NovelToon NovelToon
49 Days

49 Days

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / Angst / Penyeberangan Dunia Lain / Hantu
Popularitas:9.1k
Nilai: 5
Nama Author: nowitsrain

Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.

Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.

Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lies

Tapi aku kan bukan kekasihmu...

Dean kembali membuang napas panjang. Entah sudah yang ke-berapa kali. Nyamuk-nyamuk di ruang tamu juga pasti bingung mendapati sesosok hantu tampak begitu frustasi sampai terus menghela napas, padahal juga tidak ada sirkulasi oksigen yang terjadi.

Jam dinding di tembok ruang tamu menunjukkan pukul 12:45. Jika ikut kebiasaan, Suri pasti sudah tidur sekarang. Rasanya tidak sopan kalau Dean menyelinap ke dalam kamarnya, meski hanya untuk duduk di kursi tanpa melakukan apa-apa.

Tapi kalau mau berdiam diri begini pun, Dean tidak bisa. Hatinya tidak tenang. Kata demi kata dari kalimat terakhir Suri terus saja terngiang. Bak rapalan mantera yang tidak akan pernah hilang.

Pada akhirnya, Dean memberanikan diri meninggalkan sofa tempatnya duduk selama hampir empat jam. Dia menaiki tangga pelan-pelan. Kedua tangannya ada di dalam saku celana. Satu terkepal, yang satunya lagi menggenggam kelopak bunga mawar yang di simpan di sana--tak terlalu erat.

Tiba di depan kamar Suri, tubuh Dean membeku sejenak. Kemudian kedua tangan Dean keluar perlahan dari saku. Dua-duanya tidak menggenggam apa pun, jemarinya jatuh sebagaimana mestinya mengikuti gaya gravitasi.

"Suri." Dean melancarkan percobaan pertama. Memanggil nama Suri dengan suara paling pelan.

Tidak ada sahutan. Sesuatu yang wajar.

Jadi Dean langsung melancarkan percobaan kedua. "Suri," panggilnya lagi, dengan nada suara normal.

Yang kali ini pun belum ada sahutan.

Percobaan ketiga, Dean setengah berteriak. "Suri!"

Sebelum lanjut ke percobaan ke-empat, Dean memberi jeda untuk menanti reaksi. Sudah ia putuskan menunggu tiga detik. Tiga detik, tidak lebih dan tidak kurang.

Setelah hitungan ketiga dan Suri masih tidak memberikan reaksi, barulah Dean melancarkan percobaan ke-empat. Otot lehernya mengencang, suaranya berkumpul di ujung tenggorokan.

"Suri! Apakah kau sudah tidur?!"

Begitu bersemangat, Dean tidak sadar tangannya juga ikutan bergerak. Tiga kali ketukan--mungkin lebih tepatnya gedoran--terlayang. Saat sadar, dia buru-buru menarik tangannya, menyembunyikannya di belakang tubuh.

Sayangnya, gerakan lempar batu sembunyi tangan yang Dean lakukan tidak sukses besar. Sebelum tangannya sempat bersembunyi dengan sempurna, pintu di hadapannya sudah lebih dulu terbuka.

Jakunnya bergerak turun. Rongga mulutnya sudah tidak memproduksi air liur, tetapi muscle memory di sekujur tubuhnya masih mengingat segala hal dengan baik. Bahkan ketika netranya ditubruk tatapan amarah oleh Suri, sepasang kaki Dean pun refleks bergerak mundur.

"Ada apa malam-malam begini? Rusuh sekali."

"Aku minta maaf." Tangan Dean terulur.

Suri memandangnya sangsi. "Minta maaf untuk apa?" tanyanya, ketika pandanganya kembali ke wajah Dean.

"Soal yang tadi."

"Yang mana?"

"Di dapur."

"Lebih tepatnya."

"Aku minta maaf sudah membuatmu marah." Dean bicara dengan lemah lembut, seperti putri kerajaan yang dididik etika sejak kecil.

"Aku tidak marah."

"Kau marah," potongnya.

Suri mendengus pelan, matanya menatap malas. "Baiklah, anggap saja aku marah. Lalu, apa kau tahu penyebabnya?"

"Tahu."

Alis Suri terangkat sebelah. "Oh ya? Memangnya apa yang membuatku marah?"

Dean menurunkan tangannya, toh Suri tidak menyambutnya juga. Gadis itu malah bersedekap sekarang. "Karena kau pikir aku menyimpulkan sesuatu berdasarkan segala ingatan tentang kekasihku," jawabnya pelan.

"Kupikir?" Suri tertawa mengejek. "Bukannya itu benar? Kau memang menyimpulkannya karena kekasihmu, kan?"

"Tidak." Dean menggeleng kuat-kuat. "Itu sama sekali tidak benar."

"Lalu yang benar seperti apa?"

"Aku hanya sok tahu," balas Dean cepat. "Auramu terlalu cemerlang untuk ukuran seseorang yang tidak suka keramaian. Jadi otak bodohku ini menyimpulkan dengan sendirinya bahwa kau pasti tipikal yang menyukai hiruk-pikuk kehidupan."

Semula kencang, otot-otot wajah Suri mulai mengendur. Pertanda emosinya juga perlahan turun. "Aura?" tanyanya, seraya mengeratkan lagi lipatan tangan di depan dadanya.

Dean mengangguk. "Betul. Setiap orang memiliki aura mereka sendiri, dan auramu begitu cerah jika dibandingkan dengan orang-orang lain di sekitar." Ia menjelaskan disertai gerakan tangan. Baik nada suara maupun ekspresi wajahnya begitu meyakinkan. Apalagi, statusnya sebagai makhluk astral yang punya akses melihat lebih banyak hal, membuat Suri semakin sulit menolak apa yang disampaikan.

Lipatan tangan di depan dada perlahan melonggar. Suri berdeham pelan di antara rasa canggung. "Jadi bukan karena kau hanya ingat tentang kekasihmu, lalu semua hal kau kaitkan dengannya?"

"Tentu saja bukan!" Dean setengah berseru. Tawa sumbangnya terdengar untuk kali pertama.

Karena pikiran Suri sudah agak buyar dimakan malam, otaknya tidak cukup pandai mendeteksi jenis tawa tersebut. Sehingga respons yang keluar atas tanggapan Dean adalah anggukan kepala. Kemudian, kedua tangan Suri juga perlahan turun. Satunya jatuh mengikuti gravitasi bumi, satunya lagi terulur ke arah Dean.

"Baiklah. Aku juga minta maaf karena terlalu sensitif."

Dean memandangi uluran tangan Suri dengan sudut-sudut bibir terangkat perlahan, kemudian baru menjabatnya setelah dua detik terlewat.

"Tidak, kau tidak perlu minta maaf. Aku yang salah." Dean mengguncangkan tangan mereka yang berjabat, cukup bersemangat. "Lagi pula ini sudah dekat dengan jadwal siklus bulananmu, jadi wajar saja kalau kau jadi lebih sensitif."

Aduh, mampus.

Dean langsung merapatkan bibirnya begitu sadar baru saja keceplosan. Jabat tangannya pun buru-buru dilepas. Dan sebelum Suri memberondongnya, lalu mereka tidak jadi baikan, dia buru-buru putar otak. Matanya jelalatan, mencari objek apa pun yang bisa membantunya terhindar dari masalah besar.

Nah! Serunya dalam hati, kala menemukan kalender meja di atas meja belajar. Berhubung ini masih awal bulan, gadis itu sepertinya belum sempat membalik halaman. Lembarannya masih tertinggal pada bulan kemarin. Dan di sana, terdapat 6 angka yang disilang dengan spidol warna merah.

"Itu!" serunya. Semangatnya menggelora. "Itu, itu. Aku melihatnya dari sana saat sedang bersih-bersih tadi. Kau memberi tanda pada enam tanggal berturut-turut."

Kepala Suri menoleh perlahan, mengikuti arah telunjuk Dean. Matanya menyipit, kemudian helaan napasnya terdengar panjang ketika kembali menatap Dean.

"Maaf karena tidak peka," lanjut Dean, sebelum keduluan Suri yang buka suara. "Maklum, sudah lama aku tidak mendampingi kekasihku melewati siklus bulananannya."

Toh alasannya masuk akal, Suri tidak punya wewenang untuk marah. Jadi kepalanya mengangguk maklum, pertanda kesalahan Dean sudah dimaafkan dan dia setuju untuk membuang semua kekesalan.

"Ada lagi yang mau kau bicarakan? Kalau tidak, biarkan aku tidur. Demi Tuhan, ini sudah larut."

Dean menggeleng, kemudian mengangguk, kemudian menggeleng lagi, kemudian mengangguk lagi. Gerakannya yang semrawut membuat Suri tertawa geli.

"Jadinya yang mana jawabanmu?" godanya.

Dean agak bersungut-sungut. "Tidak, untuk pertanyaan apakah ada hal lain yang ingin aku bicarakan. Dan iya, untuk membiarkanmu masuk kamar lalu tidur."

Suri kembali terkekeh. "Baiklah, selamat malam."

"Iya, selamat malam." Tangan Dean melambai lemah, dibalas Suri sekilas sebelum pintu tertutup dan kontak mereka terlepas.

Beberapa detik kemudian, setelah sebelumnya hanya diam, Dean balik badan dan menyandarkan punggungnya di pintu kamar Suri. Tubuhnya perlahan merosot ke bawah. Ia duduk berselonjor dengan kepala setengah menengadah.

Maaf sudah berbohong padamu, Suri.

Bersambung....

1
Zenun
Suri itu kekasih Dean, tapi lupa. Atau Suri ketempelan kekasih Dean
Zenun
Kasihan Dean gak tidur nanti😁
Zenun
Lah, berati yang dtemui Suri adalah milk
Zenun
apa ya kira-kira?
Zenun
Oh begindang, jadi kalu tidak boleh cuti lagi ya, Suri😁
Zenun
Suri mau ape nih?
Zenun
Nah itu dia yang ada dalam benaku
Zenun
mungkin itu petunjuk
Zenun
nama authornya Nowitsrain
Haechi
sukak kombinasi suri dean
Zenun
Dean, sesungguhnya kamu tahu apa? Coba ceritakan padaku? 😁
nowitsrain: Tau banyakkkk
total 1 replies
Zenun
Oh ternyata Gumaman Suri.. Jangan-jangan separuh yang masuk ke suri itu kekasihnya Dean
Zenun
Masa sih, ini ngomong Dean? Dean tahu darimana
nowitsrain: Dean itu...
total 1 replies
Zenun
Sekalian temenin mandi juga😁
Zenun: boleeee
total 2 replies
Zenun
Kalau tidurmu gak nyaman, Dean jadi gak nyaman
nowitsrain: Tetotttt. Kalau tidurnya nggak nyaman, nanti tantrum. Kalau tantrum, Dean pucing
total 1 replies
Zenun
Mungkin ini perbuatan kekasih Dean
nowitsrain: Hmmmm
total 1 replies
Zenun
kayanya ketiga hantu itu lagi ada misi juga dah
Zenun
Jangan diangkat Dean, biarkan dia posisinya begitu😄
Zenun
wah, jan baper, bahayul😄
Zenun
harusnya inisiatif kasih tahu duluan bang😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!