Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.
Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Putra Aleron dan Althea
Pagi di Paris terasa lembut, sinar matahari musim panas menyelinap masuk melalui tirai tipis yang menari pelan tertiup angin. Aroma croissant hangat dan kopi yang samar-samar dari dapur menyapa hidung, menandakan awal hari yang penuh kesibukan.
Di kamar luas mereka, Baby Cio sudah mulai menggeliat kecil dalam tidurnya. Thea, yang sudah terbangun lebih dulu, tersenyum lembut lalu menunduk mencium dahi putranya. Ia perlahan bangkit dari sisi ranjang, berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya sebentar sebelum kembali menggendong Cio yang mulai membuka mata.
Dengan penuh kesabaran, Thea memandikan Baby Cio. Air hangat yang menetes mengenai kulit mungil itu membuat bayi kecilnya terkikik pelan. Suara Thea yang lembut bercampur dengan tawa kecil Cio memenuhi ruangan. Setelah selesai, ia mengenakan baju bayi berwarna putih biru yang dipilih khusus untuk hari itu. Tak lupa, ia menyusui Cio sambil duduk di kursi goyang dekat jendela, menatap langit biru Paris yang cerah.
Sementara itu, Al sudah bersiap di sisi meja kerja kecil di kamar. Kemeja putihnya masih tergulung di lengan, rambutnya sedikit berantakan karena terburu-buru. Di hadapannya berserakan berkas-berkas penting, draft presentasi, dan catatan strategi untuk melawan langkah Valmont Jewels. Sambil sesekali mengecek email di laptopnya, ia menjelaskan rencana kepada Thea.
“Thea, setelah rapat pagi nanti, aku ingin kita fokus menyatukan semua tim desain. Jangan sampai ada celah lagi seperti kemarin. Aku sudah menyiapkan berkasnya, tinggal kamu review bagian desain detailnya.”
Thea mengangguk sambil menepuk pelan punggung Cio yang mulai terlelap lagi setelah menyusu. “Baik, Al. Aku akan pastikan tidak ada yang terlewat. Tapi… jaga ritme kita juga, ya. Aku nggak mau kamu juga jatuh sakit karena terlalu sibuk.”
Al menoleh sejenak, tersenyum, lalu berjalan mendekat untuk mengecup kening Thea. “Aku kuat kalau kamu ada di sampingku.”
Beberapa menit kemudian, mereka turun bersama ke ruang makan. Mariana dan Harry Moonstone sudah menunggu dengan sarapan khas Prancis, roti baguette hangat, keju, omelet lembut, serta buah segar. Aroma kopi hitam dan teh melati juga memenuhi meja panjang yang ditata elegan.
Mariana menyambut dengan hangat. “Selamat pagi, sayang. Thea, kau terlihat segar sekali pagi ini. Baby Cio… oh lihat cucu tampan Grandma sudah wangi sekali, siap jalan-jalan, ya?” katanya sambil merentangkan tangan meminta menggendong Cio.
Harry tersenyum lebar, berbicara dengan bahasa Indonesia yang meski beraksen masih terdengar jelas. “Pagi, Thea… pagi, Al. Ingat, kalian jangan terlalu memforsir diri. Mommy dan Daddy dengan senang hati menjaga cucu tampan kami kapanpun itu. Kalian fokus saja pada pekerjaan.”
Thea duduk di samping Mariana, matanya sedikit berkaca-kaca mendengar perhatian itu. “Terima kasih, Mommy, Daddy. Thea benar-benar beruntung bisa diterima dikeluarga yang begitu peduli. Tolong jaga Cio, ya. Thea percaya pada Mommy dan Daddy.”
Mariana menepuk lembut tangan Thea. “Sayang, kamu tidak hanya bekerja untuk proyek Phoenix. Kamu juga sedang membangun hidup baru. Jangan pernah lupa menjaga kesehatanmu. Kami akan ajak Cio jalan-jalan nanti. Kamu tak perlu khawatir, Mommy sudah menyiapkan semua-nya.”
Al tersenyum bangga melihat Thea begitu diterima oleh orang tuanya. Ia tahu, support ini bukan hanya untuk dirinya, tapi terutama untuk Thea yang sempat merasakan kesepian bertahun-tahun.
Momen itu begitu hangat, sarapan dengan tawa kecil Baby Cio, semangat dari Mommy dan Daddy Moonstone, dan tatapan penuh arti antara Al dan Thea. Hari baru di Paris pun dimulai, dengan energi baru yang lahir dari keluarga kecil dan besar yang bersatu.
♾️
Setelah sarapan penuh kehangatan itu, Al dan Thea bergegas kembali ke kamar sebentar untuk menyelesaikan persiapan terakhir. Thea sudah berganti pakaian kerja elegan, blouse satin lembut warna ivory dengan rok pensil navy yang sederhana namun berkelas. Rambutnya diikat rapi, hanya menyisakan beberapa helai jatuh alami di sisi wajah. Sedangkan Al mengenakan jas biru tua yang dipadukan dengan dasi tipis, tampak rapi namun tetap memancarkan karisma CEO yang tegas.
Baby Cio, yang sudah diserahkan ke Mariana sejak selesai menyusu, kini terlihat nyaman dalam pelukan neneknya. Ia mengenakan jumper bayi berwarna biru pastel dengan gambar beruang kecil, membuat wajah bulatnya semakin menggemaskan. Mariana tampak tak berhenti tersenyum, sesekali menciumi pipi Cio yang empuk.
Di halaman depan mansion, udara pagi Paris begitu segar. Langit biru terang tanpa awan, sinar matahari menyapu lembut taman depan yang penuh bunga mawar mekar. Mobil hitam elegan sudah terparkir siap mengantar Al dan Thea ke kantor pusat MS Corporation.
Saat mereka melangkah keluar, Harry menepuk bahu Al perlahan seolah menyalurkan kekuatan.
“Fokuslah pada rapatmu hari ini, Al. Ingat, proyek Phoenix bukan hanya soal perhiasan, tapi juga nama baik keluargamu. Kami di sini akan menjaga hal yang paling berharga untukmu.”
Al tersenyum lega, menyalami ayahnya erat. “Terima kasih, Dad. Aku jadi tenang meninggalkan Cio bersama kalian.”
Mariana mendekat sambil masih menggendong Baby Cio yang tampak menguap kecil. “Thea, sayang… jangan khawatir. Mommy akan ajak cucu tampan ini jalan-jalan ke taman dekat sini. Udara Paris bagus untuknya. Kau hanya perlu fokus bekerja, jangan pikirkan terlalu banyak.”
Thea menahan senyum, namun matanya berkaca-kaca. Ia membelai lembut kepala Cio sebelum mendekat untuk mencium keningnya. Sejenak ia enggan melepaskan, tapi Mariana menggenggam tangannya lembut.
“Sayang, Cio akan baik-baik saja. Kau harus percaya. Kami akan merawatnya seperti kalian merawatnya.”
Dengan suara sedikit bergetar namun tulus, Thea berbisik, “Terima kasih, Mommy, Daddy… Thea benar-benar bersyukur memiliki kalian.”
Al berdiri di sampingnya, merangkul bahu Thea. “Kami pergi dulu. Titip putra kami yang berharga.”
Harry terkekeh kecil. “Sudah jelas, Al. Mommy bahkan sudah membuat daftar kecil apa saja yang harus dilakukan kalau Cio menangis. Kami siap siaga seperti pasukan tentara.”
Suasana menjadi hangat bercampur tawa ringan. Sang sopir kemudian membukakan pintu mobil. Al membantu Thea masuk lebih dulu, lalu ia sendiri ikut masuk setelahnya. Dari dalam mobil, Thea menoleh lagi melihat Mariana yang melambai sambil menggoyang-goyangkan tangan kecil Baby Cio seolah-olah ia juga ikut melambai.
Hati Thea mencelos sejenak—ada rasa berat meninggalkan si kecil—tapi melihat Mommy dan Daddy Moonstone begitu penuh kasih, ia merasa jauh lebih tenang. Mobil perlahan melaju keluar dari halam mansion, meninggalkan pemandangan hangat itu.
Di kursi mobil, Al menggenggam tangan Thea erat. “Tenang, Thea… hari ini kita mulai langkah besar untuk Phoenix. Cio ada di tangan terbaik.”
Thea menoleh padanya, tersenyum tipis namun mantap. “Aku percaya, Al. Mari kita lakukan yang terbaik—untuk masa depan kita, dan untuk Cio.”
Dan begitu mobil melaju menembus jalan-jalan elegan Paris, semangat baru menyelimuti mereka.
♾️
Trotoar Paris yang klasik terasa ramai tapi hangat pagi itu. Jalanan dipenuhi suara langkah kaki para pejalan, deru lembut mobil-mobil kecil khas Eropa, dan aroma roti hangat dari toko-toko roti yang sudah buka sejak subuh. Mariana melangkah perlahan, mendekap Baby Cio di dadanya, sementara Harry berjalan di sisi kanan, menjaga mereka dengan penuh proteksi.
Baby Cio, dengan baju romper putih bergambar bintang-bintang kecil dan topi rajut tipis berwarna putih, tampak sangat menggemaskan. Bola matanya yang berkilau terus bergerak ke segala arah. Sesekali, ia mengangkat tangannya dan mencoba meraih sesuatu yang ia lihat—entah itu balon berwarna yang dibawa anak kecil di trotoar, atau daun hijau yang bergoyang tertiup angin.
“Dia benar-benar penuh rasa ingin tahu,” gumam Mariana, tersenyum sambil menunduk menatap cucunya. Jemarinya mengelus lembut pipi montok bayi itu, dan Baby Cio langsung menoleh, bibir mungilnya membentuk senyum kecil yang membuat Mariana terharu.
Harry mendekat, tangannya ikut mengelus kepala sang cucu. “Wajahnya persis Al waktu bayi. Tapi tatapan matanya… hm, aku rasa itu milik Thea. Ada ketenangan sekaligus kekuatan.”
Mariana mengangguk, matanya hangat. “Ya, Thea… dia gadis yang luar biasa. Aku melihat bagaimana dia menjaga Cio tadi pagi. Bagaimana dia menyusui dengan penuh kasih, memandikan, bahkan menciuminya berkali-kali seakan tak ingin jauh darinya. Aku bisa merasakan, dia benar-benar menjadi seorang ibu.”
Harry menatap istrinya serius, lalu berbisik dengan bahasa Indonesia yang sengaja ia pelajari demi lebih dekat dengan Thea. “Aku bangga… punya menantu seperti dia. Dia bukan hanya mendampingi Al, tapi juga menjaga masa depan keluarga kita.”
Mariana tersenyum lebar mendengar Harry berusaha dengan bahasa yang masih terbata. Ia menepuk pelan lengan suaminya. “Kalau Thea mendengar ini, dia pasti akan tersipu malu.”
Mereka terus berjalan menyusuri jalan Avenue Montaigne, yang terkenal dengan butik-butik mewah di kanan kiri. Mariana berhenti sebentar di depan sebuah café, aroma kopi segar bercampur dengan croissant yang baru keluar dari oven menyeruak di udara. Baby Cio tampak semakin antusias, matanya menatap etalase yang berisi kue-kue manis berwarna-warni.
“Hei, lihat dia,” ujar Harry sambil terkekeh. “Dia bahkan sudah bisa menolehkan kepala ke arah makanan. Sama seperti papanya, tidak bisa menolak pastry Paris.”
Mariana ikut tertawa. “Kalau sudah besar, mungkin dia akan merengek minta macaron setiap kali ke sini.”
Mereka lalu duduk sebentar di kursi luar café, memilih meja kecil di bawah payung putih. Seorang pelayan ramah datang, menyapa dalam bahasa Prancis, namun Harry membalas dengan bahasa Inggris, memesan dua cappuccino dan sepotong tarte aux fraises. Sementara itu, Mariana menyandarkan tubuhnya sedikit, mengusap punggung Baby Cio yang kini mulai menguap kecil, matanya setengah tertutup.
“Dia akan tidur sebentar lagi,” ujar Mariana pelan, penuh keibuan. “Angin sepoi-sepoi dan suara kota ini membuatnya nyaman. Rasanya seperti lullaby alami.”
Harry menatap pemandangan sekitar—pasangan muda yang berjalan sambil bergandengan, anak-anak yang tertawa sambil membawa balon, dan menara Eiffel yang menjulang megah di kejauhan. Ia menghela napas panjang, lalu menatap cucunya.
“Aku harap dunia yang dia tinggali nanti tetap seindah ini. Dan aku percaya, dengan Al dan Thea mendidiknya, dia akan tumbuh menjadi lelaki yang kuat, penuh kasih, dan terhormat. Cio bukan hanya hadiah untuk Al dan Thea, tapi juga untuk kita. Dia membuat kita kembali muda, kembali bersemangat. Setiap kali aku melihatnya tersenyum, aku merasa… hidup ini sempurna.”
Baby Cio menggeliat kecil, lalu mengeluarkan suara “ngoo… gaa…” seolah ingin menimpali percakapan mereka. Mariana dan Harry tertawa bersamaan. Mariana lalu mencium lembut dahi cucunya. “Oh mon bébé, bahkan ocehanmu saja sudah membuat dunia terasa indah.”
Setelah beberapa menit beristirahat, mereka kembali melanjutkan jalan pagi itu. Mariana memutuskan untuk menurunkan Baby Cio ke stroller yang mereka bawa, agar ia bisa lebih leluasa melihat sekitar. Bayi mungil itu tampak girang, tangannya sibuk meraih udara, kakinya menendang-nendang kecil dengan penuh semangat.
Mereka menyusuri Champs-Élysées, jalan besar dengan pepohonan rindang di kanan kiri. Di sepanjang jalan, orang-orang sesekali menoleh karena pesona Baby Cio yang terlalu manis untuk diabaikan. Seorang ibu muda yang juga mendorong stroller bahkan sempat menghampiri.
“Quelle adorable bébé!” ucapnya dengan mata berbinar, meski Mariana hanya tersenyum ramah dan mengucapkan terima kasih dalam bahasa Inggris.
Harry menunduk ke arah cucunya, berbicara dengan nada tegas namun penuh kasih. “Cio, dengarkan Grandpa baik-baik. Kamu harus tumbuh menjadi laki-laki yang kuat, dan pintar, tapi jangan pernah lupa untuk rendah hati. Itu yang paling penting.”
Mariana ikut menimpali, kali ini suaranya seperti doa. “Dan jangan lupa untuk mencintai mommy dengan sepenuh hati. Karena dia… dia sudah memberikan segalanya untukmu sejak pertama kali kau hadir. Mommymu adalah alasanmu bisa tumbuh penuh cinta. Ingat itu, nak.”
Harry mengangguk mantap. “Ya, Thea adalah anugerah. Kita harus selalu menjaganya juga, Mari. Aku ingin dia merasa diterima sepenuhnya, tidak pernah merasa sendirian. Apalagi aku melihat dengan mataku sendiri bagaimana dia menahan lelah, bagaimana dia tetap tersenyum meski tubuhnya jelas butuh istirahat.”
Mariana menghela napas pelan, matanya memandangi stroller. “Kita harus katakan langsung padanya nanti. Bahwa dia tidak boleh memaksakan diri. Kita ada di sini, siap membantu. Aku ingin Thea mengerti bahwa dia bukan hanya seorang ibu untuk Cio, tapi juga anak bagi kita.”
Mereka lalu berhenti di sebuah taman kecil yang dipenuhi bunga musim panas. Harry duduk di bangku kayu, sementara Mariana menggendong kembali Baby Cio yang sudah mulai mengucek matanya tanda mengantuk. Ia menyelimuti tubuh mungil itu dengan kain lembut, lalu menepuk-nepuk pelan punggungnya.
Tak butuh waktu lama, Baby Cio pun terlelap di pelukan neneknya. Suara napasnya yang tenang membuat suasana taman terasa lebih damai. Mariana menunduk, mencium kening bayi itu sekali lagi. “Tidurlah, mon petit ange… Grandma dan Grandpa akan selalu menjagamu.”
Harry menatap istrinya, lalu berkata dengan suara pelan tapi mantap, “Sayang, aku berjanji. Selama kita hidup, Al, Thea, dan Cio dan anak-anak cucu kita tidak akan pernah merasa sendiri. Kita akan menjadi tempat mereka kembali, tempat mereka beristirahat, tempat mereka dilindungi.”
Mariana tersenyum, air matanya jatuh perlahan karena haru. Ia memeluk erat cucu mungilnya, lalu menatap Harry penuh cinta. “Aku percaya padamu, Dad. Dan aku tahu… keluarga kita akan semakin kuat mulai hari ini.”
Mereka pun duduk berdua di taman Paris, ditemani angin sepoi-sepoi, bunga yang bermekaran, dan bayi mungil yang tidur damai di pelukan cinta kakek-neneknya.
♾️
Siang itu, udara Paris terasa hangat dengan angin lembut yang berhembus dari Sungai Seine. Mariana dan Harry duduk di sebuah restoran outdoor yang elegan di tepi jalan, meja mereka terhias bunga mawar putih segar. Suasana ramai namun tetap nyaman. Baby Cio duduk manis di stroller hitam elegan dengan selimut biru lembut menutupi kakinya. Sesekali ia tertawa kecil, memainkan jarinya, membuat Mariana gemas mencium pipinya berkali-kali.
“Sayang sekali Al dan Thea tidak ikut,” ucap Mariana sambil menatap cucunya.
“They have to work, honey,” jawab Harry tenang.
“Kita sebagai orang tua memang harus membantu mereka. Apalagi Thea baru saja beradaptasi dengan semua ini.”
Mariana tersenyum kecil, menatap Baby Cio yang tengah mengoceh dengan mainan kecil di tangannya. “Lihatlah cucu kita, Dad. Sungguh… dia seperti malaikat. Aku hanya ingin Al dan Thea bisa tenang merawatnya tanpa ada gangguan apa pun.”
Mereka baru saja memesan makanan—Harry memesan steak medium rare dan Mariana memilih pasta truffle—ketika suasana tenang itu mendadak terusik. Dari pintu masuk restoran, seorang wanita berpenampilan mencolok masuk dengan langkah penuh percaya diri. Gaun merah ketat membalut tubuhnya, make-up tebal dengan lipstik merah menyala. Begitu matanya menangkap Mariana dan Harry, ekspresinya berubah.
Wanita itu adalah Florena Lenka Isidore.
Mariana yang tadinya sedang menggoyang-goyangkan mainan kecil di hadapan Baby Cio, mendadak membeku. Tangannya yang biasanya lembut kini menggenggam mainan itu lebih erat. Tatapannya langsung berubah dingin, bahkan penuh rasa muak. Harry yang duduk di seberangnya langsung menyadari perubahan ekspresi istrinya. Ia menoleh ke arah pintu dan melihat Florena melangkah ke arah mereka.
“Ya Tuhan, kenapa harus hari ini…” Mariana berbisik pelan, matanya tajam penuh benci.
Florena tersenyum kikuk ketika sampai di depan meja mereka.
“Uncle… Auntie…” sapanya dengan suara dibuat manis, meskipun Mariana jelas bisa melihat ada nada terpaksa di dalamnya.
Harry hanya mengangguk singkat, menjawab seadanya dengan suara hambar, “Florena.”
Sementara Mariana bahkan tidak menoleh. Ia berpura-pura sibuk mencium Baby Cio dan menggoyangkan tubuh bayi mungil itu. Sikapnya jelas sekali: ia tidak ingin berurusan dengan perempuan ini.
"Kalian apa kabar?" Tanya Floren sekedar basa -basi.
"Ada apa?" Jawab ketus Harry sudah mengetahui tabiat Floren. Walaupun dari keluarga terpandang tapi kelakuannya minus.
Florena melirik bayi yang digendong Mariana. Matanya melebar, terkejut. “Aunty… Uncle… apakah itu… anak Stella?” tanyanya penuh penasaran, mencoba mencari jawaban. “Sungguh tampan sekali…”
Harry menatapnya tajam, lalu dengan suara tegas ia berkata,
“Bukan. Dia bukan anak Stella. Ini anak Al.”
Florena hampir tersedak dengan kata-kata itu. “Anak Al?” Ia refleks menahan napas. “A-al sudah menikah? Dengan siapa? Mengapa aku tidak pernah mendengar apa-apa?” suaranya bertubi-tubi penuh rasa ingin tahu.
Mariana akhirnya menoleh, tatapannya dingin menusuk seperti belati. Ia berbicara dengan nada sarkastis penuh penekanan.
“Tentu saja Al sudah menikah. Dan bayi ini adalah putra Aleron dan Althea. Kau ingin tahu siapa istrinya? Dia adalah Althea Rosewood. Atau sebaiknya kau belajar menyebut nama barunyan Althea Moonstone.”
Wajah Florena seketika pucat. Bibirnya bergetar. “A-Althea… Rosewood?” suaranya tercekat.
Mariana mengangguk perlahan, lalu menambahkan dengan nada menghina,
“Ya. Gadis yang dulu hubungannya sudah kau hancurkan dan membuatnya menderita karena ulahmu. Untung Althea terlalu baik dan terlalu malas meladeni orang sepertimu. Tidak seperti aku, yang bahkan tidak sudi menatapmu lebih lama dari ini.”
Florena mengepalkan tangannya erat-erat, kuku-kukunya hampir menancap ke kulitnya sendiri. Urat lehernya tegang, namun ia tidak berani membalas.
Harry yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. Suaranya tegas dan bernada mengusir, “Lebih baik kau pergi sekarang, Florena. Jangan ganggu keluarga kami. Lagi pula kau sudah menikah, bukan? Keluarga kami tidak ingin punya urusan lagi denganmu."
Florena menelan ludah, wajahnya merah karena malu. Banyak pengunjung restoran yang mulai memperhatikan. Ia merasa dipermalukan habis-habisan. Dengan langkah kaku, ia mundur dan berbalik, tapi sesekali masih melirik Baby Cio yang tenang digendong Mariana. Matanya sempat menyorot ragu—ada sesuatu yang tidak ingin ia akui—karena bayi itu… benar-benar mirip Al. Mirip sekali.
Namun tatapan tajam Mariana membuat Florena langsung mempercepat langkahnya, keluar dari restoran tanpa menoleh lagi.
Mariana sangat ingat jelas kebusukan manusia bernama Florena itu. Mariana tidak pernah lupa kejadian ketika ia sakit dan harus dibawa Aleron ke rumah sakit.
Aleron yang seharusnya menemani kekasihnya waktu itu, tentu saja memilih mendahulukan ibunya. Di perjalanan pulang, telepon Florena masuk. Mariana mendengar langsung dari speaker mobil.
“Lo dimana sih?! Jadi keluar nggak sih?! Gue udah nungguin lama, ANJING!”
Kata-kata kasar itu menusuk hati Mariana. Ia merasa terhina sebagai seorang ibu, mendengar putranya diperlakukan seperti itu. Pada saat itu juga ia menyuruh Al tidak berhubungan dengan orang itu lagi.
"Jangan berhubungan dengan wanita kurang ajar yang tidak memiliki sopan santun seperti dia Al. Kau bersama mommymu sendiri dan dia berani berkata kasar seperti itu ? Hai apa dia seperti itu menjadi seorang wanita yang katanya didikan keluarga terpandang?Tinggalkan dia!"
Lalu Mariana tahu mereka masih backstreet. Mariana tahu betul bahwa Aleron adalah pria ambisius dan pekerja keras. Namun, saat bersama Florena, semuanya berubah.
Florena sering menuntut Aleron untuk menemaninya ke pesta, klub malam, hingga perjalanan ke luar negeri—padahal saat itu Aleron baru merintis bisnisnya. Beberapa kali Aleron terpaksa membatalkan rapat penting demi memenuhi permintaan Florena, bahkan sampai nyaris kehilangan investor besar.
Sebagai seorang ibu yang menyaksikan anaknya berjuang keras sejak muda, Mariana sakit hati melihat Florena menyeret putranya ke jalan yang bisa menghancurkan masa depan.
Lalu saat Marriana sedang dirawat dirumah sakit. Al datang bersama Stella dan Adrienne namun tak lama kemudian Floren muncul dibelakang stella. Marriana langsung memalingkan wajahnya dan benar benar tak sudi untuk menatap apalagi disalami. Dan dengan terang-terangan ia mengusir Floren pergi.
Florena bukan hanya kasar dan materialistis—ia juga tidak setia. Mariana tahu bahwa Florena hanya mendekati Aleron karena harta. Ia sering meminta barang-barang mewah, jam tangan, perhiasan, liburan mahal. Mariana juga pernah diam-diam menyuruh orang menyelidiki Florena dan benar saja Florena terlihat bermesraan dengan pria lain di sebuah lounge hotel.
Mariana menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia menatap Harry dengan mata masih penuh emosi. “Aku dengar ia sudah menikah beberapa tahun lalu. Aku benar-benar tidak habis pikir… masih saja dia berani muncul di depan kita. Floren selalu mengganggu hubungan Al."
Harry meraih tangan istrinya lembut, menepuknya, “Tenanglah, sayang. Jangan biarkan orang seperti dia merusak suasana hati kita. Kita punya tanggung jawab besar sekarang, menjaga keluarga kecil Al dan Thea tetap bahagia. Jangan sampai ada yang merusaknya.”
Mariana menatap Baby Cio yang sudah mulai terlelap di pelukannya. Wajahnya melembut, hatinya luluh melihat bayi itu begitu tenang dan polos. Ia berbisik, seolah berjanji,
“Tak akan kubiarkan seorang pun mengganggu kebahagiaan ayah dan ibumu, sayang kecilku… terutama perempuan biang onar itu.”
Harry mengangguk pelan, menatap istrinya penuh keyakinan. “Ya, kita jaga rahasia pertemuan ini dari Al dan Thea. Mereka sudah cukup lelah dengan proyek besar itu. Tak perlu ditambah beban pikiran. Cukuplah kita berdua yang tahu.”
Mereka saling menggenggam tangan erat, membuat janji dalam hati yang sama: menjaga kebahagiaan putra, menantu, dan cucu mereka, sekuat tenaga.
Begitu sosok Florena benar-benar hilang dari pandangan, Mariana menutup matanya sejenak, menahan emosi. Tangannya menyentuh jemari Baby Cio yang kecil.
“Dad… aku tidak suka perasaan ini,” ucapnya dengan suara rendah. “Aku tidak ingin dia mendekati keluarga kita lagi.”
Harry meraih tangan istrinya, menggenggam erat. “Tenanglah, sayang. Dia hanya bayangan masa lalu. Kita tidak akan biarkan siapa pun merusak kebahagiaan Al dan Thea.”
Mariana menunduk, mencium kening cucunya yang sudah mulai menguap mengantuk. “Ya… aku berjanji, Dad. Aku akan lindungi mereka. Apa pun yang terjadi.”