"Pada akhirnya, kamu adalah luka yang tidak ingin aku lepas. Dan obat yang tidak ingin aku dapat."
________________
Bagaimana rasanya berbagi hidup, satu atap, dan ranjang yang sama dengan seseorang yang kau benci?
Namun, sekaligus tak bisa kau lepaskan.
Nina Arunika terpaksa menikahi Jefan Arkansa lelaki yang kini resmi menjadi suaminya. Sosok yang ia benci karena sebuah alasan masa lalu, namun juga cinta pertamanya. Seseorang yang paling tidak ingin Nina temui, tetapi sekaligus orang yang selalu ia rindukan kehadirannya.
Yang tak pernah Nina mengerti adalah alasan Jefan mau menikahinya. Pria dingin itu tampak sama sekali tidak tertarik padanya, bahkan nyaris mengabaikan keberadaannya. Sikap acuh dan tatapan yang penuh jarak semakin menenggelamkan Nina ke dalam benci yang menyiksa.
Mampukah Nina bertahan dalam pernikahan tanpa kehangatan ini?
Ataukah cinta akan mengalahkan benci?
atau justru benci yang perlahan menghapus sisa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumachi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah dibalik Trauma
...•••Trigger Warning•••...
Hai readers tercinta~
Bab ini mengandung unsur kekerasan dan konten sensitif pelecehan yang mungkin akan menganggu, bagi para readers yang kurang nyaman terhadap tema tersebut bisa berhenti disini. Keselamatan mentalmu lebih penting dibanding segalanya, termasuk cerita ini.
Terimakasih~Peluk jauh~ dari author amatir ini💗
......................
...~Flashback~...
Jefan memukul kenop pintu untuk kesekian kalinya dengan dumbbell yang ada dikamarnya.
Hari sudah tak lagi menunjukkan cahaya mentarinya, bahkan tak ada cahaya terang bulan yang cukup menerangi malam ini.
Kegelapan menyelimuti seisi bumi seakan menggambarkan gelapnya perasaan lelaki itu saat ini.
Jefan terus memukulkan benda berat itu. Berharap kenop pintu bulat model putar itu copot dan terlepas sehingga ia bisa keluar dari kamar. Dan benar setelah beberapa menit terus memukul kenop pintu, Jefan berhasil mematahkannya.
Pintu itu langsung ditariknya paksa dari lubang kenop yang sudah berhasil di rusaknya.
Jefan berlari menuju ruang kerja ayahnya dengan napas yang kian memburu, dibenaknya hanya terlitas Nina yang bisa saja dalam bahaya karena kebusukan hati orangtua satu itu.
Jefan mendorong pintu ruang kerja ayahnya kasar.
Erwin menoleh, bibirnya berseringai tajam, alisnya sedikit terangkat saat melihat Jefan yang berada diambang pintu.
"Ya, lakukan itu sekarang" ujar Erwin yang tengah menempelkan ponsel pada telinga nya.
Erwin menutup panggilan itu dan melempar ponsel yang baru saja digunakannya ke atas meja.
"Apa yang sudah ayah lakukan?" Jefan menekan pertanyaan nya, tangannya mengepal dengan mata yang sudah penuh kebencian.
"Apa ya.. apa kau bisa menebaknya?"
Erwin meringis masam, ia terduduk santai dikursi kerjanya dan memutar memunggungi Jefan.
"Jika ayah menyentuh nya aku tidak akan tinggal diam"
"Apa memangnya yang bisa kau lakukan?"
"Apapun selama bisa menghentikan mu"
Hening. Tapi bahu Erwin terlihat bergetar seperti sedang menahan tawa. Apa dia meremehkan Jefan saat ini?
Jefan mengatupkan rahangnya kencang. Sosok ayahnya itu hanya terlihat seperti pria tua kejam yang tak memiliki hati nurani. Keji, dingin, dan gila.
Tepat setelah itu, Erwin kembali bersuara. Perkataan yang mampu membuat darah dalam tubuh Jefan memanas, seluruh tubuhnya merinding membayangkan hal mengerikan yang sedang dilakukan manusia itu.
"Kalau begitu mari kita lihat, apa kau bisa menghentikan nya, gadis itu masih ada ditempat favorit kalian loh. Sendirian. Eh~ atau mungkin sudah tidak sendiri lagi sekarang"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...****************...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Nina mengerjapkan matanya, ia agak tersentak begitu menyadari hari sudah gelap. Nina memukul kepalanya berkali-kali.
Gara-gara banyak menangis, dia jadi kelelahan dan tertidur pulas dirumah pohon ini.
Nina langsung menyambar tasnya dan menuruni rumah pohon dengan cepat.
Malam ini benar-benar terlihat sangat gelap, bahkan cahaya bulan tidak bersahabat dengannya untuk membantu nya pulang.
Dengan perasaan tak nyaman, Nina berjalan perlahan sambil menajamkan matanya menyusuri hutan.
Tapi baru beberapa langkah perjalanan, ada tiga orang asing berdiri didepan Nina membuat gadis itu langsung tersentak mundur.
Perasaanya memberi sinyal bahaya untuk segera kabur dari situ.
Nina tak dapat begitu jelas melihat wajah ketiganya, tapi yang jelas mereka semua lelaki dewasa.
"Hei, anak kecil~ kenapa malam-malam sendiri disini? Mau kami temani?"
Badan Nina seketika bergetar, dengan cepat Nina berlari berlawanan arah. Beberapa kali ia harus tersandung dan tersungkur karena akar liar yang menghalangi.
Gadis itu mengabaikan semua rasa nyeri dilutut serta telapak tangannya, dan terus berlari tanpa arah menjauh.
Namun kecepatan ketiga laki-laki tak bisa Nina tandingi, rambutnya dijambak oleh salah satu dari ketiganya membuat Nina harus tersungkur kebelakang.
"Wah, kau cukup merepotkan ternyata"
Nina meringis memegangi sikut nya yang menghantam akar pohon cukup besar. Ia merangkak mundur kebelakang, namun kakinya kembali ditarik oleh mereka.
Nina berteriak dengan sekuat tenaga untu meminta tolong, namun suaranya kemudian teredam oleh sebuah telapak tangan besar yang menutup mulutnya.
"Berhenti lah berteriak! kami hanya mau menikmati tubuhmu sebentar!"
"Cepat buka bajunya!"
Nafasnya tercekik, matanya membelalak semakin panik.
Tubuh Nina terus meronta, ia menendang, mencakar, menggeliat dengan seluruh tenaganya, namun tenaga gadis kecil seperti itu mana bisa menyaingi ketiga tenaga lelaki dewasa.
"Pegangi tangannya, biar aku yang membuka semuanya"
Salah satu pria yang bertubuh besar mengeluarkan sesuatu dari kantong nya setelah melepas paksa seragam sekolah Nina.
Kemudian, langsung ia gunakan untuk merobek kaus dalaman yang Nina kenakan. Lelaki itu menyeringai begitu melihat tubuh depan Nina yang hanya tertutupi bra.
Nina menggigit tangan yang membungkam mulutnya dan kembali berteriak meminta pertolongan entah pada siapa.
Sebuah sayatan cukup dalam menancap pada paha kanan Nina begitu ia berteriak. Membuat Nina merintih kesakitan, dengan begitu dalamnya.
Tangannya bergerak kasar untuk mencoba melayangkan tinju pada lelaki yang memegang pisau, tapi justru ia malah mendapatkan hal serupa yang kali ini menancap pada bahu kananya.
Nina berteriak kesakitan, air matanya sudah bercucuran deras membasahi wajahnya.
"Jangan berteriak lagi, atau kali ini mulut mu yang akan aku robek!"
Rasa sakit nya sudah tidak bisa ia bedakan lagi, semua menjalar di seluruh tubuhnya yang berantakan berlumur cairan merah.
Nina semakin menangis dengan teramat saat lelaki itu menaiki nya, merengkuh tubuh nya yang sedang dipegangi. Ia mulai menciumi leher dan dada Nina brutal, menjalar terus hingga ke bagian perut.
Rasanya Nina tak sanggup lagi. Ia merasa ingin mati saat itu juga.
Ini semua karena dia. Jika hari ini dia tidak mempermainkan nya, mungkin Nina sudah pulang dengan perasaan berbunganya.
Sekarang, jangankan pulang. Nina bahkan tidak tahu apa dia masih bisa membuka mata keesokan pagi.
Dingin tanah dan rumput basah masih menusuk kulitnya, nafasnya tak lagi membawanya dalam kesadaran yang penuh. Suara tawa kasar di sekitarnya terasa semakin menjauh, tenggelam dalam kabut kesadaran yang memudar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...****************...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Cahaya terang lampu plafon menusuk mata gadis yang terbaring lemas diatas ranjang rumah sakit.
Nina, mengedip perlahan menetralkan pandangannya, matanya bergerak menelisik ruangan.
Pandangannya terhenti saat melihat seorang polisi wanita yang duduk di sofa kecil rumah sakit berjalan menghampirinya.
"Kau baik-baik saja nak? Apa ada yang sakit?"
Nina bertaut mencoba mencari memori yang hilang mengapa ia bisa berada disini. Tapi, setelah kesadaran sepenuhnya kembali pada ingatannya, matanya membelalak, bayangan hitam pekat yang menjeratnya kembali. Nafasnya tersengal, dada naik turun cepat, lalu sebuah jeritan pecah dari tenggorokannya.
“Jangan sentuh aku! Jangan sentuh!!” Suaranya parau, gemetar, penuh ketakutan.
Tangannya berusaha menepis siapa pun yang mendekat, tubuhnya meronta tak terkendali hingga selimut rumah sakit tersibak begitu saja.
Pundaknya gemetar hebat, matanya terus bergerak liar ke segala arah, seakan-akan tiga sosok itu masih berdiri mengintainya di sudut ruangan.
Polisi wanita itu terkejut, dia berlari memanggil perawat terdekat, dan kembali dengan cepat menghampiri Nina yang masih ketakutan.
"Tenanglah nak, kau sudah aman sekarang" ujar polisi itu sembari memegang bahu Nina yang masih bergetar
Namun kata-kata itu tak dapat Nina dengarkan.
Dalam benaknya, ia kembali didalam kegelapan mendengar tawa kasar, kembali merasakan tangan-tangan asing yang mencekiknya, menyentuh, dan merabanya.
Jeritannya semakin keras, hingga akhirnya tubuhnya melemah karena suntikan penenang yang baru saja dibawa oleh perawat yang datang.
Perawat itu kembali menidurkan Nina, membetulkan selang infus yang sudah tertarik copot karena sentakan tubuhnya.
Dari balik pintu seorang lelaki memandang nanar kejadian barusan. Air matanya mengalir, namun suara tangisnya tak mampu keluar, ia menangis dengan nafas yang tercekat.
Sesak. Rasanya ia ingin membunuh dirinya saat ini juga.
Tubuhnya mundur kebelakang dengan gemetar. Merutuki dirinya berulang kali karena datang terlambat.
Saat ini bahkan dia tak berani memunculkan diri untuk meminta maaf dan menenangkan gadis itu, tapi melindunginya saja dia tidak bisa, bagaimana dengan menyembuhkan luka itu?
Sialnya lagi, luka itu didapat karena dirinya.
"Brengsek!" lirihnya dalam tangis yang masih tak berhenti.
...~Flashback~...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...