NovelToon NovelToon
Cinta Di Atas Abu

Cinta Di Atas Abu

Status: sedang berlangsung
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: RizkaAube

Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter : 24

Namun bibirnya tetap terkunci. Untuk saat ini, biarkan saja rahasia itu masih aman tersimpan di dalam dirinya

Kini keduanya turun untuk sarapan bersama. Aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi rumah mewah keluarga Anggara. Meja makan sudah tertata rapi, sementara Melisa sibuk memotong buah segar.

Zean dan Nara turun bersamaan dari lantai atas. Langkah Zean tampak lesu, matanya sayu. Sesekali tangannya menekan perut, seolah menahan sesuatu yang mengganggu.

Melisa menoleh.“Loh, kamu kok pucat sekali, Zean? Kamu sakit, Nak?”

Zean hanya menggeleng pelan. “Nggak tahu, Ma. Dari semalam perutku mual. Mungkin cuma masuk angin.”

Nara duduk di sebelahnya, diam tanpa sepatah kata pun. Tatapannya sempat jatuh pada wajah Zean, tapi segera ia alihkan kembali.

“Kalau begitu, mau Mama bikinin sup jahe? Atau teh herbal yang biasanya Papa minum?” tawar Melisa penuh khawatir.

Zean buru-buru menggeleng. “Nggak usah, Ma. Aku malah kepengwn yang… asem-asem. Kayak Mangga muda gitu,”

Sejenak ruangan hening. Melisa dan Hendrik saling berpandangan.

“Mangga muda?” ulang Hendrik, alisnya terangkat.

Nara spontan tersedak jus di gelasnya. Jantungnya berdegup kencang. Itu keinginannya sendiri dua malam yang lalu. Dan ia belum pernah mengatakannya pada siapa pun.

“Apa? Dia benar-benar ngidam juga?”batinnya kalut.

Melisa menatap Zean lekat-lekat. “Biasanya kamu paling anti makanan kayak gitu.” Nada suaranya menyimpan curiga.

Zean sendiri hanya diam. Ia pun bingung, karena lidahnya menjerit ingin sesuatu yang asam dan segar.

“Ya sudah, nanti Mama suruh Mbah Ima belikan mangga muda. Tapi makanlah dulu, jangan biarkan perut mu kosong,” bujuk Melisa.

Zean mengangguk pelan. Namun baru saja hendak menyentuh sarapannya, aroma telur dadar truffle menyeruak. Seketika wajahnya menegang, ia menutup mulut, lalu bangkit terburu-buru menuju kamar mandi.

Tak lama kemudian, suara muntah kembali terdengar.

Nara menunduk, menyuap makanannya pelan. Sementara itu, tatapan Melisa beralih kepadanya. curiga, insting seorang ibu yang sulit dikelabui.

Masuk angin? Tidak. Ini jelas bukan sekadar masuk angin, pikir Melisa. Ia tahu pasti yang dialami Zean saat ini mungkin Couvade Syndrome, gejala kehamilan yang bisa menular secara psikis pada sang suami.

Sarapan selesai. Zean dan Nara melangkah keluar dari ruang makan menuju lobi utama. Wajah Zean masih pucat, napasnya terasa berat. Beberapa kali ia mengendurkan kancing jaket, merasa gerah meski AC rumah itu menyembur dingin.

Dari arah depan, Ray muncul. Tubuhnya tegap dalam jas hitam rapi, sepatu mengilap. Aroma parfumnya langsung menguasai udara. tajam, maskulin, menusuk.

“Pagi, Tuan,” sapa Ray sopan. “Mobil sudah siap. Agenda pagi ini rapat dengan Board jam sembilan.”

Langkah Zean terhenti. Matanya menyipit.

“Ray, parfum apa yang kamu pakai?”

Ray berkedip, heran. “Ini parfum biasa, Tuan. Yang Tuan belikan waktu business trip ke Milan itu.”

Zean spontan menutup hidung, wajahnya meringis. “Astaga… baunya nyengat banget. Kayak bensin tumpah di ruang aromaterapi.”

Ray terdiam, bingung. “Tapi ini kan parfum kesukaan Tuan biasanya…”

Zean tak menjawab. Ia melewatinya dengan cepat, wajah pucat. Namun langkahnya kembali tertahan ketika aroma lain samar menyapa. Lembut, manis, menenangkan, campuran vanilla dan musk.

Ia menoleh. Nara berdiri di ambang pintu, rambutnya tergerai rapi. Wangi tubuhnya sederhana, tak menyengat, tapi justru menenangkan.

Tanpa sadar, Zean menarik napas panjang. Wangi ini… enak sekali.

Ray yang memperhatikan dari jauh mulai curiga.

“Tuan?” panggilnya hati-hati.

Zean tersentak. “Nggak, nggak apa-apa. Jalan.”

Mobil melaju meninggalkan rumah. Di kursi belakang, Zean menurunkan kaca jendela, membiarkan angin pagi masuk. Tangannya memijit pelipis, wajahnya tegang.

Mual, pusing, jijik dengan aroma parfum sendiri tapi tenang kalau dekat perempuan itu? pikirnya, kacau.

Atau jangan-jangan…

Ia buru-buru menggeleng, menepis pikirannya sendiri. “Tidak. Jangan mikir aneh-aneh,” desisnya. Namun tubuhnya tetap tak bisa dibohongi

Mobil Zean melaju meninggalkan halaman, suara mesinnya semakin menjauh hingga akhirnya lenyap. Ruang makan sudah dibereskan oleh para asisten, menyisakan aroma samar kopi dan juga roti panggang.

Melisa masih duduk di kursinya, menatap kosong ke arah gelas jus jeruk yang tertinggal di meja. Gelas itu milik Nara,hanya berkurang setengah, sisanya utuh.

Pandangan Melisa bergeser. Nara kini duduk di sofa dekat jendela, tampak termenung sambil meremas jari-jarinya sendiri. Wajahnya berusaha tenang, tapi Melisa, dengan naluri seorang ibu, bisa membaca kegelisahan yang terlihat samar pada menantu nya.

“Sayang,” panggil Melisa pelan.

Nara menoleh cepat. “Iya, Ma?” suaranya terdengar sedikit tergagap.

Melisa tersenyum hangat, bangkit dari kursinya, lalu menghampiri menantunya itu. Ia duduk di samping Nara dan menggenggam tangannya dengan lembut.

“Kamu nggak apa-apa, Nak? Kelihatan capek sekali.”

Nara buru-buru menggeleng. “Aku baik-baik saja, Ma…” jawabnya lirih, berusaha tersenyum.

Melisa tidak mendesak. Ia hanya mengusap tangan Nara pelan, seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya.

“Kalau ada yang kamu rasakan, jangan disimpan sendiri, ya. Mama selalu ada untuk kamu. Apa pun itu.”

Nara menunduk. Dadanya terasa sesak mendengar kelembutan itu. Senyum kecilnya nyaris pecah menjadi air mata, tapi ia menahannya.

Melisa menoleh sebentar ke gelas jus yang ada di atas meja, lalu kembali menatap Nara. Ada banyak hal yang ingin dirinya tanyakan, banyak dugaan yang semakin jelas dalam pikirannya. Namun ia memilih menahan diri.

Hatinya berbisik kuat jika Nara memang sedang menyembunyikan sesuatu. Dan apapun itu, pasti ada kaitannya dengan kondisi Zean pagi ini.

Tapi Melisa tidak ingin Nara merasa terpojok. Ia menyayanginya terlalu dalam untuk membuat gadis itu merasa tertekan.

Dengan lembut, ia merangkul bahu menantunya.

“Kamu itu anak Mama sekarang, Nara. Bukan hanya menantu. Ingat itu, ya.”

Nara terdiam, matanya memanas. Ia hanya bisa mengangguk pelan.

Melisa masih memeluk bahu Nara sebentar, berusaha menyalurkan ketenangan lewat sentuhannya. Gadis itu hanya menunduk, bibirnya menahan kata-kata yang tak sanggup diucapkan.

Beberapa saat kemudian, Nara menarik napas dalam dan tersenyum kecil.“Ma…” suaranya lirih. “Aku… pamit dulu ya. Mau siap-siap ke butik, takutnya nanti zoya sampai aku belum siap, Soalnya hari ini Ada janji sama Mbak Clara buat meeting desain.”

Melisa menoleh, menatap wajah menantunya, kemudian ia tersenyum lembut.“Baiklah, Hati-hati di jalan. Jangan terlalu capek, ya.”

Nara mengangguk cepat. “Iya, Ma.” Ia berdiri, merapikan bajunya, lalu menunduk sopan sebelum beranjak menuju tangga.

Melisa mengikutinya dengan tatapan penuh sayang. Ada sesuatu dalam gerak tubuh Nara, seolah dirinya sedang berhati-hati. Ini hal kecil, tapi cukup untuk menguatkan dugaannya.

Begitu langkah Nara menghilang di lantai atas, Melisa menghela napas panjang. Tangannya meremas perlahan kain rok yang ia kenakan.

“Nara sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi apa pun alasannya, Mama akan selalu ada buat dia.”

Senyum tipis terukir di wajah Melisa. Senyuman seorang ibu yang sudah siap menjadi sandaran, sekalipun rahasia itu masih juga terkunci rapat.

Di kamar, Nara berdiri di depan cermin. Tangannya sibuk memilih dress sederhana untuk ke butik, tapi pikirannya tidak bisa tenang. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak sedikit pucat.

Ia menatap bayangan dirinya, mata yang sedikit sayu, tetapi tetap saja tidak membuat pudar kecantikannya . Tangannya tanpa sadar menyentuh perut yang masih rata itu.

“Apa Mama sudah mulai curiga?” batinnya gelisah.

1
Bintang
Smgt 🌷
Etit Rostifah
lanjut ...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!