Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Kentang Tantang Permaisuri
Kentang Kebo duduk bersila di tanah pinggir kawah kering peninggalan pertarungannya dengan tiga perndekar Kerajaan Sanggana Kecil, yaitu Penjebak Kepeng, Penyair Ngik Ngok dan Perempuan Angin Bangkai.
Kentang Kebo dalam mode pengobatan mandiri. Dia sedang mengobati dirinya sendiri. Sebenarnya lukanya ringan dan bisa dia atasi. Efek dari Angin Bangkai milik Sari Sani sangat memengaruhinya hingga ke tahap tidak berdaya. Kondisinya akan sangat berbahaya jika dalam kondisi bertarung dan ada musuh yang memanfaatkan keadaan. Namun, kini kondisinya aman.
Kentang Kebo telah mengalahkan ketiga lawan beratnya. Beruntung, Permaisuri Kerling Sukma tidak sudi mengambil keuntungan dari kelemahan lawan, sehingga Kentang Kebo mendapat kompensasi, tetapi syaratnya adalah tidak boleh kabur.
“Jika aku tidak yakin bisa mengalahkan para permaisuri sakti Kerajaan Sanggana Kecil, sejak awal aku tidak akan mau membantu si Galang,” pikir Kentang Kebo.
Sementara itu, Pasukan Kaki Gunung melakukan pengepungan jarak menengah terhadap posisi Kentang Kebo, dalam jarak yang tidak dekat, sejauh lemparan tombak tanpa tenaga dalam.
Awalnya Komandan Serut Perut dan pasukannya berjaga dengan tegang dan waspada. Mereka membentuk pagar manusia yang berlindung di belakang tameng besar mereka.
Namun, karena Kentang Kebo tidak kunjung menunjukkan gelagat mengancam, maka Pasukan Kaki Gunung mengubah sikap menjadi S3, yaitu siaga, santai, saja.
Dalam menetralisir kondisinya agar terbebas dari pengaruh racun yang baunya jadi terkenang selalu di ingatan, Kentang Kebo tidak menunjukkan sedikit pun kesaktiannya. Tidak ada sinar-sinaran, tidak ada angin-anginan, dan tidak ada gaya-gayaan. “Gaya” hanya milik Pasukan Buaya Samudera.
Setelah sekitar satu setengah jam, akhirnya Kentang Kebo bergerak berdiri dengan santai tanpa memandang ke sekeliling.
Brak brak!
Suara serentak pergerakan tameng dan tombak jadi membuat Kentang Kebo memandang ke Pasukan Kaki Gunung, tapi satu arah saja.
Rupanya bangunnya Kentang Kebo mengejutkan seluruh prajurit Pasukan Kaki Gunung, termasuk Komandan Serut Perut. Mereka langsung merapikan dan mengokohkan formasinya. Santainya seketika lenyap dan berganti ketegangan lagi.
Wuss!
Terkejut Komandan Serut Perut dan pasukannya saat melihat sosok Kentang Kebo bergeser ke samping lalu hilang seperti termakan oleh angin, atau seperti sosok sedang dihapus cepat dari samping, atau seperti gambar yang terhapus oleh kenangan.
Setelah pemandangan aneh itu, Komandan Serut Perut dan pasukannya sudah tidak melihat lagi keberadaan Kentang Kebo.
Semua prajurit itu pun mencari dengan matanya, bahkan ada yang menengok ke belakang dan mendongak ke langit. Siapa yang mengira jika tahu-tahu Kentang Kebo muncul menyerang dari belakang atau sedang terbang berputar-putar di angkasa.
Namun, mereka tidak menemukan Kentang Kebo, kecuali dua mayat yang tergeletak dalam kondisi mengenaskan, yaitu Suoto dan Marno. Mereka tewas karena luka-lukanya. Mereka gampang tewas karena kesaktian Kentang Kebo tidak mewaris kepada mereka.
Tidak berapa lama setelah hilangnya Kentang Kebo. Di tengah ibu kota Karang Lindur, tepatnya tidak jauh di depan kediaman Adipati Kubis Ganda, tiba-tiba ….
Boamm!
Seiring kemunculan sosok Kentang Kebo di satu titik tanah lapang, terjadi satu ledakan energi yang begitu kuat dan begitu kencang suaranya. Seisi kota yang tidak seluas satu kecamatan di masa depan itu jadi terkejut bukan main dan tidak main-main. Untung pada era tersebut tidak ada yang sakit jantung, tetapi ledakan itu membuat jantung terasa lemas.
Orang-orang yang tidak latah mendadak latah, terlebih mereka yang latah, jadi terlatah-latah. Maka hebohlah dan kepolah seisi kota. Mereka pun ingin tahu apa yang menjadi sumber ledakan sehingga kota terasa terguncang.
Hewan ternak dan hewan beranak menjadi panik. Mau kabur tapi di dalam kandang, mau lari tapi tali ditambat di pohon. Bahkan induk ayam harus bertelur sebelum kawin karena terlalu paniknya. Sepertinya itu hasil dari pergaulan bebas.
Suara ledakan itu juga mengejutkan Perwira Madya Tanggal Muda dan Pasukan Buaya Samudera, Kumbang Pitak dan Pasukan Keamanan Kadipaten, terutama Adipati Kubis Ganda dan keluarga karena sumber ledakan tidak jauh dari kediaman mereka.
Komandan Serut Perut dan Pasukan Kaki Gunung juga mendengar, meski posisi mereka masih di luar Ibu Kota.
“Cepat masuk ke kota!” teriak Serut Perut kepada pasukannya.
Maka pasukan itu segera mengatur barisan sebelum mereka bergerak layaknya tentara, bukan seperti pelari marathon.
Hanya Permaisuri Kerling Sukma yang tidak terkejut. Jangankan suara ledakan sekeras itu, dia diusir dari Istana Sanggana Kecil saja dia tetap tenang.
Ketika Kentang Kebo muncul dengan suara ledakan, Permaisuri Kerling Sukma sedang berada di pendapa memberikan perintah kepada Adipati Kubis Ganda dan Perwiramadya Tanggal Muda. Sementara Mantini duduk tidak jauh dari sang permaisuri bermata hijau itu. Gadis putri Adipati itu diminta oleh sang permaisuri melayaninya selama ada di ibu kota tersebut.
Permaisuri Kerling Sukma memerintahkan Tanggal Muda untuk segera mengirim jenazah Penyair Ngik Ngok pulang ke Kerajaan Pasir Langit. Tanggal Muda juga diperintahkan mengirim utusan ke Pantai Pendek. Di sana ada Pendekar Serat Darah yang sedang memimpin para pendekar Kerajaan Sanggana mengawasi pembuatan kapal perang.
Sementara Kubis Ganda mendapat perintah untuk merawat Penjebak Kepeng dan Perempuan Angin Bangkai dengan mengadakan tabib terbaik.
“Sudah waktunya aku menghukum Kentang Kebo,” kata Permaisuri Kerling Sukma kepada orang-orang di sekitarnya.
“Mohon ampun, Gusti Permaisuri,” ucap Tanggal Muda seraya menjura hormat. “Sebelum hamba dan pasukan pergi, izinkan kami untuk menyaksikan pertarungan Gusti Permaisuri.”
“Lakukanlah,” jawab Permaisuri Kerling Sukma.
Sang permaisuri lalu bangkit dan melangkah anggun seperti wanita cantik meninggalkan pendapa. Para abdi itu hanya menjura hormat, membiarkan wanita sakti itu berlalu.
Nun jauh di depan sana, Kentang Kebo telah berdiri menunggu dengan pose yang gagah. Angin berembus mengibarkan apa yang bisa berkibar dari dirinya.
Di saat Kentang Kebo sudah tidak sabar untuk bertarung dengan seorang permaisuri sakti lagi cantik jelita, Permaisuri Kerling Sukma memilih sabar dalam berjalan, seolah-olah hidupnya santai dan kematian tidak sedang mengejarnya.
Sementara itu, Pasukan Buaya Samudera duduk bersila di rerumputan selayaknya mau menonton layar yang ditancap. Mereka duduk bersila dalam satu saf yang tidak lurus, tetapi formasinya melengkung. Tanggal Muda duduk di posisi tengah-tengah saf, sehingga sulit untuk mencarinya karena terjepit di antara pasukannya.
Posisi Pasukan Samudera tidak jauh di luar halaman kediaman Adipati, tetapi cukup jauh dari pertemuan antara Permaisuri Kerling Sukma dan Kentang Kebo.
Adipati Kubis Ganda bersama anak-istrinya, para karyawannya, serta Kumbang Pitak dan pasukannya, memilih menonton dari jarak yang lebih jauh, yaitu di dalam lingkungan rumah, alias di dalam lingkaran pagar halaman.
Warga Ibu Kota memilih berkerumun di zona aman untuk menyaksikan apa yang akan terjadi. Mereka memilih berkerumun dengan maksud agar bisa bertanya kepada sesama warga jika ada hal-hal yang tidak dimengerti, tanpa harus mengulang pelajaran di bangku sekolah.
Warga heboh dan kasak-kusuk sendiri saat melihat kecantikan mewah Permaisuri Kerling Sukma, meski jarak pandang tidak memadai. Meski demikian, dan tidak mampu melihat jelas wajah sang permaisuri, melihat pakaian Permaisuri Kerling saja sudah cukup untuk menilainya cantik. Dari hal itu dapat disimpulkan bahwa pakaian sangat memengaruhi kecantikan seorang wanita.
Pada akhirnya, Permaisuri Kerling Sukma sampai di hadapan Kentang Kebo dalam jarak cukup dua tombak saja.
Meski Kentang Kebo sudah gatal ingin bertarung seriusan, tetapi dia masih menahan diri pula karena melihat Permaisuri Kerling Sukma bersikap santai. Padahal Kentang Kebo sudah menyiapkan kesaktian tingginya yang tinggal dilepaskan saja.
Pada akhirnya, Permaisuri Kerling Sukma dan Kentang Kebo saling tatap. Kentang Kebo berani menatap tajam mata hijau lawannya, tidak seperti ketika dia menjura hormat dalam kondisi terluka saat di medan perang. (RH)