Elzhar Magika Wiratama adalah seorang dokter bedah kecantikan yang sempurna di mata banyak orang—tampan, disiplin, mapan, dan hidup dengan tenang tanpa drama. Ia terbiasa dengan kehidupan yang rapi dan terkendali.
Hingga suatu hari, ketenangannya porak-poranda oleh hadirnya Azela Kiara Putri—gadis sederhana yang ceria, tangguh, namun selalu saja membawa masalah ke mana pun ia pergi. Jauh dari tipe wanita idaman Elzhar, tapi entah kenapa pesonanya perlahan mengusik hati sang dokter.
Ketika sebuah konflik tak terduga memaksa mereka untuk terjerat dalam pernikahan kontrak, kehidupan Elzhar yang tadinya tenang berubah jadi penuh warna, tawa, sekaligus kekacauan.
Mampukah Elzhar mempertahankan prinsip dan dunianya yang rapi? Atau justru Azela, dengan segala kecerobohan dan ketulusannya, yang akan mengubah pandangan Elzhar tentang cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biqy fitri S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi yang Cerah
Sinar matahari pagi mulai menembus tirai jendela apartemen, menerangi ruang tamu tempat Elzhar dan Azel tertidur di sofa.
Elzhar terbangun lebih dulu, matanya setengah terbuka. Ia tersenyum lembut, masih merasakan hangat dari pelukan Azel semalam. Perlahan, tangannya menyisir rambut Azel, menyusuri bentuk wajahnya dengan lembut.
“Istriku…” gumamnya pelan, penuh kasih.
Azel membuka matanya, rambut sedikit berantakan, wajahnya masih malu-malu dan mengantuk.
“Hmm… pagi, L,” gumamnya pelan, menunduk sebentar sambil tersenyum malu. Suasana terasa canggung sejenak.
Beberapa detik berlalu, lalu Azel terlihat kebingungan.
“Hmmm… mmm… eh… apa ya yang harus dilakukan pagi ini?” gumamnya sambil menggaruk kepala, wajahnya memerah karena salting.
Elzhar tersenyum, menahan tawa melihat tingkah istrinya yang lucu itu.
“Oh, aku bikin sarapan aja ya,” gumam Azel, buru-buru berdiri. Namun, alih-alih menuju dapur, ia malah melangkah ke kamar mandi.
“Katanya mau ke dapur, tapi kok malah ke kamar mandi?” goda Elzhar sambil terkekeh.
“Apaan si lo kan gue… gue mau… cuci muka dulu!” ucap Azel gelagapan, sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi.
Elzhar terkekeh pelan.
“Lucu banget sih kamu, Zel,” ucapnya sambil menepuk lututnya.
Tak lama kemudian, sarapan pun siap. Azel membuat nasi goreng sederhana, sementara Elzhar sudah berpakaian rapi dengan baju yang disiapkan Azel di atas ranjang.
Elzhar menghampiri Azel, menarik napas menyesap aroma harum masakan.
“Masak apa lo? Wangi banget,” puji Elzhar sambil menatap istrinya.
“Gue hanya bikin nasi goreng pagi ini… soalnya cuma ini yang tersedia di kulkas. Nanti pulang kerja aku belanja ke supermarket,” jawab Azel santai, tapi terlihat bangga.
Elzhar tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya.
“Mulai sekarang, kamu pakai ini untuk semua kebutuhanmu. Kamu bebas memakainya,” ucapnya.
Azel menolak ringan.
“Gak usah, L… gue ada kok uang. Lagian gue juga numpang tinggal di sini,” katanya sambil tersenyum malu.
Elzhar menatapnya tegas tapi lembut.
“Gue nggak suka kalau lo ngomong begitu, Zel. Lo istri gue sekarang, dan lo tanggung jawab gue. Tempat tinggal ini sekarang juga milik kita berdua. Jadi gue minta lo terima apa yang jadi kewajiban gue.”
Azel menerima kartu itu dengan senyum.
“Makasih ya, L….”
Elzhar tersenyum, menatap Azel dengan penuh arti.
“Gue, Zel… yang harusnya bilang makasih. Jujur, gue seneng banget. Lo ngurusin gue tanpa gue minta. Lo siapin baju kerja gue, bikinin sarapan, rapihin rumah… padahal gue tau lo pasti capek dan lo juga harus kerja. Makasih ya, Zel,” ucap Elzhar dengan lembut.
Azel tersenyum tipis, menatap mata Elzhar.
“Sama-sama, L. Gue cuma melakukan tugas gue. Walaupun kita hanya pura-pura… gue cukup sadar posisi gue di sini,” jawabnya.
Pagi itu terasa tenang, hangat, dan penuh rasa saling menghargai—momen sederhana yang menjadi awal manis kehidupan baru mereka bersama.
Setelah sarapan sederhana mereka selesai, Elzhar bangkit dari kursinya sambil merapikan jas putih yang sudah melekat rapi di tubuhnya. Tangannya meraih kunci mobil di meja.
“Ya udah, gue berangkat kerja dulu ya, Zel. Kalau lo udah selesai kerja, kabarin gue. Nanti pulang kerja gue temenin lo belanja buat kebutuhan rumah,” ucap Elzhar sambil tersenyum tipis.
Azel ikut berdiri, menatapnya sebentar lalu mengangguk. “Iya, L. Makasih ya… nanti gue kabarin.”
Elzhar lalu mengulurkan tangannya dengan isyarat halus. “Nah, sekarang kan udah resmi suami istri… lo tau kan tradisinya?”
Azel mengernyit bingung. “Apaan lagi?”
“Cium tangan suami sebelum berangkat kerja,” jawab Elzhar santai, seolah itu hal yang biasa.
Azel mendengus. “Halah… lo pikir kita beneran kayak pasangan normal aja.”
Meski begitu, ia menahan tawa kecil dan akhirnya mendekat, mencium punggung tangan Elzhar dengan ekspresi kaku.
Elzhar langsung tersenyum lebar, jelas puas. “Hmm… gitu dong. Atau… perlu sekalian cium kening juga biar afdol?” godanya sambil menundukkan kepala sedikit ke arah Azel.
Azel menatapnya dengan tatapan are you serious? lalu memukul pelan dada Elzhar. “Cihhh… itu mah maunya lo, bukan tradisi.”
Elzhar malah tertawa kecil. “Ya kali aja lo mau, gue kan gak nolak kalau bonus.”
Azel mendengus sambil melipat tangan di dada. “Dasar tukang modus. Cepetan gih, nanti telat pasien lo.”
“Siap, Istriku ,” balas Elzhar sambil memberi hormat main-main, membuat Azel mau tak mau tertawa kecil.
Suasana pagi itu terasa ringan, hangat, dan sedikit konyol—seperti pasangan baru yang masih canggung tapi perlahan menemukan ritme mereka sendiri.
Setelah selesai merapikan apartemen, Azel pun bersiap berangkat ke butik. Sesampainya di sana, ia melihat Sisil sudah duduk di meja kasir, tapi wajahnya tampak lesu, matanya sembab, dan ia terus menguap.
“Sil, kamu udah dateng duluan?” sapa Azel sambil tersenyum.
“Iya, Kak…” jawab Sisil lirih, lalu buru-buru menutup mulutnya karena kembali menguap.
Azel menatapnya heran. “Kamu kenapa? Kayak kurang tidur. Tumben hari ini nggak semangat.”
“Ng… nggak kok, Kak. Aku cuma… sedikit lelah aja,” jawab Sisil terbata, tangannya meremas ujung bajunya. Tatapannya gelisah, jelas sedang menyembunyikan sesuatu.
Dalam hati, Sisil berteriak panik. Ya ampun, celaka kalau Kak Azel tau apa yang sebenarnya terjadi semalam…
Untuk menutupi kegugupannya, Sisil buru-buru mengalihkan topik dengan suara dibuat riang.
“Cieee… yang udah malam pertama. Gimana, Kak, rasanya jadi pengantin baru?” godanya dengan senyum nakal.
Azel langsung terperanjat, wajahnya memerah seketika. “A-apaaan sih, Sil?! Jangan asal ngomong gitu deh… kita tuh capek, jadi ya cuma… tidur.”
Nada suaranya terdengar jelas gugup, membuat Sisil malah cekikikan.
“Alah, Kak Azel nggak usah malu. Palingan juga—”
“SIL!!!” potong Azel cepat-cepat, wajahnya makin merah. “Udah, ah, jangan bahas yang aneh-aneh. Fokus kerja!”
Sisil hanya menahan tawa sambil pura-pura menunduk, padahal dalam hati ia semakin panik. Kalau sampai Kak Azel tau, bisa kacau semuanya.
---