Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah. 
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
di Surabaya (2)
Keesokan paginya, Syahnaz berangkat ke pesantrennya bersama Lubna. Mobil hitam milik keluarga Lubna melaju tenang di jalanan, diiringi lantunan zikir lembut dari radio mobil. Pak sopir pribadi keluarga Lubna yang terkenal ramah tampak fokus mengemudi.
Wajah Syahnaz tampak teduh di balik kaca jendela, sesekali tersenyum kecil melihat pepohonan yang berbaris rapi di pinggir jalan.
Lubna, yang duduk di sampingnya, menatapnya sambil berkata pelan,
> “Akhirnya ya, Naz… hari ini kamu resmi ambil ijazah. Rasanya cepat banget waktu berlalu.”
Syahnaz hanya tersenyum, “Iya, Lub. Kayak baru kemarin kita hafalan bareng di musala.”
Begitu tiba di pesantren, aroma harum bunga kenanga menyambut mereka. Suasana pesantren yang damai dan rapi seolah menyapa penuh rindu. Beberapa adik kelas melambai ramah.
Mereka segera menuju kantor untuk menemui Ustadzah Asiyah.
Ustadzah Asiyah menyambut hangat dengan senyum khasnya. “Masyaa Allaah, Syahnaz dan Lubna! Sudah lulus, ya? Wajah kalian tambah dewasa saja.”
Setelah berbincang sejenak, Ustadzah Asiyah mengambil map biru dari rak, lalu menyerahkan ijazah kepada Syahnaz.
> “Ini, nak. Hasil kerja kerasmu selama ini. Ustadzah bangga.”
Syahnaz menerimanya dengan kedua tangan, menunduk hormat.
> “Jazaakillaahu khairan, ustadzah. Terima kasih atas semua bimbingannya.”
Ustadzah Asiyah tersenyum, lalu bertanya lembut,
> “Setelah ini, Syahnaz mau lanjut ke mana?”
“Insyaa Allaah kuliah di Jakarta, ustadzah,” jawabnya sopan.
“Oh, di Jakarta? Jurusan apa, Nak?”
“ insyaa Allaah Bimbingan dan Konseling Islam, ustadzah. Di UIN.”
Mendengar itu, wajah Ustadzah Asiyah tampak berseri.
> “Masyaa Allaah… pilihan yang sangat bagus, Syahnaz. Cocok sekali dengan kemampuanmu berbicara dan dakwah. Semoga Allah mudahkan, ya.”
“Aamiin, terima kasih, ustadzah.”
Mereka pun mengobrol hangat hingga menjelang siang. Setelah berpamitan, Syahnaz dan Lubna berjalan menuju gerbang pesantren. Angin siang berhembus lembut, membuat kerudung mereka sedikit berkibar.
Namun tiba-tiba, dari arah belakang terdengar suara laki-laki memanggil,
> “Syahnaz!”
Langkah Syahnaz terhenti. Ia menoleh pelan, keningnya berkerut — suaranya terdengar familiar, tapi… siapa?
Dan ketika ia menatap, jantungnya seketika berdetak cepat.
Gus Naufal.
Wajah teduh dan postur tenang itu membuat Syahnaz reflek menunduk, matanya tak berani menatap langsung.
> “D-duh… apa aku salah dengar, Lub? Itu Gus Naufal kan yang manggil aku?” bisiknya pelan.
“Nggak salah, Naz. Aku juga dengar,” jawab Lubna, menatap takjub.
“Ssst! Diam, dia jalan ke sini,” bisik Syahnaz cepat.
Gus Naufal mendekat dengan langkah tenang.
> “Assalamu’alaikum, Syahnaz. Kamu Syahnaz, kan?” suaranya dalam tapi lembut.
“Wa’alaikumussalam, Gus. Iya, saya Syahnaz,” jawab Syahnaz sopan, tetap menunduk.
Gus Naufal menatap ke arah Lubna.
> “Kalau ini?”
“Saya Lubna, Gus,” jawabnya sambil tersenyum kikuk.
Gus Naufal mengangguk, lalu berkata ramah,
> “Kalian berdua sudah lulus, ya?”
“Iya, Gus, alhamdulillaah,” jawab keduanya hampir bersamaan.
Senyum tipis muncul di wajah Gus Naufal.
> “Berarti sore ini kalian kosong dong?”
“Iya, Gus, nggak ada kegiatan ,” jawab Syahnaz pelan, sedikit menyenggol Lubna yang hanya menatap Gus Naufal tanpa suara.
“Eh, iya, free kok, Gus!” timpal Lubna cepat dengan senyum terlalu lebar.
Gus Naufal terkekeh kecil.
> “Kalau begitu, kalian mau nggak mampir ke pondok Darul Amin sore ini? Ada event santri, semacam bazar. Saya mau ngundang—”
Belum sempat ia selesai bicara, Lubna sudah berseru,
> “Mauu!!”
Syahnaz spontan menatapnya kaget dan langsung menyenggol lengannya.
Lubna langsung menunduk, tersipu.
> “Eh, afwan Gus, kelepasan. Maksud saya, boleh-boleh aja kalau diizinkan.”
Gus Naufal tersenyum geli melihat kekonyolan Lubna. Lalu matanya kembali menatap ke arah Syahnaz.
> “Kalau kamu sendiri, Syahnaz? Hadir, kan?”
Syahnaz menelan ludah, lalu mengangguk kecil.
> “Insyaa Allaah, Gus. Saya hadir.”
> “Alhamdulillaah,” ucap Gus Naufal lega. “Nanti sekalian saya kenalkan dengan Ummi saya juga, insyaa Allaah. Kalau gitu saya pamit dulu, ya. Assalamu’alaikum.”
> “Wa’alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh, Gus,” jawab mereka serentak.
Begitu Gus Naufal melangkah keluar gerbang, Lubna langsung menoleh dengan senyum penuh arti. Ia menyenggol bahu Syahnaz sambil terkekeh,
> “Ehemm… ada yang deg-degan, nih~”
> “Apaan sih, Lub…” Syahnaz menunduk, pipinya memanas.
Lubna makin jahil, menatapnya dengan mata berkilat,
> “Cieee… kayaknya Gus Naufal naksir kamu, Naz!”
Refleks, Syahnaz menutup mulut Lubna dengan tangannya.
> “Ssttt! Jangan kenceng-kenceng! Ini masih di area pesantren, Lubna!” bisiknya panik.
Lubna langsung menahan tawa.
> “Iya, iya, maaf. Kelepasan,” katanya, tapi senyumnya tak kunjung hilang.
Dan Syahnaz hanya bisa menggeleng pelan, menyembunyikan debaran yang belum juga tenang di dadanya.
“Ayo ah, kita balik. Jangan senyum-senyum aja kamu,” ucap Syahnaz sambil menatap Lubna yang sejak tadi tak berhenti nyengir.
Lubna malah tertawa kecil sambil melangkah menuju mobil.
“Cieeee cieee… benih-benih cinta mulai tumbuh nih,” godanya sambil membuka pintu mobil.
Syahnaz memutar bola matanya, tapi bibirnya tak bisa menahan senyum.
“Nggak ada yaaa,” elaknya sambil berusaha terlihat datar.
Lubna menatapnya geli saat mobil mulai melaju.
“Yaa Allaah, Syahnaz… kalau mau senyum, senyum aja, Naz! Jangan ditahan-tahan gitu,” ucapnya sambil menyenggol lengan Syahnaz pelan.
Syahnaz menepis sambil mengalihkan pandangan ke arah jendela.
“Ihh apaan sih, siapa juga yang mau senyum coba?” katanya, pura-pura cuek.
Lubna terkekeh makin lebar.
“Hahaha… santai aja, Naz. Nggak usah malu. Aku tau kamu kok~”
“Apaan sih, kamu nggak jelas banget dari tadi. Udah ah,” jawab Syahnaz sambil melipat tangan di dada, mencoba mengakhiri pembicaraan.
Namun Lubna bukannya berhenti, malah semakin menjadi-jadi. Ia bersandar di jok mobil, menatap langit-langit sambil menghela napas dramatis.
“Duhh… ganteng banget Gus kita yang satu ini. Udah tinggi, putih bersih, mancung… yang paling the best tuh matanya—tatapannya menyejukkan hati, tajam, alisnya tebal, aduh perfect banget kamu, Gus!”
Syahnaz hanya bisa melirik sekilas dengan ekspresi campuran antara geli dan lelah.
Lubna masih larut dalam khayalnya sendiri.
“Wanita mana ya yang bakal beruntung dapetin hatinya Gus Naufal?” gumamnya pelan.
“Hmmm… andai aja Gus Naufal naksir aku,” lanjutnya sambil tersenyum simpul.
Syahnaz menghela napas panjang.
“Pasti bakal aku terima cepet-cepet sih. Ya kan, Syahnaz?” tanya Lubna spontan, matanya berbinar.
Syahnaz menatapnya sekilas, lalu berkata datar,
“Iyaaa… sstt, diam. Jangan bahas Gus Naufal lagi, deh.”
Lubna malah terkekeh lagi, menatap sahabatnya dengan pandangan menggoda.
“Cieee… kamu cemburu ya? Aku ngomongin Gus Naufal?”
Syahnaz memejamkan mata sejenak, menghembuskan napas panjang.
“Nggak gitu juga, Lubna. Udah ah. Terserah kamu deh,” ucapnya pasrah.
Lubna tertawa puas, sementara Syahnaz menatap keluar jendela — mencoba menenangkan debaran kecil yang diam-diam belum juga reda sejak pertemuannya tadi di gerbang pesantren.
...----------------...
Sore itu, langit mulai berwarna jingga keemasan ketika Syahnaz dan Lubna tiba di Pondok Pesantren Darul Amin, salah satu pesantren terbesar di Indonesia yang diasuh oleh Kiai Kholid. Suasana pondok tampak sangat ramai — ribuan santri lalu-lalang, sebagian membantu menata tenda, sebagian lagi melayani pengunjung bazar dengan penuh semangat.
Begitu mereka melangkah masuk ke area pesantren, Syahnaz tertegun, matanya membesar menatap pemandangan di depannya.
> “Maa syaa Allaah… banyak banget santrinya! Lihat deh, Lub… deretan tendanya bisa sampai ratusan!” ucapnya takjub.
Lubna ikut memandangi sekeliling dengan antusias.
> “Kita mulai dari mana dulu, Naz? Dari stan kitab-kitab atau kuliner?” tanyanya bingung sambil menoleh ke kanan kiri, seolah semuanya menarik untuk disinggahi.
Syahnaz belum sempat menjawab ketika Lubna tiba-tiba menunjuk ke arah salah satu bescamp bertuliskan ‘Penjualan Kitab dan Alat Ibadah’.
> “Ehh… ke situ aja, Naz!” seru Lubna cepat.
Syahnaz mengerutkan dahi sambil mengikuti arah telunjuk sahabatnya.
> “Kamu mau beli kitab?” tanyanya polos.
Lubna menggeleng pelan, tapi senyumnya malah melebar.
> “Nggak, aku mau beli abangnya…” jawabnya lirih tapi penuh ekspresi, matanya tak lepas dari salah satu santri penjaga stan yang sedang sibuk menata kitab.
Syahnaz spontan menatapnya tak percaya.
> “Astagfirullaah, Lub! Kamu ini ya… lihat yang bening-bening dikit langsung terhipnotis!”
Lubna malah terkekeh sambil menutupi mulutnya.
> “Hehehe, tapi serius Naz… masa santrinya cakep-cakep banget sih? Ini pesantren apa ajang pemilihan suami idaman?”
Syahnaz cuma bisa geleng-geleng kepala, menahan tawa yang hampir pecah.
> “Udah ah, ayo jalan. Sebelum kamu benar-benar khilaf nanti beli kitab karena abangnya, bukan karena ilmunya.”
Lubna tertawa keras, sementara Syahnaz tetap mencoba bersikap kalem — padahal di dalam hatinya, entah kenapa, sejak menyadari bahwa tempat ini milik keluarga Gus Naufal… ada getar lembut yang mulai tumbuh di dada.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.