NovelToon NovelToon
Cinta Mulia

Cinta Mulia

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Pernikahan Kilat / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Drama Kejutan

Langit Jakarta terasa berat, seperti menyembunyikan badai yang siap meledak. Sebuah mobil mewah berhenti di seberang Hotel Regent, gedung megah tempat pernikahan Dinda dan Satria digelar. Dari mobil itu, keluar Mulia Anggraeni, Ikhsan Wira Sakti, dan Kartika.

Mulia mengenakan gaun hitam sederhana, kontras dengan gemerlap pesta di seberang jalan. Wajahnya dipenuhi tekad yang dingin dan mematikan. Ikhsan, yang bahunya masih rentan, berdiri tegak di sisinya, mengenakan setelan jas gelap. Kartika, sang ibu, terlihat anggun namun matanya menyala penuh amarah.

"Kita sudah sampai, Mulia. Tidak ada kata mundur," bisik Ikhsan, menggenggam tangan Mulia erat.

"Aku tidak akan mundur, Ikhsan. Ini adalah panggung kita," balas Mulia, tatapannya terarah pada karpet merah yang dipenuhi mobil-mobil mewah.

Di dalam ballroom, suasana dipenuhi kemewahan dan tawa. Bu Hanim, dalam balutan gaun berlian yang mencolok, menyambut para tamu dengan senyum palsu yang memuakkan. Ia tampak seperti ratu, kekuasaan dan uang telah menutupi kejahatan yang ia lakukan. Pak Wibowo, suaminya, berdiri dua langkah di belakangnya, wajahnya pucat, ia benar-benar hanya menjadi pajangan—seorang pria yang telah kehilangan segalanya dan kini dipaksa memainkan peran bahagia.

****

Mulia, Ikhsan, dan Kartika berjalan melintasi lobby hotel yang mewah. Setiap langkah mereka terasa berat, menarik perhatian beberapa tamu yang mengenali mereka. Bisik-bisik segera menyebar, memicu kepanikan kecil.

Tepat saat mereka hendak mencapai gerbang ballroom, dua orang pengawal bertubuh besar yang disewa khusus oleh Bu Hanim menghadang mereka.

"Maaf, acara ini hanya untuk tamu undangan," kata salah satu pengawal dengan nada mengancam.

"Kami datang sebagai undangan," balas Kartika, suaranya dipenuhi otoritas. "Minggir."

"Ibu Kartika, Anda diizinkan masuk. Tapi untuk wanita ini," pengawal itu menunjuk Mulia dengan dagunya, "dia tidak diizinkan masuk. Ini perintah Nyonya Hanim."

"Aku adalah calon istri Ikhsan," Mulia melangkah maju. "Aku punya hak untuk—"

Belum sempat Mulia menyelesaikan kalimatnya, pengawal itu bergerak cepat. Ia mendorong Mulia dengan kekuatan brutal tepat di dada. Mulia terhuyung, ia tidak siap menerima serangan fisik. Tubuhnya ambruk, mendarat keras di lantai marmer lobi.

"Mulia!" Ikhsan berteriak marah.

Kartika menjerit. "Berani-beraninya kalian menyentuh calon menantuku!"

Ikhsan segera menerjang para pengawal, melindungi Mulia. Ia yang masih dalam pemulihan, berjuang mati-matian, bahunya terasa sakit luar biasa, tapi amarahnya lebih besar.

Mulia mencoba bangkit, lututnya berdarah, tetapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan amarah yang membakar jiwanya. Ia menatap Ikhsan yang kini berkelahi dengan dua pria besar itu.

"Hentikan! Hentikan perkelahian ini!" teriak Kartika pada manajer hotel yang mulai panik.

Perkelahian itu menarik perhatian banyak tamu di lobby dan bahkan beberapa yang baru datang. Mulia tahu, ini sudah menjadi tontonan.

****

Di dalam ballroom, Bu Hanim menerima laporan tentang kekacauan di lobby melalui earpiece rahasia. Ia mendengar Mulia jatuh, dan Ikhsan berkelahi. Seringai kejam terukir di bibirnya.

"Tepat waktu," bisik Bu Hanim kepada Dinda yang kini mendampinginya.

"Mama, mereka datang! Mereka ingin merusak pernikahanku!" Dinda berbisik panik.

"Diam! Ini adalah bagian dari rencana kita!" Bu Hanim melangkah menjauh dari Dinda. Ia segera meraih ponselnya dan menghubungi orang media yang ia bayar.

"Aku ingin kamu segera memuat berita breaking news!" perintah Bu Hanim, suaranya tenang, penuh kepalsuan. "Tulis begini: 'Wanita Gila Mulia Anggraeni Nekat Mengacau dan Menyerang Pernikahan Satria-Dinda. Diduga Tidak Terima Ditinggalkan!'"

"Cantumkan detail bahwa dia didorong jatuh karena dia menyerang duluan! Sebutkan dia dalam keadaan histeris, tidak terima Satria menikah dengan Dinda! Viralkan foto dia terjatuh itu sekarang juga!"

Bu Hanim meletakkan ponselnya, wajahnya kembali dihiasi senyum elegan. Ia menoleh ke tamu undangan terdekat dan berbisik dramatis, "Sungguh menyedihkan. Wanita itu sudah kehilangan akal sehatnya. Dia mencoba merusak hari bahagia Dinda."

Narasinya telah diciptakan. Dalam hitungan menit, berita keji itu akan menyebar, menjustifikasi kekerasan yang baru saja dialami Mulia. Mulia tidak hanya didorong jatuh, ia juga akan dihancurkan reputasinya sebagai wanita gila yang iri dan merusak.

****

Di lobby, Ikhsan berhasil mendorong mundur para pengawal. Ia segera berlutut di samping Mulia.

"Lia, kamu tidak apa-apa?" Ikhsan memeriksa lutut Mulia yang berdarah.

Mulia menggeleng, menatap pintu ballroom dengan mata menyala. Ia tidak lagi merasakan sakit fisik. Yang ia rasakan hanya amarah murni.

"Ikhsan, hentikan," kata Mulia, suaranya serak. "Jangan berkelahi lagi."

Mulia menatap Kartika. "Tante, tolong panggil polisi sekarang. Laporkan penganiayaan ini."

Mulia kemudian bangkit, meskipun kakinya gemetar. Ia tidak menghapus darah di lututnya. Ia tidak merapikan gaun hitamnya. Ia berjalan kembali ke pintu ballroom.

"Apa yang kamu lakukan, Lia?" Ikhsan mencoba menahannya.

"Aku tidak akan membiarkan dia menang, Ikhsan," Mulia menatapnya. "Aku akan masuk. Aku akan menjadi tamu yang tidak diundang, dan aku akan memberikan hadiah pernikahan yang tidak akan pernah mereka lupakan."

Ikhsan melihat tatapan Mulia. Ia tahu, saat ini Mulia bukanlah lagi korban. Ia adalah seorang pejuang yang tidak peduli pada risiko. Ikhsan mengangguk.

"Baiklah. Aku bersamamu. Kita akan masuk."

Kartika melihat mereka berdua, amarah dan kekaguman bercampur. Ia tahu, malam ini akan menjadi pertarungan akhir. Ia segera menghubungi pengacaranya dan polisi.

Mulia menendang pintu ballroom hingga terbuka. Musik dan tawa terhenti. Semua mata tertuju pada Mulia—gaun hitam, lutut berdarah, dan mata penuh api. Ia masuk, siap untuk melancarkan serangan balas dendam yang telah ia rencanakan sejak hari kematian ibunya.

****

Dentuman musik mewah dan bisik-bisik gembira seketika terhenti saat pintu ballroom didobrak terbuka. Semua mata tertuju pada Mulia Anggraeni yang berdiri di ambang pintu—gaun hitamnya kotor, lututnya berdarah, dan matanya memancarkan tekad dingin yang mematikan.

Di depan altar yang dihiasi bunga-bunga mahal, Satria dan Dinda berdiri di samping penghulu yang tampak terkejut. Satria menoleh, melihat Mulia, dan wajahnya langsung pucat, dipenuhi rasa bersalah dan khawatir.

Bu Hanim adalah orang pertama yang bereaksi. Ia melihat kehancuran di pakaian Mulia dan mengira teror yang ia ciptakan telah berhasil membuat Mulia gila. Tawa membahana dan nyaring Bu Hanim memecah keheningan, tawa yang penuh kemenangan dan kegilaan.

"Lihat! Lihat dia!" seru Bu Hanim, menunjuk Mulia dengan jari berhias berlian. "Wanita gila itu datang! Dia datang untuk merusak kebahagiaan putraku! Bawa dia keluar! Cepat!"

****

Soraya, yang berdiri di barisan depan tamu, merasakan amarahnya memuncak. Selama berminggu-minggu, Bu Hanim telah menanamkan racun di hatinya, menuduh Mulia ingin merebut Satria dan menghancurkan Menggara Group. Melihat Mulia yang berdarah dan penuh amarah, Soraya yakin Mulia adalah ancaman yang harus dimusnahkan.

"Keluar dari sini, wanita rendahan!" teriak Soraya. Ia bergegas maju, melewati barisan kursi, menuju Mulia.

"Kamu pikir kamu bisa merusak hari bahagia putraku?! Kamu pikir kamu bisa merebut perusahaanku?!" Soraya menyerang Mulia secara brutal. Ia menarik rambut Mulia dengan kuat dan menampar pipi Mulia berkali-kali.

"Aaaargh!" Mulia menjerit kesakitan, terhuyung mundur.

Satria mencoba menerobos pengawal untuk membantu, tetapi para pengawal menahannya. "Lepaskan aku! Mama! Hentikan!" teriak Satria.

Ikhsan segera maju, menarik Soraya menjauh dari Mulia. "Tante! Hentikan! Mulia tidak bersalah!"

Soraya menepis tangan Ikhsan. "Kamu! Kamu juga pengkhianat! Kalian berdua bekerja sama untuk menghancurkan kami! Mulia adalah wanita gila yang haus harta! Dia mau merebut Satria, dia mau merebut perusahaanku!"

Mulia terengah-engah, memegang rambutnya yang terasa sakit. Ia menatap Soraya, matanya yang tadi dingin kini berkaca-kaca, bukan karena sakit fisik, melainkan karena hinaan yang menyentuh inti dirinya.

"Aku tidak mau merebut apa-apa, Tante Soraya," Mulia berbisik, suaranya parau. "Aku hanya ingin kebenaran."

Bu Hanim melihat kekacauan itu dari jarak aman, tawanya semakin keras dan membahana. "Bagus, Soraya! Hajar dia! Tunjukkan siapa yang pantas berada di sini!"

Tepat saat suasana mencapai puncaknya, ketika Satria berjuang melawan pengawal dan Ikhsan menahan Soraya, Kartika melangkah maju. Langkahnya tenang, tetapi auranya menuntut perhatian.

"CUKUP!" teriak Kartika, suaranya lantang mengalahkan semua teriakan dan tangisan.

Semua mata tertuju padanya. Kartika berdiri di tengah aula, di antara Mulia yang babak belur dan Soraya yang kalap.

"Aku datang ke sini bukan untuk merusak. Aku datang untuk membongkar kebenaran," kata Kartika.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!