"hana maaf, rupanya riko hatinya belum tetap, jadi kami disini akan membatalkan pertunangan kamu.. dan kami akan memilih Sinta adik kamu sebagai pengganti kamu" ucap heri dengan nada yang berat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26 kemana hana
Jarum menembus kulit Hana, seketika dingin logam menjalar ke lengannya. Kantong bening di samping ranjang perlahan terisi cairan merah segar. Napasnya teratur, tetapi berat, keringat dingin menetes di pelipis.
“Felix, kamu harus sembuh,” ucap Hana dalam hati.
Ceklek! Pintu ruangan transfusi darah terbuka.
Hana terbelalak. Ternyata perkiraannya benar, Andri adalah saudara Jefri.
Rasa takut dan benci menyelimuti hati Hana. Ia teringat perkataan Nela bahwa Andri adalah seorang mafia penjualan manusia.
“Ternyata orang kaya tidak ada yang benar. Jangan-jangan Jefri juga termasuk dalam komplotan penjualan anak. Aku harus benar-benar kabur setelah menyelesaikan donor darah ini,” tekad Hana dalam hati.
Andri pun terkejut. Wanita yang selama ini ia cari ternyata berada bersama Jefri.
“Kenapa Hana bersama Kak Jefri? Apa orang yang membawa Hana adalah orang-orang Kak Jefri?” pikir Andri.
“Syukurlah kalau diselamatkan sama Kak Jefri,” pikir Andri lagi. Ia kemudian melirik Hana. Gadis itu tampak memalingkan wajah.
“Kenapa Hana masih ngambek sama aku? Apa sebenarnya salahku? Ini harus aku jelaskan,” ucap Andri dalam hati.
Jarum perlahan dicabut dari lengan Hana, meninggalkan bekas merah kecil. Ia menarik napas panjang; tubuhnya terasa ringan sekaligus lemas. Perawat segera menutup luka dengan perban, sementara Hana tersenyum tipis.
Walau badannya lemas, Hana memaksakan diri untuk berdiri. Ia ingin menghindari Andri.
“Hana…” ucap Andri yang masih menjalani transfusi darah.
Hana tidak mengubris. Ia terus berjalan, meninggalkan Andri.
“Mbak, sebaiknya istirahat dulu,” ucap perawat
“Maaf, saya mau keluar sebentar.” Hana bangkit dan meninggalkan ruang transfusi.
Ia melihat Jefri yang tampak gelisah menatap kondisi Felix.
“Semoga kamu baik-baik saja, Felix. Jangan ikuti jalan Papih kamu,” ucap Hana dalam hati.
Dengan tubuh yang masih lemas, Hana berjalan sempoyongan keluar dari rumah sakit. Ia memanggil ojek pangkalan dengan tujuan rumah Reni, sahabatnya.
Sementara itu, lampu ruang operasi menyala terang. Bayangan dokter dan perawat bergerak cepat. Felix terbaring mungil di atas meja operasi, napasnya ditopang alat, detak jantungnya naik-turun tak menentu di monitor.
Di ruang lain, Viona juga berjuang melawan pendarahan hebat. Suara instruksi dokter bersahut-sahutan, sementara gunting dan klem beradu nyaring dengan logam meja.
“Tenanglah, Kak Jefri,” ucap Andri pelan, mencoba menenangkan. Namun, pikirannya sendiri tertuju pada Hana yang tidak terlihat di lokasi.
“Aku tidak akan memaafkan siapa pun yang mencelakai Ibu dan Felix,” ujar Jefri dengan suara bergetar sambil mengepalkan tangannya.
Andri ragu, tetapi akhirnya memberanikan diri bertanya, “Kak, kenal Hana dari mana?”
“Astaga! Hana ke mana?” Jefri justru terperanjat. Ia baru sadar bahwa Hana tidak ada di sekitarnya.
“Tadi Hana lebih dulu selesai transfusi. Lalu dia keluar… kupikir masih di sini,” jawab Andri, sama-sama terkejut karena ternyata ia salah mengira.
Jefri menunduk, wajahnya penuh kebingungan. “Aku benar-benar bingung, Ndri. Felix sangat bergantung pada Hana. Kehadirannya seperti memberi harapan baru bagi anakku. Tapi di sisi lain… aku masih mencintai Melisa, Ndri.”
Andri terdiam. Ia menyadari persoalan Jefri jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan.
“Oh, jadi Hana pengasuhnya Felix, ya?” Andri menyimpulkan.
Jefri langsung berbalik, menatap Andri dengan mata menyipit.
“Dari mana kamu mengenal Hana?” tanya Jefri penasaran.
Andri menarik napas, lalu mulai menceritakan bagaimana ia bertemu dengan Hana.
“Jadi waktu itu… yang bertarung dengan anak buahku itu kamu?” Jefri menatapnya penuh curiga.
“Hana itu diculik, Kak. Aku menyelamatkannya dari penculik. Saat aku dan penculik bertarung, anak buah Kak Jefri datang memukuli aku dan penculik. Setelah itu, mereka kabur,” jelas Andri dengan wajah manyun.
“Hehe… sorry, Brother. Aku tidak tahu. Felix sangat bergantung pada Hana, aku tidak mau dia sedih,” ujar Jefri dengan nada berat.
“Sepertinya kamu mencintai Hana, ya?” tanya Jefri tiba-tiba.
Andri tersenyum getir. “Kalau harus bersaing dengan Kak Jefri… aku pikir dua kali.”
“Hahaha, tenang saja. Felix hanya ingin Hana jadi pengasuhnya,” ujar Jefri, seolah memberi harapan kepada Andri.
“Tapi aku heran, Kak. Sepertinya ada yang salah dengan Hana. Dia seperti benci sama aku… tapi aku tidak tahu kenapa,” ucap Andri, nadanya seperti seorang adik yang sedang curhat pada kakaknya.
“Hmmm… Andri, Andri. Kamu ini masih belum paham, ya? Coba ingat, sudah berapa kali kamu punya pacar lalu putus? Kamu pasti tahu siapa penyebabnya, bukan?” Jefri menatap adiknya penuh makna. Ia memang mengenal Andri sejak kecil, tahu banyak soal kebiasaannya.
Andri terdiam, tampak berpikir. “Apa ini ulah Nela?” gumamnya pelan.
“Cobalah kamu selidiki,” saran Jefri tegas.
“Baiklah, Kak. Terima kasih.”
Suasana mendadak hening. Setiap detik menunggu kabar dari ruang operasi terasa seperti perjalanan menuju tempat berbahaya—penuh ketegangan dan rasa cemas.
“Kak, Melisa kok belum datang?” tanya Andri akhirnya, memecah keheningan.
“Katanya masih di Jepang,” jawab Jefri singkat.
“Hmmm… coba Kakak selidiki. Dari dulu aku memang tidak suka sama dia,” Andri berterus terang.
“Entahlah, aku masih mencintainya. Aku yakin suatu saat dia akan kembali,” ucap Jefri dengan nada sendu.
Suasana kembali hening. Andri melirik ke arah lorong, berharap Hana muncul. Namun, sosok yang ditunggu tak kunjung datang. Pandangannya kemudian beralih ke lampu operasi yang masih padam.
Tiba-tiba, lampu menyala hijau. Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Jefri segera menghampiri dengan langkah tergesa.
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya Jefri gugup. Suaranya bergetar, seolah belum siap kehilangan putra tercintanya.
Dokter tampak menghela napas berat sebelum menjawab.
“Anak Bapak selamat. Hanya saja, ia memerlukan beberapa hari untuk memulihkan kesadarannya.”
Jefri menghela napas lega. Akhirnya ketakutannya hilang seketika.
“Tolong tempatkan di ruang VVIP,” ucap Jefri.
“Kami mengerti, Pak,” jawab perawat.
Tak lama kemudian, seorang dokter perempuan keluar masih mengenakan masker. Jefri segera menghampirinya.
“Bagaimana kondisi Ibu saya, Dok?” tanyanya cemas.
“Ibu Anda sudah melewati masa kritis. Sekarang beliau sudah sadar,” jawab dokter tenang.
“Syukurlah…” gumam Jefri lega.
“Boleh saya lihat, Dok?”
“Silakan, Pak,” sahut dokter.
Jefri masuk ke ruangan tempat Viona dirawat. Kepala ibunya masih diperban, selang infus menempel di tangannya. Wajahnya tampak pucat, namun matanya sudah kembali terbuka.
“Jefri, bagaimana kondisi Felix?” tanya Viona dengan suara lirih.
“Felix sudah melewati masa kritis, Mah,” jawab Jefri dengan lega.
Viona melirik ke arah lain, lalu tersenyum tipis. “Andri, kamu juga datang rupanya.”
“Mah, Andri ini yang mendonorkan darah untuk Mama,” ucap Jefri sambil menatap sepupunya.
Viona menatap Andri penuh rasa haru. “Terima kasih, Nak. Tante benar-benar berhutang nyawa padamu.”
Andri menunduk rendah hati. “Aku keponakan Tante. Sudah seharusnya aku menolong.”
“Bagaimana kabar ibumu?” tanya Viona kemudian.
Andri tampak muram. “Ya… begitulah, Tante. Masih terobsesi mencari anaknya yang hilang.”
“Nanti Tante akan main ke rumah ibumu. Sudah lama sekali Tante tidak menjenguk,” ucap Viona pelan, lalu menghela napas panjang.
Mendadak ia teringat sesuatu. “Jefri, Hana ke mana?” tanyanya.
Jantung Jefri langsung berdegup kencang. Ia terdiam. Sejenak ia sadar, sejak tadi ia tidak mencari Hana. Padahal Hana pernah berkata akan pergi setelah mendonorkan darah. Awalnya Jefri mengira itu ancaman kosong. Nyatanya, Hana benar-benar menghilang.
secepatnya pasti terkuak dan Andri gak jadi sama Hana deh 😅😅