"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."
Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ADOPSI
Suara ketukan lembut terdengar di pintu depan. Luna, yang sedang duduk di ruang tamu, menoleh dan sedikit terkejut. Di ambang pintu berdiri Pak Rendi dan Bu Sari, wajah mereka tersenyum hangat namun menyimpan keseriusan yang sulit disembunyikan.
Sudah dua hari ini, Luna mengurung diri di rumah. Ia tidak berangkat ke sekolah maupun pergi bekerja. Setelah merasakan dan harus diterima kenyataan pahit bahwa sang Ayah benar-benar telah tiada, kini ia beranjak dari kursi membuka pintu rumahnya dengan lebar. "Bu Sari... Pak Rendi," Sapanya dengan lirih, nyaris berbisik.
"Luna, apa kabar?" Kata Bu Sari. "Boleh, Ibu dan Bapak masuk?"
Luna mengangguk tanpa suara, langkahnya bergerak mundur, tanda mempersilahkan keduanya mulai masuk ke ruang tamu dan terduduk di kursi yang sudah tak layak dikatakan sofa. Kemudian, Luna duduk di sebrang mereka. "Ibu... Bapak, mau minum apa?"
"Tidak, Luna." Tanggap Pak Rendi cepat. "Tidak perlu repot-repot."
"Luna, kami datang ke sini karena ingin berbicara sesuatu yang penting,” Ujar Bu Sari menahan emosi agar tetap terdengar ramah.
" A-Apa Bu?"
Sejenak, Bu Sari memandang suaminya. Lalu matanya kembali tertuju pada Luna. "Kami sudah tahu kamu sejak kecil. Sejak kedua orang tuamu berjuang untuk kehidupan kamu."
Luna menelan saliva. Orangtua. Jelas, bayangan Ayah dan Ibunya kembali muncul dan membuat air matanya kembali basah setelah beberapa menit kering. Ia menelan ludah, hatinya berdebar. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara mereka menatapnya—bukan seperti orang asing, tapi seperti orang yang sungguh-sungguh peduli.
Bu Sari menarik napas dalam, "Ini bukan hal mudah untuk kamu melaluinya sendirian, Luna. Di usia kamu yang masih muda, menghadapi kehilangan dan tanggung jawab seperti ini… rasanya berat untuk ditanggung sendiri.”
Pak Rendi mengangguk. " Bapak dan Ibu tidak bisa membayangkan seperti apa kamu melalui semua itu, Luna."
Luna menunduk, jemarinya bermain-gelisah di atas kain sofa. Ia ingin berkata sesuatu, tapi kata-kata terasa macet di tenggorokannya.
"Kami ingin menjadi keluarga untukmu, Luna. Bukan untuk menggantikan, tapi untuk menemani. Agar kamu tak lagi merasa sendiri menghadapi dunia ini.” Lanjut Bu Sari. Ia beranjak lalu kini duduk di samping Luna. "Kami ingin mengadopsimu, Luna. Kami tahu ini tiba-tiba, tapi kami ingin kamu menjadi bagian dari keluarga kami. Kamu tak perlu khawatir, kami akan merawatmu, membimbingmu, dan selalu ada untukmu."
Luna terkejut oleh pernyataan itu. Matanya membulat, napasnya tersengal sebentar. Ia menatap Pak Rendi dan Bu Sari bergantian, mencoba memahami kata-kata mereka. "Mengadopsi?"
Bu Sari menarik napas panjang lagi, menatap Luna dengan mata yang penuh ketulusan. “Luna… Ibu dan Bapak tidak pernah merasakan seperti apa rasanya memiliki anak sendiri. Tapi hati kami selalu ingin memberi kasih sayang dan rumah bagi seorang anak yang membutuhkannya. Dan kami merasa… ini adalah waktu tepat untuk kamu.”
Luna terdiam, hatinya bergetar. Ia tak menyangka ada orang yang bersedia mencintainya tanpa syarat, meski mereka tak pernah mengalami menjadi orangtua sendiri. Suasana di ruang tamu terasa hangat, meski hatinya masih campur aduk antara terkejut dan haru.
Pak Rendi melangkah mendekat, menundukkan badan agar sejajar dengan Luna. “Kami tak bisa menggantikan orang tuamu yang telah tiada, Luna. Tapi kami ingin kamu tahu… kamu tidak akan pernah sendirian lagi. Kami ingin menjadi keluargamu, jika kamu mau.”
Luna menunduk, menahan air mata yang mulai menitik. Perlahan, senyum tipis muncul di wajahnya, seolah hatinya mulai menerima kemungkinan baru—sebuah keluarga yang hangat, meski berbeda dari yang ia bayangkan sebelumnya.
Namun...
Luna ragu. Matanya menatap lantai, jemarinya memainkan ujung bajunya sendiri. “Aku… aku nggak tahu, Bu, Pak,” Ucapnya pelan, suaranya bergetar. “Ini semua terlalu cepat… aku takut salah, takut nanti menyesal…"
Luna tertunduk lebih dalam lagi. Tak ada yang bisa menggantikan posisi Ayah dan Ibu, meski mereka berkata bahwa mereka hadir bukan untuk sebagai pengganti.
Bu Sari mengangguk lembut, seakan mengerti semua perasaan Luna. “Kami mengerti, Luna. Kami tidak ingin memaksamu. Keputusan ini sepenuhnya ada di tanganmu. Kami hanya ingin kamu tahu bahwa pintu kami selalu terbuka, kapan pun kau siap.”
Pak Rendi mengangguk. “Rasa ragu itu wajar, Luna. Mengambil langkah besar memang tidak mudah. Tapi kami ingin kamu tahu, tidak ada tekanan di sini. Kamu bisa berpikir, dan kami akan menunggu keputusanmu dengan sabar.”
Luna menarik napas panjang, hatinya campur aduk antara haru, takut, dan kerinduan yang tak pernah ia sadari selama ini. Ia menatap Pak Rendi dan Bu Sari, merasa ada kehangatan yang berbeda dari semua yang pernah ia rasakan. Namun, keraguan itu tetap ada.
Dengan senyum hangat yang tak pernah surut, Bu Sari dan Pak Rendi beranjak dari sofa untuk pamit. Bu Sari menatap Luna sekali lagi, matanya penuh kasih sayang. “Ingat, Luna… jangan merasa terburu-buru. Pikirkanlah semuanya dengan tenang. Pintu rumah kami selalu terbuka untukmu.”
Pak Rendi menepuk bahu Luna dengan lembut sebelum berjalan ke arah pintu. “Kami sungguh ingin yang terbaik untukmu, Luna. Kapan pun kamu siap, kami akan menunggumu dengan senang hati.”
Luna menunduk, jemarinya masih sedikit gemetar, suaranya nyaris tak terdengar saat berkata, “I… iya, Bu… Pak.”
“Kalau begitu, kami berdua pamit pulang,” Lanjut Bu Sari, menunduk sopan sambil tersenyum lembut. “Ini…” Katanya sambil menyodorkan kantung kresek berisi makanan. “Makan siang untukmu. Makanlah, Luna. Kamu pasti belum makan, kan?”
Luna menatap kantung itu sejenak, hatinya terenyuh. Ia merasa canggung, tapi sekaligus hangat oleh perhatian sederhana itu. “T… terima kasih, Bu… Pak,” Ucapnya pelan, jemarinya menerima kantung itu dengan hati-hati.
“Jangan khawatir soal makanan." Pak Rendi menambahkan. "Yang penting, kamu makan dengan baik. Kami ingin kamu kuat, Luna. Kamu harus menjaga dirimu.”
Bu Sari tersenyum lagi, menepuk lembut bahu Luna, lalu berkata, “Kami pulang ya, Nak."
Luna mengangguk pelan, menatap punggung mereka pergi dan kantung makanan yang kini digenggam di tangannya. Suasana ruang tamu kembali hening, hanya terdengar detak jam dinding dan napasnya sendiri.
Kini, hatinya campur aduk—ada rasa haru, sedikit ragu, tapi juga hangat yang perlahan meresap. Untuk pertama kalinya sejak lama, Luna merasa seolah ada harapan kecil yang menunggu di luar sana, meski ia belum tahu kapan akan siap menggapainya.
Ia kemudian menatap pintu yang baru saja tertutup, membayangkan senyum hangat Bu Sari dan Pak Rendi tadi, dan entah kenapa, hatinya terasa lebih ringan. Meski ragu, secercah kehangatan itu mulai menembus kesepian yang selama ini menyelimutinya.
****