Aliya harus menelan pil pahit saat tunangannya ingin membatalkan pernikahan lalu menikahi Lisa yang tak lain adalah adik kandung Aliya sendiri. Demi mengobati rasa sedih dan kecewa, Aliya memutuskan merantau ke Kota, namun siapa sangka dirinya malah terjerat dengan pernikahan kontrak dengan suami majikannya sendiri. “Lahirkan anak untuk suamiku, setelahnya kamu bebas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shann29, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21-Pagi yang Penuh Kehangatan
Satu bulan berlalu dari semenjak Aliya menunaikan kewajibannya pada Angkasa. Dan selama satu bulan itu juga Tania tidak berani mengusiknya kembali. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis kamar utama rumah Angkasa, menari-nari di lantai marmer mengkilap. Suasana begitu tenang, hanya terdengar de-sahan lembut dari napas Angkasa yang telah terbangun lebih dulu. Ia memiringkan tubuhnya perlahan, matanya tak lepas menatap wajah Aliya yang masih terlelap di sisi ranjang. Bibirnya melengkung tipis, sebuah senyum yang jarang terlihat di wajah tegasnya.
Hembusan nafas Angkasa seakan tak sengaja menyapu pipi Aliya, membuat gadis itu sedikit terbangun. Mata Aliya terbuka perlahan, menatap Angkasa dengan pandangan setengah mengantuk. Rambutnya yang sedikit berantakan jatuh menutupi wajahnya, menambah kesan polos yang selalu berhasil menenangkan hati Angkasa.
“Mas,” suara Aliya terdengar serak, khas suara pagi yang belum sepenuhnya bangun. Ada rasa kaku dan malu, namun terdengar jelas nada lembut di dalamnya.
“Tidurmu nyenyak?” tanya Angkasa, matanya masih menempel pada wajah Aliya. Ada ketegangan halus, tapi juga kelembutan yang tak biasa ia tunjukkan.
Aliya mengangguk, meski hatinya mulai bergejolak. “Kamu… kenapa terus melihatku seperti itu? Sejak kapan kamu melihatku seperti itu?” Suaranya bergetar sedikit, menahan sesuatu yang tak bisa diungkapkan.
Angkasa hanya tersenyum ambigu. “Entah saja kapan,” jawabnya pendek, membuat Aliya hanya bisa membeku. Mereka diam, saling menatap, hingga waktu seolah berhenti di antara mereka.
Dan kemudian, sebuah kata yang tidak pernah ia ucapkan kepada siapapun, termasuk Tania, akhirnya keluar dari bibir Angkasa.
“I love you, Al.”
Aliya membeku. Lidahnya kelu. Ia ingin menjawab, ingin membalas kata itu, tapi ada sesuatu yang menahannya. Ingatannya kembali ke masa-masa awal datang ke rumah ini: sebagai istri kontrak, istri yang sewaktu-waktu harus pergi jika permintaan Tania sudah terpenuhi—mengandung dan melahirkan anak untuk suaminya.
Meskipun Angkasa sudah berulang kali menegaskan bahwa pernikahan mereka sah secara hukum dan tidak akan berakhir, Aliya tetap menahan diri. Surat kontrak yang telah disahkan di notaris masih membuatnya waspada. Aliya tidak ingin terlalu cepat menyerah pada perasaan yang mungkin akan menimbulkan luka di hatinya, seperti yang pernah ia alami.
Cinta, bagi Aliya, adalah sesuatu yang dulu mengkhianati dirinya. Mantan tunangannya menikahi adik kandung Aliya sendiri, meninggalkannya hancur. Kini, ia menolak jatuh ke lubang yang sama. Meskipun hatinya mulai terasa hangat oleh kehadiran Angkasa, Aliya tetap berusaha menahan diri, berpikir bahwa waktu akan menunjukkan jalan.
“Mas, ayo bangun. Kamu harus bekerja,” ujar Aliya, suaranya lembut namun tegas, berusaha mengalihkan pembicaraan dari pengakuan mengejutkan Angkasa. Ada rasa kecewa halus di matanya, karena ungkapan cinta itu tak ia balas, tapi ia memilih untuk menyembunyikannya.
Angkasa menelan kecewa itu, mencoba memahami ketakutan dan pembentengan hati Aliya. Ia hanya mengangguk. “Hari ini aku ada rapat pagi,” katanya.
Aliya tersenyum tipis, mencoba menenangkan hatinya sendiri. “Kalau begitu, ayo bangun dan bersiap.”
Namun sebelum Aliya sempat meninggalkan ranjang, Angkasa mengajukan pertanyaan yang membuat hati Aliya bergetar, tapi juga menenangkan.
“Ada yang ingin aku tanyakan padamu,” ucapnya.
“Apa itu, Mas?” Aliya menoleh, mata masih setengah mengantuk.
“Selama tinggal di sini, apa kamu merasa bosan?” Tanya Angkasa. Matanya menatap Aliya dengan serius, seakan ingin memahami lebih dalam isi hatinya, bukan sekadar mengawasi sebagai suami atau majikan.
Aliya terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kadang aku merasa bosan, kadang ingin sekali ikut Bi Mar ke supermarket atau melihat pelayan lain pergi ke pasar. Rasanya… aku ingin merasakan hal-hal sederhana yang lain, Mas,” jawabnya jujur, suaranya lembut namun penuh makna.
Angkasa menatapnya lama. Ada kekaguman di matanya. Ia mengambil sesuatu dari laci nakas di samping ranjang dan menyerahkannya pada Aliya. “Ambil ini,” katanya.
Aliya ragu, menatap benda di tangannya. “Ini apa, Mas?”
Angkasa tersenyum tipis. “Hari ini, belanjalah. Ajak Bi Mar untuk menemanimu. Belilah pakaian, tas, sepatu, kosmetik, bahkan perhiasan yang kamu mau.” Nada suaranya sedikit keras di bagian akhir, memberi tekanan agar Aliya mau menerima.
Aliya buru-buru mengembalikan kartu itu pada Angkasa. “Tidak, Mas. Aku… aku hanya ingin ikut Bi Mar ke supermarket, tidak ingin belanja. Baju yang Bi Mar belikan juga masih bagus dan ada beberapa yang belum aku pakai.”
Angkasa mengerutkan alisnya, tapi senyum tipisnya tak hilang. Ia merasa kagum pada istri keduanya itu, yang tidak meterialistis, yang tidak mudah tergoda oleh uang dan kemewahan.
“Ambil, aku akan marah jika kamu tidak belanja kebutuhanmu hari ini,” kata Angkasa tegas. Aliya akhirnya menerima kartu itu dengan ragu. Angkasa menatapnya penuh kelembutan dan menyingkirkan sedikit rambut Aliya, mengusap puncak kepalanya, lalu mendekat dan menindihnya dengan tubuhnya.
“Aku ingin lagi, Sayang,” ucap Angkasa dengan nada rendah, hasratnya kembali naik setelah beberapa jam menahan diri.
Aliya, meskipun ragu sejenak, melingkarkan kedua tangannya di leher Angkasa. Ia tidak menolak, bahkan merasa… nyaman. Ada getaran aneh yang membuatnya terhubung dengan Angkasa, meski hati dan pikirannya masih penuh pertahanan.
Sementara itu, di perusahaan, Vino, asisten Angkasa, terus mencoba menghubungi majikannya. Teleponnya berdering tanpa jawaban. Vino memiliki kabar penting—kabar yang bisa mengguncang rumah tangga Angkasa jika tidak segera diberitahukan. Kedua orang tua Angkasa, Mommy Zivana dan Daddy Samudra, akan segera kembali ke Jakarta dari Belanda. Vino khawatir jika kedatangan mereka bersamaan dengan Aliya yang sedang berada di rumah Angkasa, posisi Aliya bisa terbongkar, dan hal itu akan menjadi masalah baru bagi Angkasa.
Di kamar, Angkasa dan Aliya mulai larut dalam keintiman pagi itu. Sentuhan demi sentuhan, ciuman demi ciuman, membuat waktu seakan berhenti. Angkasa perlahan menurunkan tangannya ke punggung Aliya, merasakan kehangatan tubuhnya, menghirup aroma lembut yang membuatnya semakin tergila-gila. Aliya, meskipun masih ragu, membiarkan dirinya mengikuti alur Angkasa, merasakan kehangatan dan perhatian yang selama ini jarang ia rasakan dari pria manapun.
Setiap gerakan, setiap tatapan, penuh kehati-hatian. Angkasa bukanlah pria kejam; ia ingin mengajari Aliya bagaimana cinta bisa menjadi hal yang hangat dan bukan sekadar kewajiban kontrak. Sementara Aliya, meski hatinya masih membentengi diri, mulai menyadari bahwa ada rasa aman yang unik di pelukan Angkasa. Ada perasaan yang selama ini ia rindukan—perhatian, kelembutan, tapi juga dominasi yang membuatnya merasa diinginkan.
Setelah beberapa saat, mereka akhirnya berhenti sejenak, saling menatap satu sama lain. Aliya menunduk, malu dan bingung, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk. Angkasa tersenyum tipis, menahan gelora yang masih menggebu. Ia tahu, tidak ada yang perlu terburu-buru. Mereka memiliki waktu, dan perlahan, cinta akan menemukan jalannya, meski dibalut kontrak dan kewajiban yang tak biasa.
Sementara itu, masih di perusahaan Vino masih menunggu dengan cemas, siap memberikan kabar jika Angkasa memutuskan untuk mendengar. Hari itu akan menjadi hari yang panjang, bukan hanya untuk belanja, tapi juga untuk hati, perasaan, dan masa depan yang perlahan mulai berubah bagi Aliya dan Angkasa.
Pagi itu berakhir dengan kesadaran baru: bahwa meski hubungan mereka dimulai dari kontrak, ada benih yang tak bisa diabaikan—cinta, perhatian, dan keinginan untuk saling memiliki, yang diam-diam tumbuh di antara mereka.
jangan lengah,ntar kejadian lagi Aliya hilang
gak jauh jauh dari semesta kan kk Thor 😆...
udah 4 bulan ya dad 🤣🤣🤣