NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:598
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

[Tamat] Chapter 19

Terima kasih untuk semua orang yang sudah mengikuti perjalanan saudara kembar Revan dan Devan, dan kini saatnya kisah si kembar berakhir.  Sebenarnya kami, para author begitu berat ketika ingin mengakhiri kisah ini. Tetapi kami merasa si kembar harus menyelesaikan kisahnya disini. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian dan kesan kalian ya setelah mengikuti perjalanan si kembar lebih dari 15 chapter ini. Jangan lupa vote.

.

.

.

.

Preview....

'Ka, Yan. Gua seneng bisa ketemu kalian dalam kehidupan gua yang awalnya abu-abu ini. Tapi maaf kalau pilihan gua nanti kayaknya gakan pernah bisa kalian maafin seperti sekarang.'

-Revano Ardian Pratama Monologue.

.

.

.

.

.

10 Tahun Kemudian.

Seorang lelaki berwajah tampan dengan rambut hitam dan bola mata coklatnya, menatap data pasien di meja kerjanya. Dengan seksama ia menelaah setiap hasil pemeriksaan dari pasien-pasien yang ia tangani.

Pria itu menghembuskan nafasnya sebentar. Menyenderkan punggungnya yang sedikit lelah. Tapi seulas senyum di wajahnya terpatri. Sampai suara ketukan pintu ruangannya terdengar, dan pria itu membiarkan orang tersebut.

Munculah seorang laki-laki berambut hitam kecoklatan, menggenggam segelas kopi. Raka, sang dokter spesialis anak  melemparkan sebuah roti kepada laki-laki yang sibuk terus membaca data pasien.

"Makan elah, begituan masih bisa nunggu. Oke, kita nakes, tapi inget aturannya kalau nakes sakit siapa yang rawat pasiennya?" Raka dengan ala 'nyablaknya' bicara.

Lelaki dengan bola mata Jernih itu menurut, ia membuka roti yang diberikan Raka dan mulai memakannya. "Tumben Rak selera lo bener sekarang, biasanya lo ngasih ke gua rasa aneh-aneh." 

"Yeh, kapan lagi kan gua bisa begini. Lo mah gak terlalu kejam, beda sama si Kim JongUn KW satu itu." Raka teringat bagaimana sosok yang ia sebutkan itu pasti akan menatapnya dengan pandangan 'sadis' dan membuatnya ciut.

"Gimana pun juga, gua sama Revan itu orang yang beda."  Balas Devan, si lelaki tampan bermola mata jernih.

Raka meminum kopinya sejenak. "Tetep aja lo tuh copyannya dia, sama persis. Lu gak inget apa kalian bedua dulu sama-sama kejem. Kok bisa kita kenal dari orok ya."

"Harusnya lu bersyukur, gua sama Revan mau mungut lo." Dia berbicara dengan jahil.

"Tuh tuh kagak ada adabnya tuh mulut. Eh tapi Dev, lo udah gapapa kan? Hari ini....hari dimana Revan pergi ninggalin kita semua." Raka menunduk sejenak, tetapi sebenarnya ia ragu.

Devan terdiam sesaat. "Udah berapa kali lu nanya itu ke gua hari ini heh? Keknya yang gak baek-baek aja tuh lu deh. Move on ayo dari Revan."

"Mulut lo mau gua sumpel pake sepatu Dev? Jomok kali aih. Sekalipun si Revan jadi cewek, ogah gua ama dia. Gua pasti tersiksa." Ia merengut dan membayangkannya saja membuatnya ngeri.

Devan memandang foto yang ada di meja kerjanya. Foto dirinya dengan seseorang yang begitu mirip tapi menyimpan segalanya sendiri. "Kalau jujur Rak, gua pasti hancur. Tapi gua gabisa berlarut, karena bukan hal itu yang Revan pengen. Revano cuma mau apa yang udah dia perjuangkan gak pernah sia-sia. Dan cuma dengan cara ini gua bisa jaga hal itu."

"Gila ya, ternyata makin dewasa makin kita belajar soal banyak kehidupan." Raka menengadahkan wajahnya, mengingat semua hal yang telah mereka lalui bersama.

"Kalau bahasa gaulnya kita udah belajar meaning of life." Devan berbicara dengan bangga.

Dan beberapa saat keduanya terdiam, kembali mengingat rangkaian masa lalu.

.

.

.

.

.

Wanita cantik berambut sebahu itu mengenggam buku yang dulu pernah terjatuh karena bertabrakan dengan seseorang, ia mengusapnya perlahan. Sampai saatnya tiba, dia tidak pernah bisa mengungkapkan perasaannya kepada pria yang dulu disebut sebagai pangeran satu kampus. Jika pun ia bisa mengatakannya sekarang, mungkin laki-laki itu tidak akan pernah bisa mendengar.

"Aku pernah mencintai kamu, Revan. Tapi aku tahu kamu punya hal lain yang lebih penting, meski sebenarnya kamu punya perasaan itu buat aku. Aku yakin pilihan kamu akan tetap sama. Tapi makasih Rev, berkat kamu, akhirnya aku bisa bener-bener dapetin seseorang yang akan selalu ngedampingin aku selamanya."

Suara langkah kaki dari bawah ke lantai atas mulai terdengar, suami dari wanita cantik itu mulai mengetuk pintu kamar.

"Sayang, Lily,  udah selesai? Kita persiapan ke Bandung ya. Kayaknya Kian juga udah di perjalanan." Ungkap sang suami padanya.

"Iya sayang sebentar lagi, ini Rafa juga udah siap." Ia mengusap lembut rambut  anak semata wayangnya, bocah kecil laki-laki dengan nama Rafazka Ardian Putra.

Lily merasa bahwa ia adalah wanita yang paling beruntung karena sempat mengenal Revan, dan kini mendapatkan seorang laki-laki yang begitu menyayanginya, Nathan.

.

.

.

.

Laki-laki berambut hitam dengan perawakan tegap menginjakkan kakinya di bandara.

"Wadidaw jiwa, akhirnya gua balik lagi ke Bandung ahahahha." Dia berucap dengan bangga.

Tanpa sadar sebenarnya sudah ada Devan dan Raka yang menunggu kedatangannya. Tetapi setelah melihat sikap 'orang aneh'-dalam versi mereka, ia bernama Arkiansyah atau Kian, keduanya langsung beranjak pergi.

"Rak, Dev!  Disini guys, masa kalian melupakan perawakan teman kalian yang paling ganteng se-Jabar ini." Teriak Kian yang membuat semua mata di bandara menatapnya bingung.

Raka bergidik. "Gak kenal, gua gak kenal. Ya Allah jauhkanlah kami dari godaan setan yang terkutuk, mending lo ikutan juga Dev."

"Ikutan ngapain?" Tanya Devan yang juga ikut bersembunyi dari Kian.

"Baca-baca doa lah supaya kita dijauhkan dari siksa dunia, itu yang dibelakang contoh nyatanya." Jawab Raka kesal karena Devan belum mengerti.

Devan mengangguk."Oke, gua mulai ikutan gila kayaknya. Tapi demi melindungi diri, gua bakal lakuin."

Tiba-tiba Kian sudah muncul di hadapan mereka berdua.

"Jelangkung anjir!" Raka dengan mulut tak pernah di-filter-nya meloncat kaget.

Sementara Devan yang kaget karena Raka, tersentak dan membentur kepala Kian. "Kenapa sih si Revan dulu bisa tahan sama kalian berdua, aih anomali aneh bin ajaib, lama-lama gua ikut gila juga ini."

Dan Kian ia mengusap dahinya yang sakit karena dibentur kepala Devan. "Yang gila itu kalian, komat kamit sendiri di bandara diliatin banyak orang! Auch sakit anjer dahi gua yang mulus."

"Heh Arkiansyah, elu yang dateng-dateng malu-maluin, tereak-tereak di bandara, disamperin satpam bandara tau rasa lu." Raka dengan petuahnya.

Tetapi seolah itu adalah do'a, seorang satpam menghampiri mereka bertiga.

Satpam itu mengetuk-ngetukkan pentungannya. "Kalian bertiga keluar dari sini cepet! Jangan bikin kacau di bandara! Kalau emang nganggur masih belum dapet kerja, cari kegiatan produktif."

"Eh pak nggak loh, kita tuh bukan pengangguran, saya sama orang ini tuh dokter loh, dokter!" Raka mencoba menunjukkan identitas diri. Kemudian ia menatap Kian. "Nah kalau yang satu ini, gatau pak dia siapa, biasa agak keganggu Pak."

Kian tidak terima dengan kalimat Raka. "Wuah padahal yang komat-kamit sendiri tuh dia Pak!"

Satpam itu pusing sendiri. "Aish udah saya gak percaya, dek kalau frustasi jangan sampe segininya. Kalau kalian yang jadi dokternya, pasiennya bukannya sembuh malah jadi gila."

"Gini Pak, ini saya ini dokter resmi di salah satu rumah sakit. Nih identitas pegawainya Pak." Devan tidak memusingkan Raka dan Kian yang masih berdebat.

Satpam itu berekspresi seolah percaya. Tapi pada akhirnya memanggil rekan kerjanya yang lain.

Dan mereka bertiga sudah 'tertendang' ke luar bandara.

"Kalau mau protes lapangan pekerjaan yang sedikit, protesnya ke peme***tah ya, tagih tuh 19 juta lapangan  kerjanya. Jangan jadi gila. Kasian mana masih muda." Ucap satpam bandara sebelum berlalu.

Tetapi setelah semua kejadian yang ada, Raka dan Kian masih saja berdebat.

"Heh lu, Kian Santang minimal dateng tuh gausah katro." Raka masih saja mendumel.

Kian tidak terima. "Loh nyalahin gua? Orang elu sama Devan komat kamit kek mbah dukun baca mantra!"

"Tuh malah nyanyi alam mbah dukun lagi nih orang, mending sini lu gua periksa." Raka  tidak habis pikir dengan pemikiran Kian.

Kian kembali membalas. "Gakan gua kasih oleh-oleh palembang buat lu ya, Rak!"

"Bodo amat gua bisa beli sendiri! Pempek lu jelek lagian!" Balas Raka tidak mau kalah.

Dan Devan sudah kesal mendengar perdebatan kedua anomali itu. Jika bisa dianimasikan, mungkin di dahinya sudah muncul tanda kesal siku-siku.

Devan melangkah maju, mendekati kedua orang yang masih berdebat tersebut, senyum yang sangat lembut diwajahnya muncul.

Perdebatan Kian dan Raka langsung terhenti, mereka merasa dejavu.

"Debat lagi, gua ambil semua duit kalian. Jajanin gua sampe akhir bulan nanti." Devan memasang wajahnya yang sangat baik.

Raka menciut. "Gua ralat perkataan gua kemaren, lu tuh lebih kejem dari si Revan. Ancamannya duit."

"Tak ada uang abang tak sayang." Balas Devan singkat.

Kian pasrah. "Mau gua ejek kegaringan si Devan, tapi gua masih sayang nyawa jadi ayo kita iyaiin aja."

Perdebatan ramai itu pun akhirnya selesai. Dengan catatan hanya sementara.

.

.

.

.

.

Beberapa saat kemudian, ponsel milik Devan berdering. Menampilkan nama  'Bernard Bear', atau Ardli, sahabatnya sejak kecil. Mereka berempat akhirnya bertemu, awalnya Ardli kebingungan karena tidak menemukan mereka di dalam bandara. Tetapi setelah mendengar penjelasan dari Devan, Ardli tidak merasa aneh lagi.

Mencari lokasi nyaman, mereka memutuskan untuk berkumpul di sebuah cafe dekat bandara. Devan duduk bersebelahan dengan Ardli, sementara Kian dan Raka, biarkan saja kedua soulmate itu pergi memesan agar semakin berdebat. Niat Ardli dan Devan begitu baik.

Setelah sekian lama Ardli menatap Devan. Ia begitu tahu bagaimana perjuangan si kembar sejak dulu, dan ia lebih tahu dari sisi Devan. Ya, karena Ardli lebih dekat dengan Devan. Anak yang dulu menangis diam-diam itu, kini menjadi sosok lelaki dewasa yang begitu tampan, dikagumi, berwibawa dengan caranya sendiri. Sahabat yang dulu berjuang untuk bertahan hidup, sempat akan menyerah, kini bersinar lebih terang dari siapapun.

"Lo berhasil Rev, seandainya lo ada disini, lo pasti bangga." -Ardli bermonolog dalam pikirannya.

Devan bergidik, ia menjauhkan jarak duduknya dari Ardli. "Ngapain lo lihat gua kek gitu? Terpesona lo sama kegantengan gua? Sorry ya gua ini emang ganteng, tapi gua cuma suka sama para princess."

"Sembarangan kalau ngomong, bergaul ama si Rakambing dan Kian Santang keknya bikin otak lo kagak betul." Ardli akan mencatat, sifat Devan masih semenyebalkan dulu.

Devan mengedikkan bahu. "Gua aja heran, kok bisa ya gua tahan ama mereka. Untung masih waras."

"Dev.." Ardli berkata pelan meski sejujurnya ia ragu, tapi rasanya ini mengganjal. Dia takut bahwa sahabatnya tidak baik-baik saja dan hanya berpura.

"Napa lo? Ragu amat nanyanya. Blak-blakan aja napa. Aneh kalau lo seragu ini, Dli." Devan bisa membaca raut wajah Ardli.

Ardli tersenyum sejenak. "Setelah Revan pergi, gua tau lo udah gak punya siapa-siapa lagi. Lo berjuang sendirian, lo pasti gak baik-baik aja kan? Apalagi setelah Revan ngelakuin pilihannya."

"Iya, gua gak baik-baik aja, betul! Jangan nagih 100 tapi ke gua. Tapi mau sampe kapan? Kalau gua gitu terus hidup gua gakan jalan dan stack disitu-situ aja. Terus pengorbanan Revan jadinya malah gak gua hargai." Dia tertawa ringan sejenak, meski sedikit menelan pil pahit. "Tapi kalau lu tanya gua marah? Iya gua marah! Gua bahkan muak sama si Revano yang sok pahlawan! Gua gak pernah minta buat dia selametin, gua gak pernah minta buat sampe segininya! Gua cuma minta cukup dia hadir di sisi gua, saling dukung sebagai sodara. Tapi ... tekad Revano itu kuat, dan gua tau kalau Revan seyakin ini, dia yakin bahwa hasil yang dia bawa pasti manis."

Dari sudut mata Devan, setetes air mata terjatuh. "Gua sendirian akhirnya, dia jahat karena pergi lebih dulu dan ngebiarin gua berjuang di dunia ini sendiri. Tapi dia juga sebenernya gak ngebiarin gua sendiri, karena masih ada lo Dli, Raka, Kian dan yang lainnya. Jadi jangan pernah bilang kalau gua sendirian, karena lo dan yang lainnya masih ada buat nyokong gua. Makasih... Makasih banyak. Dan yang gua pengen kita gausah berlarut dalam kesedihan ini, sepuluh tahun udah mau berlalu, ayo kita lepas Revan dengan sebebas mungkin."

"Lo bener Dev, bukan lo yang gabisa bangkit, tapi gua dan yang lainnya yang masih terjebak di masa lalu." Balas Ardli dengan tersenyum.

Devan mengangguk bangga. "Iya dong kita harus bangkit, daripada bangkit dari kubur kan serem."

"Emang nih anak udah ketularan si Raka ama Kian, makin melenceng." Sarkasnya.

Tanpa mereka sadari Raka dan Kian mendengar semua percakapan menyentuh itu. Raka mengakui dalam hati, ya bahwa dia masih terjebak di masa lalu sebagai sahabat Revan sejak kecil. Apalagi Revan adalah sosok yang selalu mendukungnya saat Raka jatuh, terkhianati Arjuna, dulu Raka mengira saat kecelakaan itu terjadi, ia yang akan pergi lebih dulu. Tetapi nyatanya, takdir ini tak bisa ditebak.

Begitupun dengan Kian, meski mengenal Revan tak selama Raka, ia mengerti dibalik dinginnya, dibalik ketegasannya, Revano adalah seseorang yang rapuh dan terlalu lembut.

.

.

.

.

.

Mereka berempat sudah tiba di tempat yang anginnya terasa teduh. Banyak orang, tapi sepi seakan menyapa. Di depan, ada beberapa orang yang telah menunggu.

Kian langsung menyapa bocah laki-laki, mengacak lembut helaian rambutnya. "Rafa kamu lucu banget aish, om gemas."

"Kok gua serem ya dengernya?" Devan bergidik.

Raka mengangguk. "Kek orang mu nyulik anak."

"Heh, gua bisa denger obrolan kalian. Minimal ngejauh dulu." Kian berkacak pinggang.

Devan membalas datar. "Ya gapapa ngomong didepan, biar lo langsung sadar dan tobat."

"Kalian masih aja kayak dulu, aneh bin ajaib. Kamu hati-hati ketularan,  Dev." Nathan disana  bicara.

Ardli yang menjawab. "Aman Bang Nathan, si Devan masih ada gua yang bisa nyadarin dari kegilaannya."

Setelah sedikit bercengkerama, mereka fokus  ke tujuan mereka. Memperingati 10 tahun kepergian Revano Ardian Pratama.

Gundukan tanah itu kini telah berbentuk dan rapi, tidak sebasah ketika pertama kali. Di atas batu nisan terpatri sebuah nama yang mereka kenal bersama.

Disana juga ada Jesselyn, Fitra dan teman-teman lainnya yang di kampus dulu. Mereka berdoa dengan khidmat, berharap doa mereka sampai kepada orang yang dikasihi. Revan selalu tahu banyak orang yang menyayanginya, dan kepergiannya ini pasti menyakiti mereka. Namun ini adalah satu-satunya cara.

Hujan tiba-tiba turun, panjatan doa sudah mau selesai. Tetapi bagi sang adik, yaitu Devan, setiap kali ia kesini, ia merasa sebelah jiwanya seolah terbelah dan hilang. Anak kembar yang diputus oleh takdir. Tapi Revanlah yang memilihnya. Devan ingin menangis, tapi ia mencoba menahan, sampai Ardli menepuk punggungnya pelan.

"Keluarin sejenak gakan buat lo kek orang lemah kok, Dev."

Dan Devan akhirnya menangis dibawah air hujan yang menutupi wajahnya.

Hujan mulai reda, satu per satu melangkah pergi.  Dan dalam hati mereka seakan berbicara bersama.

'Selamat jalan, Revano."

.

.

.

.

.

Lily membuka pintunya ketika seorang pengantar paket datang. Disana ia menerima paket, sebuah undangan pernikahan Devan dengan sosok dokter cantik bernama Ezra Ananda Lilia.

"Selamat ya, Dev."

.

.

.

.

.

-TAMAT-

Sekali lagi kisah ini selesai! Terima kasih buat semua yang udah ngikutin perjalanan si kembar. Maaf kalau tidak bisa diteruskan, dan maaf ya kalau masih banyak typo. Jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan vote kalian disini. Dan nantikan karya terbaru kami!

Revan dan Devan mengucapkan, sampai ketemu lagi nanti.

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!