Langit senja berwarna jingga keemasan, perlahan memudar menjadi ungu lembut. Burung-burung kembali ke sarang, sementara kabut tipis turun dari gunung di kejauhan, menyelimuti desa kecil bernama Qinghe. Di ujung jalan berdebu, seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berjalan tertatih, memanggul seikat kayu bakar yang nyaris dua kali lebih besar dari tubuhnya.
Bajunya lusuh penuh tambalan, rambut hitamnya kusut, dan wajahnya dipenuhi keringat. Namun, di balik penampilan sederhananya, sepasang mata hitam berkilau seolah menyimpan sesuatu yang lebih besar daripada tubuh kurusnya.
“Xiao Feng! Jangan lamban, nanti api dapur padam!” teriak seorang wanita tua dari rumah reyot di pinggir desa. Suaranya serak tapi penuh kasih. Dialah Nenek Lan, satu-satunya keluarga yang tersisa bagi bocah itu.
Xiao Feng menyeringai meski peluh bercucuran.
“Ya, Nenek! Sedikit lagi! Kayu ini lebih keras kepala dari banteng gunung, tapi aku akan menaklukkannya!”
Nenek Lan hanya mendengus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 – Ujian Hati Naga
Cahaya emas yang menyelimuti ruang warisan semakin pekat, hingga Ling’er pun terpaksa mundur beberapa langkah karena panas dan tekanan yang menyesakkan. Dari pilar naga, lahir kabut tebal yang berputar membentuk dunia ilusi. Xiao Feng merasa tubuhnya ringan, lalu dalam sekejap ia tak lagi berdiri di gua, melainkan di sebuah istana megah yang menjulang menembus awan.
Dindingnya terbuat dari batu giok murni, langit-langitnya dihiasi lukisan naga terbang, dan di takhta emas yang menjulang tinggi—duduklah dirinya sendiri.
Xiao Feng terperanjat. Ia melihat dirinya dengan jubah naga, mahkota emas, dan aura dewa yang membuat semua orang berlutut di hadapannya. Ribuan prajurit bersenjata dan para tetua sekte besar membungkuk, berseru:
“Hormat kepada Dewa Naga Agung, penguasa sejati langit dan bumi!”
Dadanya bergetar. Rasa hangat membuncah di dalam hati—pujian, pengakuan, dan kekuasaan mutlak. Semua yang selama ini ia impikan: kekuatan untuk melindungi, membalas dendam, bahkan melampaui langit itu sendiri… kini berada di genggamannya.
Namun, suara samar menggema di telinganya, dingin seperti bisikan ular.
“Kekuatan ini milikmu. Dengan itu, kau bisa menguasai semua. Dunia ini lemah, mereka hanya layak menjadi budakmu. Mengapa melindungi… jika kau bisa mengendalikan?”
Wajah-wajah muncul di bawah singgasana. Ling’er tersenyum, tapi senyum itu berubah menjadi dingin, menunduk patuh. Anak-anak kecil yang tidak ia kenal berlutut, menyebutnya ayah dewa. Bahkan bayangan ibunya hadir, bersujud di bawah kakinya.
Xiao Feng terdiam.
Apakah ini yang kuinginkan? Menjadi raja mutlak… meski mereka yang kucintai hanya berlutut di bawahku, bukan berdiri di sisiku?
Suara itu semakin keras, merasuk ke dalam pikirannya.
“Kekuatan melindungi hanyalah alasan lemah. Jika kau menguasai segalanya, tak ada yang bisa menentangmu. Kau bisa memaksa dunia tunduk, dan tak seorang pun yang kau sayangi akan bisa diambil darimu.”
Xiao Feng merasakan hatinya bergetar. Apa yang dikatakan suara itu masuk akal. Betapa banyak orang yang sudah menderita karena kelemahannya? Jika ia memegang kekuasaan absolut, ia bisa memutuskan takdir orang lain.
Namun tiba-tiba, bayangan Ling’er muncul jelas di hadapannya—bukan yang bersujud, melainkan Ling’er yang nyata, dengan mata yang penuh air mata dan senyum hangat.
“Xiao Feng… aku tidak ingin hidup dalam dunia di mana kau menjadi penguasa tapi kehilangan dirimu sendiri. Aku hanya ingin kau tetap menjadi dirimu—bocah keras kepala yang selalu berusaha bangkit meski jatuh berkali-kali.”
Dadanya bergetar keras. Air mata hampir jatuh dari sudut matanya.
Istana megah itu bergetar. Dua bayangan dirinya muncul, saling berhadapan.
Yang pertama: Xiao Feng Agung, berjubah naga emas, bermata tajam penuh ambisi.
Yang kedua: Xiao Feng biasa, dengan luka di tubuhnya, namun sorot mata penuh keteguhan.
Bayangan agung itu mencibir.
“Kau benar-benar bodoh. Dengan kekuatan ini, kau bisa membalas semua penghinaan. Kau bisa memerintah sekte, kerajaan, bahkan para dewa. Tapi kau memilih jalan lemah?”
Xiao Feng biasa menjawab dengan tenang meski tubuhnya gemetar.
“Kekuatan tanpa hati hanya akan melahirkan tirani. Aku ingin menjadi kuat, ya. Tapi bukan untuk menginjak dunia. Aku ingin melindungi, agar tak ada yang merasakan kehilangan seperti aku.”
Kedua bayangan saling menatap, lalu dalam sekejap pedang muncul di tangan mereka. Pertarungan dimulai.
Xiao Feng agung menyerang dengan pedang naga raksasa, setiap tebasannya mampu menghancurkan istana ilusi. Xiao Feng biasa hanya bertahan dengan pedang sederhana, tangannya berdarah, tubuhnya koyak. Namun setiap kali jatuh, ia bangkit lagi.
“Kenapa kau bangkit lagi? Kau tidak bisa menang melawan ambisi sendiri!” teriak bayangan agung.
Dengan napas terengah, Xiao Feng biasa berteriak balik, “Karena aku tidak sendirian! Ada Ling’er, ada orang-orang yang percaya padaku. Aku tidak butuh dunia sujud di kakiku. Aku hanya butuh mereka tetap tersenyum di sisiku!”
Dengan teriakan itu, pedang sederhana di tangannya bersinar, memancarkan cahaya naga yang lebih murni. Ia menebas bayangan agung, yang menjerit sebelum hancur menjadi abu.
Istana ilusi runtuh, dan Xiao Feng kembali ke gua warisan. Tubuhnya berlumur peluh, tapi sorot matanya jernih.
Patung naga di pilar bersinar terang, dan suara dalam bergema:
“Pewaris telah lulus. Hatimu tidak goyah oleh ambisi, meski kau digoda oleh kekuasaan. Engkau layak menerima warisan naga.”
Dari patung itu, cahaya naga menyembur, masuk ke tubuh Xiao Feng. Rasa sakit luar biasa melanda, tapi kali ini tubuhnya sudah ditempa oleh ujian pertama dan kedua. Ia menahan teriakan, membiarkan energi naga mengalir ke dalam dantian, memperluas jalur meridian, memperkuat tulang dan darahnya.
Ling’er berlari menghampiri, menahan tubuhnya dari jatuh. “Xiao Feng! Kau baik-baik saja?!”
Dengan napas berat, Xiao Feng tersenyum. “Aku… berhasil. Aku merasa… lebih kuat dari sebelumnya.”
Di dadanya, giok naga berubah bentuk, kini tampak seperti sisik naga yang berkilau. Dari dalam, terdengar raungan naga kuno—bukan lagi ilusi, melainkan bagian dari kekuatannya.
Setelah energi itu tenang, Xiao Feng berdiri dengan tubuh yang lebih tegap, aura spiritualnya meluap hingga membuat Ling’er mundur beberapa langkah.
Patung naga perlahan retak, lalu runtuh menjadi debu, meninggalkan kalimat terakhir di udara:
“Warisan telah diberikan. Tapi ingatlah, pewaris naga bukanlah penguasa dunia… melainkan penjaga keseimbangannya. Jika hatimu goyah, kau akan menjadi naga iblis, bencana bagi semua.”
Xiao Feng menunduk dalam, lalu berbisik lirih, “Aku akan ingat.”
Ling’er memandangnya dengan campuran kagum dan takut. “Kau… kau bukan lagi Xiao Feng yang dulu. Aura tubuhmu… benar-benar seperti naga.”
Xiao Feng tersenyum kecil, meski matanya serius. “Tapi hatiku tetap sama. Aku masih Xiao Feng… dan aku berjanji tidak akan meninggalkanmu.”
Ling’er terdiam, lalu tersenyum tipis dengan mata berkaca-kaca. “Bodoh… jangan bicara seperti itu, atau aku benar-benar akan menangis.”
Mereka berdua berdiri di tengah gua, cahaya kristal di sekeliling meredup, menyisakan keheningan sakral. Namun jauh di luar, dunia sudah bergetar dengan kabar tentang kebangkitan seorang pewaris naga.
Dan sekte Naga Merah… tentu tidak akan diam.