“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Suka
Dengan satu gerakan cepat dan kuat, Kevin mengangkat tubuh Kevia dari kursinya. Refleks, Kevia melingkarkan tangannya ke leher Kevin, tubuhnya terangkat tanpa daya.
Kelas sontak riuh. Beberapa siswa ternganga, sebagian lainnya menutup mulut menahan jerit kecil, tak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Riri dan Ani membelalak, wajah mereka merah padam bagai banteng hendak menyeruduk. Amarah meledak di dada mereka.
“Sial!” umpatan itu menggema bersamaan dalam hati, rahang keduanya mengeras, gigi beradu menahan geram.
Sementara itu, Kevin tetap tenang. Tatapannya tajam, langkahnya mantap, seolah hiruk pikuk kelas tak pernah ada. Di lengannya, Kevia masih terangkat, matanya membesar, pipinya memerah menahan malu, tak percaya dirinya digendong di depan semua orang.
Dan kelas pun seakan berhenti bernapas. Hening yang menyesakkan hanya dipecah oleh bisik-bisik kecil.
“Astaga… anak baru itu…”
“Apa dia suka sama Kevia?”
“Masa iya? Kan dia murid baru.”
“Kayaknya mereka udah kenal sebelum Kevin pindah deh.”
“Jangan-jangan Kevin pacarnya Kevia.”
“Kevin ganteng, Kevia… meski sederhana, tapi 'kan cerdas.”
"Kevia itu sebenarnya cantik, hanya saja kurang merawat diri "
Bisik-bisik itu makin menyulut bara di dada Riri dan Ani. Tatapan mereka menusuk seperti belati, tapi Kevin bergeming.
Ia menurunkan Kevia ke sebuah kursi kosong, lalu meletakkan tas keduanya di atas meja.
“Kamu apa-apaan sih, Vin?” gumam Kevia, suaranya bergetar antara malu, kaget, dan takut. Bayangan wajah murka Riri sudah tergambar jelas di benaknya.
Kevin hanya duduk santai di sebelahnya, seolah semua yang baru terjadi hanyalah hal sepele. Jemarinya membuka buku, menyiapkan pelajaran berikutnya, tanpa sedikit pun menoleh.
Kevia menghela napas panjang. "Percuma. Kalau dia nggak mau bicara, dia nggak akan bicara."
Meski baru sehari mengenalnya, Kevia bisa membaca sifat Kevin. Keras kepala, dingin, tapi juga penuh misteri.
Pintu kelas terbuka. Guru mata pelajaran masuk, suasana pun kembali normal. Kevia kembali fokus belajar, berusaha melupakan kehebohan yang baru saja terjadi.
Waktu berjalan. Bel pelajaran berakhir, bunyinya disambut gesekan kursi, buku-buku ditutup, dan suara riuh siswa bersiap pulang.
Kevin tak ikut beranjak. Ia duduk tenang, menunggu kelas agak lengang. Tatapannya jatuh pada Kevia yang sedang merapikan alat tulis.
“Kamu beneran pulang-pergi sekolah jalan kaki?” tanyanya tiba-tiba, nadanya santai tapi matanya menajam.
Kevia terhenti sejenak, lalu hanya bergumam pelan, “Hmm…” sambil berdiri, menghindar dari tatapannya.
Riri dan Ani, anehnya tidak buru-buru keluar seperti biasanya. Mereka justru menunggu, pura-pura sibuk dengan buku, padahal mata mereka terus mengawasi Kevin dan Kevia.
Lalu tiba-tiba—
“Ayo pulang bareng,” ucap Kevin datar, lalu tanpa aba-aba menarik tangan Kevia.
“Eh… eh, nggak usah. Aku biasa pulang sendiri,” seru Kevia panik, tubuhnya otomatis ikut tertarik oleh genggaman Kevin yang kokoh.
Ia berusaha melepaskan tangannya, tapi Kevin tak memberinya kesempatan. Genggamannya terlalu kuat.
“Udah, nurut. Kalau nggak, bakal aku gendong,” ucap Kevin dingin, matanya tak main-main.
Kevia terperanjat. Sadar ancaman itu bukan sekadar ucapan kosong, ia hanya bisa pasrah. Pipinya merona, langkahnya mengikuti meski hatinya menolak.
Sepintas, ia melirik ke arah Riri dan Ani. Tatapan keduanya menusuknya bagai ribuan jarum.
“Mampus… Riri pasti marah besar nanti,” batin Kevia, perutnya mual oleh rasa takut yang mendesak.
Sementara Kevin melangkah keluar kelas, tetap menggenggam tangan Kevia erat, dingin, namun pasti.
Dan seisi kelas hanya bisa terdiam, sebagian tercengang, sebagian lain menahan senyum, seolah baru saja menyaksikan awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Kevin terus menarik tangan Kevia hingga keluar kelas, melewati lorong, lalu menuruni anak tangga menuju parkiran. Udara sore menyambut, bercampur aroma bensin dan debu aspal.
Di sana, sebuah motor sport hitam mengilap terparkir gagah, kontras dengan langkah tenang pemiliknya.
Kevin melepaskan genggaman tangannya perlahan. Ia menoleh ke Kevia, matanya dalam.
“Ayo naik.”
Kevia mematung. Ia menghela napas panjang, berat, seolah menahan beban yang tak kasat mata.
“Aku… nggak bisa.”
Kening Kevin berkerut. “Kenapa? Karena kita baru kenal? Kau takut aku culik?”
Tatapan Kevia menajam, getir.
“Ya. Kita baru kenal, Vin. Tapi kamu bersikap seolah kita sudah lama saling kenal. Soal diculik…” bibirnya menyunggingkan senyum tipis penuh ironi, “nggak ada untungnya nyulik gadis kayak aku.”
Hening sejenak. Angin sore menggoyangkan dedaunan di pinggir parkiran. Kevia menunduk, lalu kembali menatap Kevin.
“Tapi kenapa kamu bersikap seperti ini sama aku?”
Dari kejauhan, di balik tiang beton, Riri dan Ani menyelinap, matanya tajam, telinga mereka fokus. Jarak tak jauh, cukup untuk mendengar setiap kata.
Kevin menundukkan wajahnya sedikit, lalu menorehkan senyum tipis. Senyum yang jelas-jelas bukan untuk dunia, melainkan hanya untuk Kevia.
“Aku… cuma suka sama kamu, sejak pertama kali kita bertemu.”
Kepala Kevia spontan terangkat, matanya membesar. Jantungnya berdegup tak beraturan, seakan baru saja dipaksa berlari. Kata suka itu membuat dadanya bersemi, tapi juga membingungkan. Suka yang bagaimana? Ia tak ingin buru-buru salah menafsirkan.
“Kenapa?” bisiknya pelan, separuh ragu, separuh penasaran. Hatinya diam-diam berbunga karena ucapan itu, tapi kesadarannya segera menariknya kembali, ia tahu siapa dirinya.
Riri dan Ani mencondongkan tubuh, napas mereka memburu.
"Karena kamu beda,” ujar Kevin mantap. Suaranya rendah tapi penuh keyakinan.
“Kamu nggak caper sama aku kayak gadis lain. Kamu nggak sibuk deketin aku. Tapi yang bikin aku benar-benar suka sama kamu…” ia menghela napas pelan, lalu menunjuk pelipisnya sendiri, “karena kamu cerdas.”
Kevia terdiam. Wajahnya sulit terbaca, antara bingung, tersanjung, sekaligus takut.
“Aku lebih suka berteman dengan orang yang cerdas,” lanjut Kevin, “daripada yang kaya tapi bodoh. Bagiku, rupa bukan standar untuk mencari teman. Serupawan apapun wajah seseorang… kalau otaknya kosong, bagiku nggak menarik. Buang-buang waktu.”
Kevin menyandarkan tubuhnya ke motor, menatap Kevia dengan tatapan setenang air, tapi tegas seperti batu.
Dari persembunyian, Riri mengepalkan tangan erat hingga buku-bukunya putih, giginya bergemeletuk. Ani di sebelahnya juga tak kalah panas, wajahnya merah padam.
“Sudah jelas…” gumam Ani lirih dengan nada getir, “kita bukan tipe teman yang dia suka.”
“Dia nyari cewek yang cerdas…” Riri menimpali, suaranya serak menahan amarah. “Dan kita… nggak masuk standarnya.”
Ani mendengus, menahan geram. “Pantesan setiap ada yang deketin dia, dia langsung nanya soal pelajaran. Yang nggak bisa jawab… langsung dia cuekin.”
Riri mengatup rahang, menatap Kevia yang berdiri di depan Kevin. “Sialan. Jadi… dia lebih pilih si miskin itu.”
Angin sore berhembus lagi. Dan di parkiran itu, ketegangan diam-diam membelah ruang: Kevin dan Kevia berdiri di pusatnya, sementara Riri dan Ani menunggu di balik bayangan dengan bara yang siap meledak kapan saja.
Kevin berdiri di depan Kevia, helm hitam berkilau di tangannya. Ia menyodorkannya tanpa banyak kata, hanya tatapan tegas yang membuat Kevia tersudut.
“Pakai ini.” Suaranya berat, penuh nada memaksa.
Kevia terdiam, ragu. Tangannya enggan menerima. Tapi Kevin sudah lebih dulu menyelipkan helm itu ke kepalanya, jemarinya tanpa sengaja menyentuh pipi Kevia. Sentuhan singkat itu membuat udara di antara mereka seolah menegang.
“Naik,” ujarnya lagi, kini lebih tegas.
Kevia tak punya pilihan. Ia akhirnya menaiki motor sport hitam itu, duduk dengan canggung di belakang Kevin. Dari kejauhan, di balik tembok parkiran, Riri dan Ani saling pandang dengan tatapan penuh bara.
Riri mendengus pelan, lalu menyandarkan tubuh ke dinding. Rambut panjangnya ia kibaskan ke belakang, sorot matanya berkilat dingin. “Kevia itu terlalu bersinar di kelas. Semua perhatian tertuju padanya. Kalau terus begini… kita cuma jadi bayangan.”
Ani mendecak kesal, wajahnya menegang. “Kau benar. Ini gak bisa dibiarin. Dia selalu bisa menjaga citra, selalu tenang, dan anehnya… semua guru suka padanya. Murid-murid pun kagum. Apalagi sekarang, Kevin.”
Nama itu diucapkan dengan nada getir.
Riri menyipitkan mata, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis penuh kebencian. “Justru itu masalahnya. Dia terlihat terlalu sempurna. Guru suka padanya, teman-teman mengaguminya… dan cowok itu—” suaranya merendah, getir bercampur dengki, “—sepertinya mulai meliriknya.”
Ani menelan ludah, menatap sahabatnya penuh tanda tanya. “Jadi… apa rencanamu?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....