ingat itu!"
Arunika menunduk, jantungnya berdebar. Ia tahu ayahnya tidak bicara soal make-up saja.
Malam hampir tiba ketika mereka kembali pulang. Di dalam mobil, Purnomo menoleh singkat pada putrinya.
“Kalau nilai semester nanti bagus, ada hadiah buat kamu,” katanya tenang.
“Hadiah?” Arunika langsung berbinar.
“Apa itu?” tanya Eka sambil tersenyum misterius.
Arunika menatap bergantian, wajahnya penuh rasa penasaran.
“Ayah, Bunda… apa sih hadiahnya?” rengeknya gemas.
“Rahasia,” jawab Purnomo, senyum tipis muncul di wajah kerasnya.
Eka tertawa kecil, memandang putrinya dengan tatapan penuh sayang. Arunika merengek lagi, tapi akhirnya bersandar di bahu ibunya, kelelahan.
Selepas jamaah, Arunika ke kamarnya. Semua belanjaan telah disusun rapi oleh ibunya. Lalu matanya menatap ponsel yang ia letakkan begitu saja, tak ada notifikasi sama sekali.
Arunika merebahkan diri, ia menarik selimut hingga dadanya.
"Terimakasih Ayah," ujarnya pelan lalu matanya terpejam. Ia terlelap.
Sementara di kamar lain yang jaraknya sangat jauh. Sosok remaja tampak tidur dengan hati gelisah.
bersambung
Ah ... cinta dengan penuh rintangan.
next?
kamu bisa datang d saat kamu sudah siap dalam hal apapun,buat ayah Purnomo terkesan dengan perjuangan mu