"Apa-apaan nih!" Sandra berkacak pinggang. Melihat selembar cek dilempar ke arahnya, seketika Sandra yang masih berbalut selimut, bangkit dan menghampiri Pria dihadapannya dan, PLAK! "Kamu!" "Bangsat! Lo pikir setelah Perkutut Lo Muntah di dalem, terus Lo bisa bayar Gue, gitu?" "Ya terus, Lo mau Gue nikahin? Ngarep!" "Cuih! Ngaca Brother! Lo itu gak ada apa-apanya!" "Yakin?" "Yakinlah!" "Terus semalam yang minta lagi siapa?" "Enak aja! Yang ada Lo tuh yang ketagihan Apem Gue!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiara Pradana Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Sandra baru saja keluar dari ruang perawatan rumah sakit dengan langkah yang masih terasa berat.
Wajahnya yang sedikit pucat menunjukkan sisa kelelahan setelah semalam dirawat intensif. Dokter menatapnya dengan penuh perhatian, mengingatkan agar Sandra benar-benar menjaga pola hidupnya selama masa kehamilan ini.
“Jangan sampai kamu melewatkan waktu istirahat dan makan, juga jangan terlalu memaksakan diri. Stres dan kelelahan bisa berpengaruh buruk pada janin,” ujar dokter dengan suara lembut namun tegas.
Sandra mengangguk pelan, menyadari betapa pentingnya setiap peringatan itu. Ia tahu, kini bukan hanya dirinya sendiri yang harus dijaga, tapi juga kehidupan kecil yang tumbuh di dalam rahimnya.
Dengan perlahan, ia berjanji dalam hati untuk lebih berhati-hati, menghindari segala hal yang bisa mengganggu kehamilannya.
Meskipun perasaan was-was masih menghantui, Sandra mencoba menenangkan diri, berusaha menerima bahwa proses ini butuh kesabaran dan perhatian ekstra.
Revano menatap lembut wajah istrinya, Sandra, yang mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan di trimester kehamilannya yang pertama.
Sebagai suami yang perhatian, ia sepenuhnya setuju dengan anjuran dokter agar Sandra lebih banyak beristirahat.
Revano tahu betul betapa pentingnya masa ini bagi kesehatan calon buah hati mereka.
Setiap kali Sandra mengeluh lelah atau merasa pusing, Revano tanpa ragu segera mengatur jadwal harian agar istrinya punya waktu istirahat yang cukup.
Meski pekerjaan di kantor menumpuk, hatinya lebih memilih fokus menjaga kesehatan Sandra dan janin yang tengah tumbuh di rahimnya.
Dalam diam, ia berjanji akan selalu ada untuk menemani dan melindungi istrinya sampai hari kelahiran tiba.
Sandra melangkah pelan menuju ruang ICU, wajahnya tampak lelah namun sorot matanya penuh kekhawatiran yang dalam.
Sejak Papa Armando dirawat, pikirannya tak pernah tenang. Ia selalu bertanya-tanya, mengapa kondisi Papa belum juga membaik dan kesadarannya belum kembali.
Rambutnya yang hitam tergerai berantakan, seolah mencerminkan gelisah yang tak terucap.
Meski tubuhnya masih terasa lemah setelah perawatan di rumah sakit, tekadnya untuk melihat keadaan Papa jauh lebih kuat.
Di sisi lain, Revano berdiri tidak jauh dari Sandra, mencoba menahan rasa cemas yang sama. Ia menatap Sandra dengan lembut, suaranya rendah namun tegas mengingatkan, “Sayang, Dokter bilang kamu harus jaga kesehatan, apalagi kehamilanmu masih trimester awal. Jangan terlalu dipaksakan.” Namun Sandra hanya mengangguk pelan, bibirnya menutup rapat, berusaha menyembunyikan rasa takut yang menggerogoti hatinya. Ia tahu, selain Papa yang butuh kekuatan, dirinya juga harus kuat demi janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.
Sambil mengusap perutnya, Sandra menatap wajah Sang Papa yang terlihat lebih tirus, "Pa, Papa harus sehat. Papa harus bangun, Papa mau lihat Cucu Papa kan. Sandra saat ini sedang hamil Pa. Papa akan segera punya Cucu. Papa bangun ya,"
Siapapun yang melihat Sandra berbicara dengan Papa Armando yang kini masih terbaring di Ruang ICU tentu akan sedih.
"Opa tadi menelepon Mas, katanya Kamu sebaiknya Kita sementara di Mansion Opa, agar Kamu ada yang menjaga saat Mas harus ke Kantor."
Sandra tak mau merepotkan. Sejak kepergian Ibunya Sandra mulai hidup mandiri. Tak ada yang bisa Ia mintakan tolong, terlebih saat Papa Armando sudah menikah lagi dengan Aisyah, dimana Aisyah membawa anak hasil dari pernikahan sebelumnya ke Mansion Papa Armando.
Kala itu adalah saat-saat yang paling menyakitkan bagi Sandra. Sandra merasa sendiri dan tak ada tempat untuk bersandar.
Sandra mengusap air matanya. Semua sudah berlalu. Dan Sandra tak ingin menanamkan benci dihatinya. Terlebih saat ini Ia tengah mengandung. Sandra tak ingin anaknya merasakan apa tang hati kecil Sandra rasakan. Sandra ingin anaknya lahir dengan hati bahagia.
"Iya Mas, Aku mau di Mansion Opa. Disana banyak orang. Aku gak akan kesepian kalau Kamu ke Kantor."
"Iya Mas kabari Opa ya."
Anggukan Sandra segera Revano mengabarkan kalau Sandra dan dirinya akan menuju Mansion Opa Narendra.
*
"Bun, kenapa Aku masih ditahan disini, apa Bunda gak niat mengeluarkan Aku dari sini!" Bunda Aisyah hampir saja menoyor kepala Andri kalau saja tak diperhatikan oleh petugas lapas.
Dalam kunjungannya kali ini, Bunda Aisyah meminta agar Andri menurunkan egonya, agar bersedia meminta maaf pada Sandra dan Revano."
"Apa! Bunda nyuruh Aku merendahkan diri! Tidak Bun! Aku lebih baik mendekam dipenjara daripada mengemis maaf dari Mereka!"
"Emang dasar anak keras kepala! Kepala batu! Egomu itu tidak akan menyelamatkanmu! Dan satu lagi!, Bunda tidak punya uang lagi untuk membiayaimu kehidupanmu di dalam sel! Pikir pakai otak udangmu itu! Semua rekening dan aset sudah dibekukan. Bunda sudah tidak punya apa-apa! Pikir Andri!"
"Oh, jadi Bunda nyalahin Aku? Bunda gak ngaca! Bunda main judi, main berondong! Dan sekarang Bunda melimpahkan semua kesalahan itu sama Aku! Enak aja! Kalau memang Bunda gak mampu bebasin Aku, ya sudah! Gak usah kesini lagi! Aku lebih baik mendekat dipenjara dari pada harus mengemis dengan Mereka!"
"Waktu habis! Ayo masuk!"
Andri dibawa oleh petugas lapas. Sedanfkan Bunda Aisyah berteriak!
"Dasar abak G@blok! Gak tahu diuntung! Cuma bisa bikin susah orang tua! Ini lagi, kemana Mereka? Disaat Aku terpuruk jangankan orang nyamuk pun tak ada yang mau mendekat!"
Dulu, saat masih menjadi Istri Papa Armando, siapa yang tak mau dekat dengan Aisyah. Hingga pergaulan sosialita Aisyah membuat dirinya terjerumus akan hal-hal yang tak bermoral. Berjudi, Main Berondong, Party S#x dan lainnya yang menghambur-hamburkan uang Papa Armando.
Kini, di masa kejatuhannya, jangankan teman, lalat pun enggan mendekat. Seolah tak ada lagi yang sudi mendekat takut dipinjamkan uang, bahkan baru saja menelpon sudah direject lalu nomor Aisyah diblokir.
*
Om Seno datang ke Mansion Opa Narendra, Menjenguk Sandra yang ia dapatkan informasi kalau sudah boleh keluar dari Rumah Sakit.
"Santai saja Pak Seno, Kita ini keluarga. Sandra sudah banyak bercerita mengenai Pak Seno, Saya berterima kasih selama ini Pak Seno turut menjaga Sandra."
"Tidak Tuan Narendra, Saya menganggap Sandra sudah seperti putri Saya sendiri, karena memang Saya, Armando dan Andin Ibu Sandra adalah teman sejak dulu."
"Kayaknya seru banget, boleh gabung Opa?" Sandra datang bersama Revano.
"Sayang, Kamu kenapa turun, Ommu bisa menemuimu di kamar, ada Revano juga yang menemani."
Om Seno tersenyum. Bahagia sekali melihat Sandra memiliki keluarga baru yang begitu menyayanginya.
"Sandra sudah sehat Opa. Lagi pula, enak disini, bisa leluasa ngobrol. Om, terima kasih sudah datang."
"Gak apa-apa San, Om justru baru sempat silahturahmi kesini dengan Tuan Narendra."
Obrolan Mereka mengalir. Hangat. Tak hanya persoalan bisnis. Tapi, selayaknya keluarga banyak hal yang Mereka juga obrolkan.
Sandra tersenyum, beginilah seharusnya keluarga. Semoga segera Papa Armando bisa segera siuman dan kembali sehat, berkumpul bersama keluarga yang sesungguhnya.