Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.
"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.
Aku memandang putri sulungku tersebut.
"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.
Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAFTAR ULANG SEKOLAH X
Tujuh hari kemudian.
Saat ini aku tengah menunggu petugas dari Sekar Harum dalam rangka untuk pencairan pinjaman yang telah kuajukan seminggu yang lalu. Setelah menunggu kurang lebih satu jam, tak lama kemudian petugas yang kutunggu telah datang.
Setelah duduk di lesehan tikar yang telah dipersiapkan oleh Fida, petugas menjelaskan sesuatu padaku.
"Bu, hari ini panjenengan menerima sebesar uang dua rupiah, dikurangi biaya admin, tabungan satu kali, uang up. Nanti jenengan menerima uang sebesar satu juta delapan ratus ribu rupiah. Mohon foto dulu sambil membawa uang dan KTP ya," jelas petugas padaku yang mengikuti arahan mereka.
"Mohon tanda tangan disini," jelas petugas yang memberi kertas padaku.
"Mohon membayar angsuran dengan tepat waktu ya bu. Bisa dititipkan diketua kelompok yaitu Bu Fida. Bila lewat dari jam dua siang, silakan by transfer," jelas petugas.
"Inggih mbak," ucapku pada petugas tersebut.
Setelah aku menerima uang, petugas Sekar Harum kembali pergi untuk pergi ke rumah para nasabah. Aku masih di rumah Fida untuk mengobrol sebentar dengannya.
"Fid, terima kasih ya sudah mau membantuku. Aku juga sedang butuh info pinjaman lagi mengingat untuk keperluan asrama Zahrana. Aku belum tahu nominal yang harus kubayar karena belum ada info dari ma'had. Bila ada info pinjaman lagi, mohon aku dikabari ya. Juga bila ada info pekerjaan yang memperbolehkan membawa anak kecil, aku juga minta tolong untuk dikabari," jelas ku pada Fida.
"Sama-sama mbak. Aku juga pernah diposisimu, dan aku tahu itu tak mudah. Aku akan wa bila ada info pinjaman lagi," ucap Fida.
"Aku pamit ya. Aku harus ke sekolah X karena hari ini adalah hari terakhir untuk membayar daftar ulang. Aku harus segera berangkat mengingat sekarang sudah pukul setengah sepuluh pagi. Perjalanan dari sini ke sekolah X juga membutuhkan waktu empat puluh lima menit. Mungkin loket akan tutup jam setengah dua belas atau kalau tidak jam dua belas siang. Takut waktunya nggak nutut," jelasku pada Fida.
"Semangat mbak," ucap Fida.
"Selalu. Maaf belum bisa ngasih fee ini. Uangnya mepet Fid."
"Halah, apa sih mbak. Yang penting kebutuhanmu cukup."
"Makasih ya. Aku pamit dulu. Assalamu'alaikum," ucapku pada Fida.
"Wa'alaikumussalam," jawabnya.
Aku segera beranjak dari tempat duduk dan menghampiri motor matic ku. Kuselah motor tersebut dan segera menuju ke lokasi sekolah X.
Sesampainya disana, aku mengantri di bagian loket pembayaran untuk kelas tujuh. Ada ibu-ibu lain di sana yang tengah asik mengobrol.
"Ibu, maaf izin bertanya. Anak jenengan masuk kelas apa?" tanyaku pada perempuan yang berada di sampingku.
"Reguler mbak. Kalau mbak?" tanya balik perempuan tersebut.
"Keagamaan mbak. Rumah saya jauh," jelasku.
"Oh gitu. Rumahku dekat sini saja. Tahun kemarin anak saudaraku masuk di keagamaan juga," jelas perempuan itu lagi.
Aku penasaran dengan biaya ma'had di sekolah X. Aku kembali bertanya pada perempuan tersebut agar aku bisa memperkirakan berapa biaya kebutuhan ma'had.
"Mbak, boleh tanya sesuatu? Tahun kemarin saudara mbak, untuk masuk ke kelas keagamaan habis berapa ya mbak?" tanyaku menelisik agar aku segera tahu perkiraan uang yang akan kubutuhkan saat masuk asrama yang kemungkinan kurang dua bulan lagi yaitu pertengahan bulan Juli.
"Katanya habis satu juta lima ratus ribu rupiah dengan perincian satu juta lima puluh ribu untuk membayar peralatan asrama, seperti kasur, lemari, Al Qur'an,buku metode mengaji, kitab kuning, buku prestasi, dan lain sebagainya. Pokoknya intinya ke asrama hanya bawa keperluan pribadi saja," jelas perempuan tersebut padaku.
"Terima kasih informasinya ya mbak," jawabku pada perempuan tersebut.
"Sama-sama mbak."
Tak lama kemudian giliranku untuk maju ke depan loket pembayaran. Aku berjalan ke arah bangku petugas bank yang tengah berada di sekolah X.
"Untuk pembayaran siswa atas nama siapa?" tanya petugas diloket satu.
"Atas nama Arini Zahrana, kelas keagamaan," jawabku pada petugas.
Kuulurkan uang sebesar dua juta lima ratus lima puluh ribu rupiah pada petugas. Petugas tersebut segera menghitung uang tersebut, kemudian menginput dalam laptop yang berada dihadapannya. Setelah keluar dari print out, petugas tersebut memberikan lembar kuning yang berupa salinan dari pembayaran kepadaku.
"Terima kasih mas," ucapku pada petugas tersebut.
"Sama-sama Ibu."
Aku memasukkan kwitansi pembayaran berwarna kuning tersebut ke dalam tas dan keluar dari ruangan yang penuh sesak dengan para orang tua yang ingin membayar daftar ulang. Harap maklum saja karena hari ini adalah hari terakhir pembayaran di sekolah X. Seperti biasanya, aku bergegas menghampiri motor matic, menuntun motor tersebut hingga sampai pintu gerbang, baru kemudian menyalakan motor tersebut karena jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas yang berarti sudah waktunya Mumtaz untuk pulang. Segera kulajukan motor agak cepat (aku selalu tak berani membawa motor terlalu cepat karena ada Arsenio yang selalu bersamaku kemanapun) karena aku tak enak hati bila ustadzah Najma menungguku terlalu lama. Tak lupa setelah menjemput Mumtaz, aku segera menuju ke sekolah Zahrana.
Sesampainya dirumah, seperti biasanya, hpku pasti mati. Entah mengapa HP seken yang kubeli saat mas Anton keluar rumah part satu (berulangkali mas Anton keluar rumah, dan ini mungkin part ketiga atau ke empat, aku lupa. Kapan-kapan, bila ada kesempatan, aku akan membuat cerita yang berjudul purik (keluar rumah tanpa pamit) agar terlihat detailnya seperti apa, apa penyebabnya purik dan lain sebagainya hingga aku merasa bosan dan jengah menghadapi sikapnya yang sak karepe dewe (seenaknya sendiri), game online dan tidur pada pagi hari) cepat panas dan bila, terlalu panas, tahu-tahu HP akan mati dengan sendirinya. Sebenarnya aku ingin segera mengganti HP, tapi ini masih belum ada rezeki. Bila, ada rezeki, mungkin aku juga belum tentu akan mengganti hp ini. Aku tetap akan kupilih prioritas terpenting seperti pendidikan anakku saat ini. Aku mengecas hp sembari kutinggal ke area dapur untuk menyiapkan makan siang untuk ketiga anakku. Menunya seperti biasa saja. Bening wortel yang kucampur dengan sedikit sawi, dan tempe goreng. Setelah semua siap, aku meminta Zahrana untuk segera menyiapkan makanan untuk ketiga adiknya. Aku kembali mengecek HP yang sedang kucas tersebut dan segera menghidupkannya.
Ada pemberitahuan tentang pengambilan seragam dari grup PPDB sekolah X.
Assalamu'alaikum. Wr. Wb
Bagi para wali murid yang telah melakukan daftar ulang/ herregistrasi, besok mohon datang ke sekolah X bersama ananda dengan keperluan mengambil seragam agar sesuai dengan ukuran badan ananda.
Untuk nomer urut satu hingga seratus harap datang pada pukul delapan pagi hingga sepuluh pagi
Untuk nomer urut seratus satu hingga dua ratus harap datang pada pukul sepuluh pagi hingga pukul dua belas siang
Untuk nomer selanjutnya kami akan menginfokan kembali.
Wassalamu'alaikum. Wr. Wb.
Zahrana berada pada urutan seratus dua puluhan yang berarti akan dilayani pada pukul sepuluh pagi hingga pukul dua belas siang. Aku keluar dari kamar menuju tempat Zahrana yang tengah makan bersama kedua adiknya.
"Mbak, besok sampean pulang jam berapa?" Tanyaku pada Zahrana.
"Jam sepuluh bu. Setelah try out terakhir, ada hari tenang yang biasanya pulang pukul sepuluh pagi. Ada apa bu?" Tanya Zahrana penasaran.
"Besok Mumtaz juga pulang pukul sepuluh. Gurunya ada rapat di sekolah. Besok bila pelajaran telah usai, segera keluar kelas ya. Kita langsung ke sekolah X untuk pengambilan seragam," tegasku aku.
"Iya bu."
Aku melihat secercah sinar bahagia pada raut wajah Zahrana. Ada senyuman bahagia disana. Begitu lama aku tak melihat senyuman itu di wajah putri sulungku.
"Selalu bahagia, Zahranaku. Aamiin," do'aku dalam hati.