Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Merenung
Lidya terdiam. Jemarinya menggenggam selimut erat, matanya tertunduk dalam. Detak jantungnya terasa semakin cepat. “Kak Arjun nggak sembunyikan apa-apa, Kak,” katanya pelan. “Dia memang sibuk, apalagi proyek apartemen barunya di Yogya itu besar banget. Banyak investor yang harus dia temui."
“Eliza,” tegur Mama Riri lembut, “sudah, Nak. Adikmu masih sakit, jangan terus menerus ditanyain. Kamu ini semakin lama kelihatan egois ya, tidak bisa lihat kamu ada di mana.”
Namun Eliza masih menatap Lidya dengan tatapan yang mencurigakan. “Kamu yakin, Lid? Aku cuma nanya kok. Soalnya akhir-akhir ini, dia ... kayak bukan Mas Arjuna yang aku kenal. Agak lebih dingin, lebih jauh. Dan anehnya, tadi aku lihat cara dia mandang kamu—”
“Eliza.” Kali ini suara Mama Riri terdengar lebih tegas. “Cukup. Kenapa jadi merembet ke mana-mana!”
Udara di ruangan terasa berat. Lidya tidak berani menatap siapa pun. Ia hanya menatap jari-jarinya sendiri, berusaha menjaga agar napasnya tetap teratur. “Mungkin Kak Arjun memang sedang lelah. Benar kata Mama, Kak. Jangan negatif thinking dulu,” ucapnya lirih, hampir berbisik. “Banyak proyek yang harus dia tangani. Dia orangnya perfeksionis, kan, Kak.”
Eliza menatap adiknya lama. Ada jeda panjang sebelum akhirnya ia menarik napas pelan dan memaksakan senyum. “Iya, mungkin kamu benar,” katanya akhirnya. “Aku terlalu banyak mikir.”
Mama Riri tersenyum lega. “Nah, itu baru benar, jangan langsung berpikiran buruk sama suami. Sekarang duduk, Nak. Temani adikmu sebentar, Mama mau ke keluar dulu.”
Begitu Mama Riri keluar, ruangan kembali sunyi. Eliza menatap adiknya sekilas lalu mengambil ponsel, sibuk membalas pesan dari Shinta. Tapi di balik kesibukan pura-pura itu, matanya kadang melirik ke arah Lidya yang tampak menunduk terus. Ada rasa curiga yang belum mati sepenuhnya.
Lidya sendiri menatap ke arah pintu yang tertutup. Dalam dadanya, rasa sesak itu kembali muncul. Kalimat Eliza barusan seperti duri yang menekan luka lama — luka dari kejadian yang bahkan tak sanggup ia ceritakan pada siapa pun.
Kejadian di Yogyakarta itu ... bukan sesuatu yang bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Bukan sesuatu yang ia inginkan. Tapi Arjuna juga korban—ia tahu itu. Mereka berdua dijebak, dan rasa bersalah itu masih menjerat keduanya sampai sekarang.
Air matanya menetes pelan di balik senyum lemah yang ia paksakan. Ia hanya bisa berbisik dalam hati, “Maaf, Kak Eliza ... aku nggak bisa jujur. Aku nggak mau menghancurkan rumah tanggamu.”
***
Coffee Shop Rumah Sakit
Kopi espresso di depan Arjuna masih mengepul tipis, tapi ia belum menyentuhnya. Jemarinya menyentuh pinggir cangkir, tapi matanya menatap kosong ke luar jendela kaca besar yang menampilkan bayangan lampu-lampu jalan Jakarta yang basah oleh gerimis.
Kemejanya sedikit kusut, dasi longgar di leher, dan wajahnya memancarkan lelah yang bukan sekadar fisik.
Ia membuka ponselnya. Lima pesan baru dari Eliza, semuanya berisi satu nada — permintaan, kekecewaan, dan nada menyalahkan.
Satu pesan dari Mama Riri, sekadar mengabari bahwa Eliza menunggunya di kamar.
Tidak ada pesan dari Lidya, tentu saja. Dan mungkin memang sebaiknya begitu.
Arjuna mengembuskan napas panjang, lalu meneguk sedikit kopi yang mulai dingin. Rasa pahitnya menggigit lidah — sama seperti rasa bersalah yang terus menggigit dadanya.
Ia menatap refleksinya di kaca jendela. “Kamu pengecut, Jun,” gumamnya pada diri sendiri. “Kamu terlalu lembek menghadapi semuanya.”
Ia ingat wajah Lidya saat terbaring di ranjang tadi. Wajah lemah itu menghantui pikirannya. Ia tahu ia seharusnya menjaga jarak, tapi entah kenapa setiap kali melihatnya, rasa bersalah itu berubah menjadi sesuatu yang lebih rumit.
Sebuah dorongan untuk melindungi, bahkan ketika yang ia lindungi adalah sumber dari rasa bersalahnya sendiri.
Tangannya mengepal. “Aku harus berhenti.”
Ia menunduk, menatap meja yang kini basah oleh tetes embun dari cangkir. “Aku harus berhenti bersikap seperti ini. Aku suami Eliza. Aku nggak boleh terus-terusan merasa perlu menebus kesalahan itu dengan perhatian berlebihan.”
Tapi kalimat itu hanya menenangkan sesaat. Begitu matanya terpejam, bayangan malam di Yogyakarta kembali muncul — bukan dengan detail yang jelas, tapi cukup untuk membuat dadanya berdenyut nyeri.
Ia ingat rasa panik, bingung, dan tatapan Lidya yang ketakutan setelah semuanya terjadi. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan peristiwa itu. Ia tidak sepenuhnya sadar malam itu — obat di minumannya, tawa salah satu kolega yang menjerumuskannya. Tapi hasil akhirnya tetap sama: rasa bersalah yang tidak akan pernah hilang.
“Kalau saja aku lebih hati-hati,” gumamnya lirih.
Telepon di sakunya bergetar. Nama Eliza muncul di layar. Lagi.
Kali ini Arjuna tidak menekan tombol ignore. Ia menatap layar itu lama, tapi tak juga mengangkat.
Setelah beberapa detik, panggilan berhenti.
Lalu masuk pesan, “Aku masih di kamar Lidya. Malam ini kita mau nginep di sini atau pulang, Mas?”
Arjuna mengetik balasan, “Aku masih di bawah, sebentar lagi ke atas.”
Tapi ia tak menekan kirim. Jarinya berhenti di atas layar, kemudian perlahan menghapus pesan itu. Ia hanya menaruh kembali ponsel ke meja, menarik napas panjang, dan meneguk kopi habis-habisan.
Kepalanya berdenyut, tapi pikirannya justru semakin jernih — jernih dalam cara yang menakutkan. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Ia tidak bisa membiarkan rasa bersalah ini menghancurkan dua keluarga sekaligus: rumah tangganya dengan Eliza, dan hubungan darah antara Lidya dan kakaknya.
Ia harus memastikan Lidya bisa memulai hidup baru — jauh darinya, jauh dari bayangan masa lalu.
Tangannya perlahan membuka catatan di ponsel, mencatat sesuatu:
“Besok: ke bank. Siapkan transfer 2M untuk L.”
“Keterangan: kompensasi — biaya masa depan, pendidikan, kesehatan.”
Ia menatap tulisan itu lama. Dua miliar mungkin tak akan pernah cukup untuk menghapus dosa, tapi setidaknya bisa memberinya jalan keluar.
Ia ingin Lidya memiliki kesempatan untuk lepas dari bayangan dirinya.
Saat ia menutup ponsel, lampu di lobi rumah sakit mulai diredupkan. Suara hujan di luar makin keras, memukul kaca jendela bertalu-talu.
Arjuna berdiri perlahan, merapikan jasnya. Matanya gelap, tapi langkahnya mantap. Ia tahu, apa pun yang terjadi besok, ia harus menyelesaikan semuanya — meski harus menanggung luka itu sendirian.
Bersambung ... ✍️
💪😰😰😰😆
makin panas tuh hatiii 🤣🤣🤣
kamu pikir dengan smua yg kamu lakukan smua beres? tidak kaaan? justru kamu makin g bisa tenang karena g d sangka2 ucapan Lidya kebuktian, walaupun smua nya datang dengan kebetulan 🤭
semangat MOMMY GHINA, bikin Arjuna g bisa tenang dn g bisa tidur..item2 tuh d bawah mata,,biar panda ada temen nya 🤣
maka nya Juun kamu jangan sok2an smua bisa d selesaikan dengan uang..smua bisa selesai hanya dengan menjaga jarak dn menjauh,,klo udh begini..siapa yg panas cobaaa?? 🤣🤣🤣🤣
hareudaaaang !!!!!
air mana...aiiiiiirr 🤣🤣🤣
gimana Juun,,hati amaaan??? 🤣
aman dong tentu nya yaaaa,,kan Lidya cuma adik ipar...d tambah lg udh d transfer 2 M utk kehidupan Lidya k depan nya kaaan?
awas lhoo tuh hati jangan sampe mencelos ketika liat keakraban Lidya ama Farel..!!!
jangan sampe ada goresan d hati y Juun liat Lidya dn Farel pelukan,,karena Lidya kan HANYA ADIK IIIIPAR 🤭
ayoo lid semangat ketawa2 aja terus jgn melow2 berkepanjangan