"Dalam dunia yang telah dikuasai oleh iblis, satu-satunya makhluk yang tersisa untuk melawan kegelapan… adalah seorang yang tidak bisa mati."
Bell Grezros adalah mantan pangeran kerajaan Evenard yang kini hanya tinggal mayat hidup berjalan—kutukan dari perang besar yang membinasakan bangsanya. Direnggut dari kematian yang layak dan diikat dalam tubuh undead abadi, Bell kini menjadi makhluk yang dibenci manusia dan diburu para pahlawan.
Namun Bell tidak ingin kekuasaan, tidak ingin balas dendam. Ia hanya menginginkan satu hal: mati dengan tenang.
Untuk itu, ia harus menemukan Tujuh Artefak Archelion, peninggalan kuno para dewa cahaya yang dikabarkan mampu memutuskan kutukan terkelam. Dalam perjalanannya ia menjelajah dunia yang telah berubah menjadi reruntuhan, menghadapi para Archfiend, bertemu makhluk-makhluk terkutuk, dan menghadapi kebenaran pahit tentang asal usul kekuatannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di Atas Genting
Cahaya dari dua fragmen di tubuh Bell berdenyut seperti detak jantung yang menguasai seluruh ruangan.
Langkahnya membelah kabut, setiap ayunan pedangnya memecah udara seperti kilat yang jatuh di tengah malam.
Makhluk berkepala banyak itu meraung, kepalanya berputar saling menelan, membentuk rahang raksasa yang menutup jalur Bell.
Namun Bell tidak melambat—ia melompat, memutar tubuh, dan menghantam rahang itu dari dalam. Ledakan kabut meledak keluar seperti darah hitam.
Eryndra menahan serangan kepala-kepala lain, tombaknya menancap di tanah, membentuk lingkaran sihir pelindung.
Lythienne di belakangnya terus menembakkan sihir es beruntun, setiap tembakan menghantam titik yang Bell buka di tubuh makhluk itu.
> Eryndra: “Bell! Intinya sudah terlihat!”
Bell: “Aku tahu!”
Di dalam tubuh kabut itu, Bell melihatnya—sebuah kristal hitam sebesar hati manusia, berdenyut pelan, tapi setiap denyut memancarkan suara seperti teriakan.
Itulah fragmen ketiga… atau setidaknya, bagian darinya.
Bell menusuk dengan pedangnya, tapi saat ujung bilah hampir menyentuh kristal, sosok bertopeng muncul di antara mereka.
Tangannya, pucat dan penuh retakan seperti porselen pecah, menahan bilah pedang Bell.
> Sosok Bertopeng: “Kekuatan ini bukan milikmu.”
Bell: “Aku tak peduli siapa pemiliknya. Aku hanya akan mengambilnya.”
Sosok itu mendorong Bell mundur dengan satu hentakan, lalu mengulurkan tangan ke kristal.
Fragmen itu merespons—kabut di sekitarnya mengalir masuk ke tubuhnya, membuat udara semakin berat.
Bell terbatuk darah, tapi langkahnya tak goyah.
Ia memanggil seluruh kekuatan dari dua fragmen yang telah ia punya, memaksa nyala biru dan ungu bercampur di sekujur tubuhnya.
> Bell: “Kalau aku tidak mengambilnya… maka kau yang akan mati di sini.”
Dengan teriakan penuh amarah dan tekad, ia memotong udara di antara mereka, bilahnya memecahkan tangan sosok bertopeng itu hingga serpihan porselen beterbangan.
Pedangnya menancap tepat di kristal.
Ledakan cahaya mewarnai seluruh ruangan—kabut menjerit seperti nyawa yang direnggut, dan tubuh makhluk berkepala banyak itu mulai runtuh menjadi debu hitam.
Ketika kabut menghilang, Bell berdiri terengah-engah, kristal hitam itu kini berdenyut di tangannya.
Sosok bertopeng sudah menghilang, tapi suaranya bergema dari kejauhan.
> Sosok Bertopeng: “Ambil semua fragmen itu, Bell… dan kau akan menjadi iblis yang lebih mengerikan dariku.”
Bell menatap kristal itu lama, lalu menyimpannya di dalam jubahnya.
Matanya dingin, namun ada sedikit keraguan yang tak bisa ia hapus.
> Bell (dalam hati): Apakah aku sedang menuju akhir yang benar… atau akhir yang sama seperti dia?
Malam itu, angin di Desa Varrik membawa aroma besi berkarat. Bell duduk di tepi sumur tua, menatap permukaan air yang berguncang pelan. Sorot mata sosok bertopeng itu terus menghantuinya—mata yang sama… mati, kosong, seolah waktu telah merenggut semua cahaya kehidupan.
Eryndra berdiri tak jauh darinya, sibuk membersihkan panah. “Kau terlihat… goyah.”
Bell tak menoleh. “Dia… sama sepertiku.”
Lythienne menghentikan langkahnya. “Maksudmu… dia juga mayat hidup?”
Bell mengangguk pelan. “Tidak hanya itu… dia tahu tentang fragmen. Dia tahu… apa yang bisa dilakukan jika semua fragmen terkumpul.”
Mereka bertiga terdiam. Suara jangkrik dan gesekan daun menjadi latar yang semakin mempertebal rasa asing desa itu.
Eryndra akhirnya memecah hening. “Jika dia musuh, kenapa dia tidak menghabisimu?”
Bell mengingat tatapan terakhir sosok itu—bukan kebencian, bukan juga belas kasihan. Lebih seperti… peringatan.
“Mungkin… dia menunggu sesuatu. Atau dia ingin aku melihat sendiri kebenaran yang dia bawa.”
Di kejauhan, lonceng tua desa berdentang pelan. Para penduduk yang bersembunyi mulai menutup jendela rapat-rapat. Kabut semakin tebal.
Lythienne mendekat, berbisik dengan nada waspada, “Bell… kita harus pergi dari desa ini sebelum kabut menutup semua jalan keluar.”
Bell berdiri, menarik tudung jubahnya. “Pergi, ya. Tapi sebelum itu… kita perlu tahu kenapa dia di sini, dan kenapa matanya sama sepertiku.”
Ketiganya melangkah menyusuri lorong-lorong sempit Desa Varrik, tanpa menyadari bahwa dari atap-atap rumah, bayangan hitam mulai mengikuti mereka.
Langkah kaki mereka bergema pelan di jalan berbatu yang lembab. Lampu minyak di sudut jalan berkedip-kedip, seolah enggan menantang kegelapan yang menyelimuti desa.
Eryndra berhenti mendadak, tangannya meraih gagang busur. “Kita diikuti.”
Bell menoleh ke atap rumah. Di sela kabut yang menyapu, terlihat bayangan bergerak cepat—terlalu cepat untuk manusia biasa.
“Tetap jalan,” ucap Bell lirih, namun matanya tak lepas dari gerakan itu.
Lythienne menggenggam tongkatnya, bisikan mantra samar keluar dari bibirnya.
Tiba-tiba, suara berat memecah keheningan.
“Kalian… tak seharusnya datang ke sini.”
Dari kabut, tiga sosok melompat turun ke jalan. Tubuh mereka tertutup kain gelap, wajah tersembunyi di balik topeng kayu berukir simbol aneh. Gerakan mereka kaku… seperti boneka yang digerakkan oleh tali tak terlihat.
Bell merasakan hawa dingin menjalar di tubuhnya. “Pengikutnya…” gumamnya.
Salah satu dari mereka maju, suaranya serak seperti pasir kering.
“Dia memanggilmu, mayat hidup. Dia ingin melihat apakah kau layak.”
Eryndra menarik busurnya, melepaskan panah tepat ke arah dada. Panah itu menancap… namun tubuh itu tetap melangkah, darah hitam pekat mengalir dari lukanya.
“Tidak normal…” kata Eryndra, mundur selangkah.
Bell menghunus pedangnya yang kusam namun penuh retakan energi gelap. “Kalian menghalangi jalan… maka kalian akan kuhabisi.”
Pertarungan pun pecah. Kabut menebal, bayangan di atas genting terus bergerak mengikuti, seolah menunggu saat yang tepat untuk turun. Dan di antara dentang besi dan teriakan, Bell mulai merasakan sesuatu—resonansi yang sama seperti saat fragmen bereaksi.