NovelToon NovelToon
JAGAT ROBOHERO INDONESIA

JAGAT ROBOHERO INDONESIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Balas Dendam
Popularitas:432
Nilai: 5
Nama Author: morro games

Di tengah reruntuhan kota Jakarta yang hancur, seorang pria tua berlari terengah. Rambutnya memutih, janggut tak terurus, tapi wajahnya jelas—masih menyisakan garis masa muda yang tegas. Dia adalah Jagat. Bukan Jagat yang berusia 17 tahun, melainkan dirinya di masa depan.

Ledakan menggelegar di belakangnya, api menjilat langit malam. Suara teriakan manusia bercampur dengan derap mesin raksasa milik bangsa alien. Mereka, penguasa dari bintang jauh, telah menguasai bumi dua puluh tahun terakhir. Jagat tua bukan lagi pahlawan, melainkan budak. Dipaksa jadi otak di balik mesin perang alien, dipaksa menyerahkan kejeniusannya.

Tapi malam itu, dia melawan.

Di tangannya, sebuah flashdisk kristal berpendar. Tidak terlihat istimewa, tapi di dalamnya terkandung segalanya—pengetahuan, teknologi, dan sebuah AI bernama Nova.

Jagat tua menatap kamera hologram di depannya. Wajahnya penuh debu dan darah, tapi matanya berkilat. “Jagat… kalau kau mendengar ini, berarti aku berhasil. Aku adalah dirimu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon morro games, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan di Balik Cahaya

Suara kipas pendingin di ruang bawah tanah BIN berputar berat, bercampur aroma logam dan kopi dingin.

Damar Prasetyo menatap peta hologram di tengah ruangan — warna biru, merah, dan hijau berkedip-kedip, seperti denyut nadi negara yang sedang demam.

“Sinyal pengintaian baru dari arah Natuna dan Batam,”

kata salah satu analis muda sambil menahan napas.

“Drone tanpa tanda kebangsaan. Sinyal satelit berpindah-pindah.”

Damar merapatkan jas abu-abunya.

“Amerika atau Cina?”

“Keduanya, Pak. Dua-duanya aktif.”

Sunyi sejenak. Hanya bunyi “beep” dari radar yang memantul di dinding.

Ayunda berdiri di sisi kanan layar, helm digitalnya dipegang di dada.

“Tim Angsa Emas sudah siaga di lapangan, Pak.

Jagat dan keluarganya masih dalam pemantauan normal.”

Damar mengangguk perlahan.

“Normal, ya… sampai dunia memutuskan siapa yang lebih dulu menekan tombol gila.”

Di tempat lain — atap gedung Arka One yang kini tersembunyi di langit Jakarta —

Nova menampilkan proyeksi cuaca, radar, dan sinyal komunikasi militer.

Jagat duduk di kursi pilot, belum sepenuhnya percaya dengan apa yang ia lihat:

ratusan titik digital beterbangan di udara, seperti kawanan lebah yang mencari sarang.

“Nova, itu semua drone?”

“Sebagian. Sebagian lagi hanya pantulan sinyal.

Tapi dua puluh di antaranya… nyata. Mereka mendekat.”

Celine muncul di sisi kanan layar, nada suaranya tenang tapi tegas:

“Kita tidak bisa menyerang, Jagat.

Kita hanya bisa bersembunyi dan mengamati — sesuai perintah negara.”

Jagat memandang keluar jendela pesawat, melihat kota yang masih sibuk,

mobil-mobil kecil seperti semut di jalan, gedung-gedung berkilau di bawah cahaya pagi.

Semua tampak biasa. Tapi ia tahu, dari balik langit itu, dunia sedang memata-matinya.

Di sisi lain, Beijing, di markas besar MSS.

Li Meiyun duduk di ruangan yang nyaris gelap.

Wajahnya diterangi monitor besar yang menampilkan gambar Jagat dalam berbagai sudut: di kampus, di rumah, bahkan saat tersenyum di kantin.

“Target stabil,” lapor seorang analis.

“Tidak menunjukkan tanda-tanda aktivasi sistem.”

Meiyun menggigit bibirnya.

“Kalau dia bukan ancaman, kenapa dunia memperlakukannya seperti bom waktu?”

Dari layar hologram muncul sosok Direktur Zhihao, wajahnya datar seperti batu.

“Karena masa depan manusia bergantung pada otak anak itu.

Kita tidak boleh kalah cepat dari Amerika.”

“Dan kalau mereka lebih dulu menyerang?” tanya Meiyun pelan.

“Kita pastikan Jagat tetap hidup —

walau harus menghancurkan separuh Jakarta untuk melindunginya.”

Sementara itu, di Langley, markas CIA.

Allen Cross berdiri di depan dinding besar penuh peta digital Asia Tenggara.

Lampu ruangan berkedip pelan, menandakan mode rahasia aktif.

“Indonesia mulai membentengi anak itu,” katanya.

“BIN dan TNI sudah menyebar lapisan pengamanan.

Kalau kita mau, harus cepat, harus diam.”

Seorang agen senior menimpali:

“MSS juga di sana. Mereka kirim Li Meiyun. Anak perempuan Profesor Lei.”

Cross tersenyum kecil.

“Ah… hubungan lama dua ilmuwan gila. Baskara dan Lei.

Dunia memang lucu, ya? Teknologi yang mereka buat bisa menyelamatkan manusia…

atau menghapusnya.”

Ia menekan tombol di meja.

Layar berubah menampilkan wajah Jagat, masih muda, masih polos,

dengan data biometrik dan laporan medan yang disusun rapi.

“Operasi Shadow Net dimulai.

Tangkap hidup-hidup.

Dunia tak perlu tahu siapa yang memegang senjatanya.”

Kembali ke Jakarta, pagi itu langit tampak bersih.

Jagat menatap cermin kecil di kabin Arka, wajahnya lelah tapi matanya tajam.

“Nova, berapa lama dunia bisa menahan ketegangan ini?”

Nova menjawab singkat:

“Selama manusia masih butuh alasan untuk takut.”

Jagat menghela napas.

Ia menatap foto kecil ayahnya, Profesor Baskara, yang menempel di panel kokpit.

“Ayah, apa ini yang kau maksud dengan ‘melindungi masa depan’?

Kalau benar begitu, kenapa masa depan terasa seperti perang?”

Celine menimpali lembut:

“Karena untuk melindungi sesuatu, terkadang kita harus siap kehilangan.”

Di luar, matahari mulai naik.

Tapi di balik cahaya itu, bayangan sudah bergerak.

Langit Jakarta siang itu tampak biasa—awan putih, suara motor, klakson bersahutan—tapi di udara, ada yang lain.

Sinyal.

Bising elektromagnetik.

Nova menampilkan overlay di helm Jagat:

> “Lima sumber sinyal asing aktif dalam radius dua kilometer. Empat pasif, satu… bergerak cepat.”

Jagat menatap peta hologram, melihat garis merah menuju ke kampusnya.

> “Kampus lagi? Apa mereka pikir aku masih di sana?”

“Mereka pikir kau masih mahasiswa biasa,” sahut Celine. “Dan itu keuntungan kecil yang masih kita punya.”

---

Rapat Rahasia di Istana

Ruang rapat bawah Istana Negara sunyi. Lampu-lampu kuning temaram menyorot meja oval besar.

Presiden Bowo Subianto duduk di ujung, wajahnya tegang. Di kiri-kanannya ada Menhan Prasetyo, Kepala BIN Damar Prasetyo, Kepala Polri Jendral Herman, dan perwira-perwira tinggi dari TNI AD, AL, AU.

> “Saya ingin laporan jelas,” suara Presiden berat, “seberapa serius ancaman terhadap anak itu?”

Damar menjawab tanpa menatap catatan, suaranya dingin.

> “Sangat serius, Pak. CIA dan MSS sudah aktif. Bara Hitam menjadi perpanjangan tangan mereka di lapangan. Targetnya: penculikan, bukan pembunuhan.”

Menhan Prasetyo menimpali:

> “Kalau sampai mereka berhasil, bukan hanya anak itu yang hilang, tapi seluruh prototipe teknologi yang bisa mengubah keseimbangan militer dunia.”

Presiden menatap layar besar di depan—menampilkan potongan video dari pelabuhan beberapa hari lalu. Ledakan. Cahaya. Siluet armor Jagat.

> “Saya sudah melihat rekaman itu. Ia lebih dari sekadar anak jenius. Ia senjata.”

Keheningan menebal. Lalu Presiden menambahkan, suaranya lirih tapi tajam:

> “Kita lindungi dia… tapi jangan biarkan dia tahu kita melindunginya. Kalau dia sadar, dunia ikut sadar.”

---

Lapangan Operasi

Di markas taktis Tim Angsa Emas, layar-layar berisi citra drone bergetar.

Ayunda memberi instruksi cepat:

> “Tim Elang di jalur barat, Tim Induk jaga rumah keluarga Baskara. Jagat tetap status ‘bebas’ untuk menjaga kamuflase.”

Seorang agen muda menatap layar cemas.

> “Tapi sinyal CIA sudah bergerak ke selatan, Bu. Kalau mereka ubah arah—”

> “Kalau mereka ubah arah, kita ubah strategi. Tapi jangan buat keributan.

Dunia tidak boleh tahu kalau negara ini sedang berperang diam-diam.”

Di luar markas, angin membawa debu panas dari jalan.

Mobil taktis hitam berhenti di depan rumah kontrakan sederhana—rumah keluarga Baskara.

Empat agen turun, berpakaian sipil. Dua perempuan, dua laki-laki. Senjata disembunyikan di jaket.

> “Ibu Ratna?” sapa salah satu dengan sopan.

“Kami dari instansi pemerintah, cuma mau memastikan keamanan, Bu.”

Ibu Ratna bingung tapi mengangguk.

> “Ada apa ya, Mas?”

“Cuma pengecekan biasa. Banyak kejadian akhir-akhir ini. Ibu dan Nadia tolong tetap di rumah. Kalau dengar apa pun yang aneh, segera masuk ke kamar dan kunci pintu.”

Mereka tersenyum, tapi mata mereka tajam, terus menatap gang seolah tahu bahaya sedang merayap.

Sementara itu, di sebuah gudang bekas di pinggiran Tangerang,

lima belas orang berkumpul di sekitar meja besi besar.

Di tengahnya, tiga monitor menampilkan wajah Jagat, rumahnya, dan denah kampus.

Bara Hitam, berambut cepak dan tatonya menjalar sampai leher, menatap peta itu sambil memukul meja.

“Besok subuh, tiga tim bergerak. Alpha tangkap anaknya, Beta amankan keluarga, Gamma tahan aparat.”

Salah satu orang dengan logat Amerika menambahkan lewat sambungan video:

“Dan ingat, tangkap hidup-hidup. Kepala kami di Washington mau otaknya, bukan abunya.”

Bara Hitam tertawa kecil.

“Tenang aja, Mr. Cross. Kami cuma jual barang, bukan bakar gudang.”

Dari layar lain, suara berat berlogat Mandarin masuk:

“Kau yakin bisa menangani tanpa membuat kekacauan?”

“Kalau udah duitnya sebanyak ini, Pak Lei, bahkan kekacauan pun bisa dijual,” jawab Bara Hitam sambil menyeringai.

Nova menampilkan rekaman satelit baru. Titik-titik merah muncul di jalur selatan Jakarta.

“Jagat, pergerakan bersenjata terdeteksi. Rute mereka menuju area permukiman.”

Jagat menatap tajam.

“Itu ke arah rumah, Nova?”

“Probabilitas 94 persen.”

Celine menambahkan cepat:

“Koordinasi TNI masih dalam perjalanan. Komunikasi dengan tim Angsa terganggu.”

“Sial!” Jagat berdiri, tubuhnya kaku.

“Mereka datang lebih cepat dari yang kuduga.”

“Apa perintahmu, Jagat?” suara Nova datar tapi bergetar sedikit.

Jagat menatap ke arah bawah, ke lampu-lampu kota yang mulai redup menjelang sore.

Tangannya mengepal.

“Turunkan aku. Aktifkan protokol mobilisasi darurat. Aku gak akan biarin mereka menyentuh keluargaku.”

Nova menjawab cepat, nyaris seperti bisikan:

“Memahami. Mode Robohero standby.”

Langit Jakarta berwarna oranye keemasan ketika Arka One membuka panel bawahnya secara diam-diam.

Satu kapsul hitam meluncur keluar, menembus awan, jatuh tanpa suara.

Di dalamnya, Jagat memejamkan mata—menyatu dengan getaran mesin dan napasnya sendiri.

Langit sore di atas Jakarta seperti bara yang menahan napas.

Di layar radar BIN, peta digital menjerit—sinyal merah menumpuk di titik selatan. Komunikasi silang antara tim Angsa, Brimob, dan TNI tumpang tindih.

Suara letupan samar terdengar dari kanal frekuensi militer.

“Pak, laporan dari tim Angsa Induk,” kata operator cepat. “Mereka dihadang, permintaan bantuan sudah tiga kali!”

Komandan Damar memukul meja. “Apa kata Brimob?”

“Brimob menjawab negatif, Pak! Mereka juga kena penyergapan di jalur barat!”

“Damn!” Damar menatap layar. “Kita bukan sedang diintai lagi, kita sedang diserang.”

Jalur bypass menuju Jagakarsa dipenuhi debu.

Konvoi TNI yang membawa dua truk logistik dan satu kendaraan lapis baja baru menempuh lima kilometer ketika tiba-tiba peluru RPG menghantam bagian depan.

Ledakan membelah jalan—api menari di udara, logam berterbangan.

“Kontak visual musuh! Posisi sebelah kanan jalan! Bertahan, bertahan!”

Komandan militer berteriak lewat radio.

Prajurit berhamburan, sebagian merayap ke posisi lindung di balik truk yang terbakar.

Udara berbau mesiu dan tanah hangus.

Telinga berdenging oleh gelombang kejut.

“Sial, ini bukan serangan acak!”

“Pak, mereka pakai armor tempur, model tak dikenal!”

Sementara itu, di frekuensi berbeda, suara kasar terdengar—tim Brimob yang mencoba bergerak ke arah tim Angsa.

“Alpha 3 ke Bravo, negatif! Kami disergap di simpang Lebak Bulus! RPG menghantam truk depan, formasi pecah!”

“Bertahan sebisanya, Angsa Induk! Kami tidak bisa maju!”

Statik radio menyambung seperti napas putus.

Damar menggertakkan gigi, wajahnya gelap. “Ini bukan operasi biasa… ini blokade global.”

Di langit, Nova menampilkan feed satelit.

Jagat sudah mengenakan armor Robohero 1.1, sistem switch modul tank aktif penuh.

HUD-nya berpendar biru tua, menyorot jalur rumahnya yang kini berubah menjadi zona perang kecil.

Celine berbicara pelan di saluran neural.

“Jagat, TNI dan Brimob dalam tekanan. Bara Hitam menahan jalur masuk. Kau tidak akan dapat bantuan cepat.”

Jagat menarik napas panjang. “Aku tidak butuh bantuan cepat. Aku butuh mereka bertahan.”

Sinar matahari sore memantul di pelat bajanya.

Angin menampar tubuhnya yang kini setengah manusia setengah mesin.

“Nova, buka jalur komando langsung dengan tim Angsa.”

Suara Nova tenang, tapi ada getaran frekuensi rendah di balik nada datarnya.

“Sambungan aktif.”

Radio Jagat menyala.

Suara perempuan dari bawah terdengar berat, penuh kepanikan tapi masih disiplin.

“Robohero, kami bertahan di rumah Baskara! Jalur utama macet total! Kami diserang dari dua arah!”

Jagat memandang ke horizon. Asap tipis membumbung dari kejauhan—dari arah rumahnya.

“Bertahan sebisanya. Aku datang.”

Di sisi lain kota, Bara Hitam menatap layar tablet besar di atas kap mobilnya.

Di layar itu, peta Jakarta Selatan berwarna merah.

“Kita punya lima menit sebelum militer regroup,” katanya ke radio.

“Tim Alpha, tahan dia kalau datang. Kalian tahu siapa target kita. Jangan bunuh.”

Seorang pria tinggi di balik armor hitam menjawab dingin,

“Kalau dia datang dengan armor itu, kita bunuh yang lain.”

Bara Hitam tertawa kecil. “Kau gila.”

“Tidak. Aku hanya prajurit bayangan.”

Di udara, Arka One melintas rendah tanpa suara.

Gelombang kejutnya memecah awan, membuat langit oranye seperti terbakar.

Jagat meluncur turun dari kapsul gravitik, tubuhnya berputar di udara seperti meteor.

Armor tank menyala—peningkatan kekuatan 210%, lapisan pelindung aktif.

Saat ia menembus udara, sensor menangkap puluhan sinyal panas dari bawah.

Nova memperingatkan cepat.

“Target musuh dalam radius 300 meter. Robot 1.0 Hybrid, sistem berbasis militer lama. Energi output: tinggi.”

“Baiklah…” Jagat merapatkan tinjunya.

“Kita mulai.”

Ia mendarat keras di jalan, menciptakan gelombang kejut kecil.

Tanah terangkat, debu beterbangan.

Dari ujung jalan, tiga unit armor besar Bara Hitam muncul, langkah mereka berat, matanya menyala merah.

Satu di antaranya lebih besar, lambang Alpha di bahu kirinya — pemimpin tim.

Armor Jagat bergetar, core energi aktif penuh.

Suara mesin bergema seperti auman raksasa.

“Aku sudah muak jadi target.”

Ia maju, setiap langkah menimbulkan gema besi.

Armor 1.0 Hybrid mengangkat senjata plasma, menembak lurus.

Ledakan cahaya menyambar, tapi Jagat meluncur ke samping—gerakannya cepat dan presisi.

Serangan balasan: tinju energi.

Boom!

Armor musuh terpental menembus tembok toko.

Dua unit lain menyerang bersamaan, tubuh Jagat ditabrak keras ke dinding.

Besi retak, jalanan bergetar.

Nova memperingatkan, “Kerusakan pelindung 12%.”

“Tak masalah.”

Jagat meraih kepala armor lawan, memutar paksa, suara logam berderit—clank!

Unit itu roboh, asap keluar dari helmnya.

Tersisa satu—Alpha.

Robo 1.0 Hybrid Alpha maju perlahan, langkahnya berat tapi stabil.

Tubuhnya lebih besar dari Jagat, nyaris dua kali lipat.

Lampu merah di matanya menyala seperti bara neraka.

“Mereka menyebutmu Robohero?” suara dari dalam armor berat dan bergaung.

“Kau hanya bocah dengan mainan mahal.”

Jagat tak menjawab. Ia menurunkan tubuh, mengaktifkan Switch Tank sepenuhnya.

Sayap mekanis di punggung membuka, serpihan baja menutup seluruh tubuh seperti sisik naga.

Energi plasma biru membentuk pola di dada, membara.

Langkah-langkah mereka bergetar di tanah, udara jadi berat.

Kedua armor itu saling menatap, dua simbol dunia baru yang saling menolak.

Alpha melepaskan serangan pertama—tebasan plasma, cepat dan kuat.

Jagat menangkis dengan lengan kirinya, percikan api berhamburan, dan berbalik dengan tinju kanan yang menghantam perut musuh.

Ledakan energi terdengar seperti petir pecah di siang bolong.

Armor musuh terhuyung, tapi bertahan.

Ia menubruk balik, menabrak Jagat hingga terguling.

Asap, debu, suara besi saling bergesekan.

Nova bersuara, cepat dan stabil.

“Jagat, tekanan darah meningkat, sistem stabil 84%.”

“Naikkan jadi 100.”

“Peringatan: batas manusiawi terlampaui.”

“Aku bukan cuma manusia.”

Jagat melompat ke udara, plasma biru memancar dari sepatu armornya.

Ia berputar, menghantam lawan dari atas.

Boom!

Ledakan energi menggetarkan seluruh blok perumahan.

Alpha terpental, menabrak kendaraan lapis baja.

Jagat mendarat keras, lututnya menancap di aspal.

“Aku bukan senjata, tapi kau paksa aku jadi.”

Ia berlari lagi—cepat, nyaris seperti kilat—dan menghantam helm musuh hingga pecah separuh.

Sparks meledak, kilau biru memenuhi udara.

Unit 1.0 Hybrid Alpha bergetar, lalu ambruk.

Jagat berdiri, napasnya berat. Armor-nya berasap, pelat dadanya retak tapi masih menyala.

Langit di atasnya berubah gelap, awan berkumpul.

Nova berbicara pelan di telinganya.

“Ancaman utama netral. Tapi… sinyal dari rumah masih aktif. Mereka belum aman.”

Jagat mendongak, matanya memantulkan cahaya biru pekat.

“Tahan, Bu… Nadia… aku datang.”

Ia mengaktifkan sayap kecil di punggung, jet menyala, dan tubuhnya melesat ke langit.

Udara pecah di belakangnya, meninggalkan jejak biru terang di cakrawala Jakarta.

Dunia belum tahu, pahlawan mereka baru saja lahir dari api dan darah.

1
Aanirji R.
Lanjutin si jagat
TeguhVerse: makasih, ini lagi kejar 20 bab, semoga klar 4 hari
total 1 replies
Grindelwald1
Duh, jleb banget!
Dani M04 <3
Suka alur ceritanya.
Bonsai Boy
Mengejutkan sekali!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!