Saddam dan teman-temannya pergi ke desa Lagan untuk praktek lapangan demi tugas sekolah. Namun, mereka segera menyadari bahwa desa itu dihantui oleh kekuatan gaib yang aneh dan menakutkan. Mereka harus mencari cara untuk menghadapi kekuatan gaib dan keluar dari desa itu dengan selamat. Apakah mereka dapat menemukan jalan keluar yang aman atau terjebak dalam desa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Saddam Curiga
"Kenapa kau menatap aku seperti itu?" Saddam berjalan mendekat ke arah Diro yang menatapnya penuh curiga, bahkan matanya naik turun memperhatikan kaki Saddam.
"Kau pikir aku hantu? Aku Saddam! Nih, kaki aku menapak di lantai!" Saddam menepuk pundak Diro yang berwajah masih tegang saat sudah sampai.
"Kau dari mana? Kok berdiri di depan pintu kamar nomor tiga?" Diro masih curiga.
"Aku terjebak tadi di dalam beberapa saat."
"Hah? Terjebak? Dam! Ini beneran kamu 'kan?" Diro merinding, dia reflek bergerak mundur dua langkah, langsung membaca ayat pendek.
"Hahahaha!" Saddam tertawa, membuat Diro semakin merinding.
"Kau kenapa, kesurupan, jangan nambahin takut, Dam!" seru Diro tambah takut.
"Cih, dasar penakut!" Saddam mendengus. Dia melangkah dan duduk di sofa ruang tamu. Diro mengikuti perlahan, berdiri berjarak dari Saddam duduk.
"Lama juga ya, mereka anterin Bu Anisa." Saddam bergumam.
"Iya, udah siang nih," sahut Diro.
"Apa kita susul aja kali ya, Diro?" Saddam memutar tubuhnya.
"Ayo!" Diro tampak semangat, dia dari tadi merinding dirumah ini berdua saja dengan Saddam, apalagi tadi Saddam hilang, dan kini muncul mencurigakan.
"Kau nggak takut lagi sama aku? Berani pergi sama aku?"
"Saddam! Nggak usah nambah-nambahin!" Diro berseru kesal. Sudah tahu dia penakut, masih saja diledekin oleh Saddam.
Mereka berdua bersiap pergi, mengunci pintu. Akan tetapi, Saddam merasa di awasi dan di ikuti setiap langkahnya.
"Menurutmu Dir, apa ada hantu di siang bolong gini?" tanya Saddam di sela langkahnya bersama Diro menuju rumah Pak Thalib.
"Seharusnya tak ada. Hantu itu munculnya kan malam hari. Tapi tak tahu lah dengan tempat ini, kau dan Viko kemarin saja bisa melihat hantu di siang hari!" Diro mengelus tangannya yang mulai merinding.
"Udah deh Dam, nggak usah bahas gituan, bikin takut aja!" Diro protes.
"Kalau tak di bahas, dia akan tetap menghantui, jadi menurutku lebih baik dibahas dan kita diskusikan, lagian sebenernya hantu bisa bunuh makhluk hidup itu enggak ada. Yang ada cuma logika kita aja yang termainkan saat ketakutan! Makanya, ada kecelakaan seperti tersesatlah, tertabraklah, jatuh dan lainnya."
"Entahlah, buktinya Agung dan Bu Anisa bisa begitu! Agung kesurupan, Bu Anisa sampai pingsan begitu, imanku lemah, aku penakut, kalau bisa menghindar dari yang berbau hantu mah aku Dam, ngeri!" Diro berciloteh.
Saddam terkekeh kecil. "Ya, ya."
"Ngomong-ngomong Dir, kamu nggak penasaran dengan apa yang terjadi padaku saat aku terjebak di kamar nomor tiga tadi?"
"Saddam!" Diro melotot bahkan menghentikan langkahnya. "Udah aku bilang aku takut, jangan bahas begituan, masih saja ngomong menyeramkan!"
"Tapi kamu enggak penasaran emangnya?" Saddam menaikan alisnya sebelah, menggoda Diro.
"Penasaran sih. Njir lah, tapi aku takut Dam!" Diro mengumpat kesal, satu sisi takut, satu sisi dia ingin tahu.
"Tadi, saat aku menemani kamu ke kamar mandi, tiba-tiba saja pintu kamar nomor tiga itu terbuka, berayun-ayun, makanya aku berniat menutup, biar kamu gak ketakutan atau kita enggak lihat yang aneh-aneh saat melewati itu kembali. 'Kan dari dapur hendak ke kamar ataupun ruang lainnya kita harus melewati lorong-lorong kamar salah satunya lorong kamar nomor tiga."
"Ya." Diro mengangguk.
"Itulah makanya ku tutup. Tapi, tiba-tiba lemari di samping ranjang itu bergetar dan terbuka lebar, menerbangkan kertas sampai di kakiku, akhirnya aku baca."
"Apa tulisannya, Dam?" Diro penasaran.
"Minta tolong gitu. Karena itu, aku melempar kertas itu ke dalam, dan berniat menutup pintu, malah tubuhku tertarik dan terjatuh ke dalam, pintu itu tertutup rapat tak bisa dibuka lagi."
"Nakutin banget, ih!" Diro merinding, dia mengelus tengkuknya.
"Aku coba terus buka, susah, akhirnya aku memilih merapikan kertas yang berserakan dan menyusunnya dalam lemari. Sampai akhirnya aku membaca semua kertas itu, setelah aku baca, baru pintu bisa terbuka dan aku mendengar suaramu," jelas Saddam.
"Apa saja yang kamu baca, Dam?" Diro semakin penasaran.
"Surat aneh gitu, katanya ada yang nuntut belajar ilmu hitam gitu deh, numbalin nyawa orang, hampir mirip racun gaib, trus surat minta tolong sama surat kisah cinta gitu."
"Punya siapa, Dam?"
"Nggak tau, tapi aku yakin salah satu surat itu dari jin qorin anak bungsu Nek Raisyah sih!"
"Hah? Serius Dam?" Diro menatap Saddam lama.
"Ya, itu menurutku sih. Nggak mungkin arwah lah Dir. Kita semua 'kan tahu, setiap nyawa manusia akan kembali kepada Yang Maha Kuasa, jadi yang tersisa itu cuma jin qorin yang selalu bersama kita selama hidup. Mungkin, ada sesuatu yang terjadi, yang tidak kita ketahui Dir. Soalnya, ditulisan itu aku lihat, bacaannya tolong aku Nek, gitu." Saddam menghela nafas panjang, setelah menjelaskan itu pada Diro.
"Nanti kita bahas lagi, setelah bertemu Agung dan Viko," lanjut Saddam.
"Sekalian cerita sama Bang Irul dan Nek Raisyah, Dam."
"Enggak Dir. Dalam salah satu surat, aku melihat peringatan, katanya jangan terlalu percaya pada orang dekat yang terlihat baik. Ya, intinya gak perlu semuanya kita ceritain, tapi cerita sedikit untuk mencari informasi itu lebih baik, Dir."
"Oh, begitu. Baiklah."
Saat Saddam dan Diro sampai di depan rumah Pak Thalib. Saddam melihat jelas dua sosok berdiri di sekitar rumah tetangga yang berdekatan dari rumah Pak Thalib. Sosok yang kata Nek Raisyah namanya Anggita, lalu sosok kedua adalah anak bungsu Nek Raisyah sendiri. Sosok itu terus menatap ke dalam rumah Pak Thalib.
"Ada apa Dam? Kok kita nggak masuk, berdiri di teras aja sih?" Diro memukul pelan pundak Saddam yang sejak tadi terlihat melihat sana sini, lalu bengong.
"Tak apa. Apa kau tak melihat apa-apa? tanya Saddam.
"Melihat apa? Melihat banyak motor dan sandal di depan ini?" tunjuk Diro. "Sepertinya banyak tamu, ya." Diro mengerucutkan bibirnya.
"Ya, sepertinya, salah satunya ada Bang Irul, nih motornya."
"Iya Dir. Ya udah, ayo kita masuk!" ajak Saddam, namun dia tampak berpikir keras.
"*Assalamualaikum*." Mereka berdua mengucapkan salam.
"*Wa'alaikumsalam*. Silahkan masuk."
Saddam dan Diro masuk, tamu di rumah pak Thalib cukup banyak. Ada Bu Anisa, Nek Raisyah, temannya Agung dan Viko, beberapa wajah yang tak dikenal oleh Saddam dan Diro, lalu yang dia kenal ada Bang Irul dan istrinya, kemudian bang Hendra dan satu temannya.
"Bang." Saddam dan Diro menyapa mereka, lalu saling bersalaman.
Mereka mengobrol bersama, ditemani dengan teh hangat dan roti kelapa yang disuguhkan oleh anak sulung Pak Thalib.
"Besok Pak Johan kembali, kalian sudah bisa kerja praktek lagi," kata Bang Irul memulai percakapan dengan Saddam dan Diro. "Agung juga sudah sembuh katanya, kata Bang Thalib juga sudah baik-baik aja."
Saddam menatap Bang Irul dengan pandangan tak bisa ditebak. Dia mendengar setiap inci perkataan dan menebak makna yang terkandung di dalamnya.
"Iya, Bang, sudah beberapa hari ini kami libur, ntar nilai kami dikasih bagus, A plus ya, hehehe," kata Diro cengengesan di akhir kalimat.