Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Terluka
Gerakan tangan Yoga spontan mengusap wajah dengan kasar, seakan ingin menghapus kata yang hampir terlanjur keluar. Napasnya berat, dada terasa sesak. Beberapa helai rambut jatuh menutupi dahinya, menambah kesan kacau yang berusaha ia sembunyikan.
Dalam hati, lidahnya melanjutkan kalimat yang terputus. "Kevia bukan gadis seperti itu."
Ia meremas kedua tangannya di atas meja, menunduk lama. Tatapan Ari masih melekat padanya, penuh rasa ingin tahu, tapi Yoga tetap bungkam. Yang tersisa hanyalah gemuruh di dadanya sendiri, dan sebuah nama yang terus bergema tanpa henti.
Ari mengerling curiga. “Kev…? Kev apa? Kevin? Jangan-jangan kamu, suka sama… ahahaha!" Tawanya meledak keras, sampai beberapa staf di luar ruangan refleks menoleh ke arah mereka. Pintu tak tertutup rapat membuat suara tawa Ari terdengar sampai ke luar ruangan.
Yoga menutup wajah dengan satu tangan, kesal sekaligus lega. “Kau ini, Ri. Suka asal nebak. Balik kerja sana! Jangan cuma modal mulut. Tugasmu numpuk.”
Ari mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, pura-pura menyerah. “Oke, oke. Rahasiamu aman, Tuan Misterius.” Ia berdiri, merapikan jasnya, lalu menepuk bahu Yoga dengan gaya sok dewasa. “Aku doakan semoga daun mudamu itu nerima kamu. Biar hidupmu nggak jomblo abadi. Kasian banget, masa mau nikah sama laptop, pacaran sama berkas?”
Yoga mendengus, tapi sudut bibirnya tak bisa menahan senyum tipis. “Dasar norak.”
“Serius, Bro.” Ari menunduk sedikit, menatapnya lebih dalam. “Semoga cewek itu nggak kabur pas tahu kamu itu workaholic.” Lalu dengan gaya seenaknya, ia melangkah menuju pintu. “Udah ah, aku cabut. Kalau kelamaan nongkrong di sini, Zayn bisa kasih aku SP.”
Pintu tertutup. Ruangan kembali hening.
Yoga menyandarkan punggung, menatap langit-langit. Napasnya berat, matanya sayu.
Sebuah nama berputar di benaknya, makin lama makin tak bisa ia usir.
Kevia…
“Sial!” desis Yoga lirih. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, siku bertumpu di meja, seolah ingin bersembunyi dari kenyataan. Napasnya berat, dadanya sesak.
“Aku merindukannya…” bisiknya nyaris tak terdengar.
“Via…” nama itu lolos begitu saja, patah, namun penuh kerinduan yang menyesakkan. Seolah hanya dengan menyebutnya, rasa itu bisa sedikit teredam, meski ia tahu, nyatanya tidak.
***
Matahari condong, langit sore menguning. Joni dan Janto masih nongkrong di depan kampus, motor tuanya terparkir di bawah pohon. Helm dipasang setengah hati, rokok menggantung di jari Janto.
“Jon… sumpah, kalau hari ini kita nggak nemu juga, aku bisa gila,” gerutunya, mata menyipit menatap gerbang.
“Tenang, Jan. Yang penting kita siap kalau tiba-tiba dia nongol,” balas Joni, meski pinggangnya sudah pegal duduk terlalu lama.
Di sisi lain, Kevia melangkah cepat keluar lewat gerbang samping. Tas disampirkan erat di bahu. Udara sore menusuk kulit, tapi yang membuatnya merinding justru bukan cuaca.
Deg.
Ia melihat dua sosok familiar. Joni dan Janto berdiri di dekat gerbang utama, tampak gelisah, sesekali menoleh kanan-kiri seperti berburu seseorang.
Langkah Kevia otomatis melambat. Napasnya tercekat.
"Itu… Joni sama Janto? Kenapa mereka ada di sini?"
Ia menunduk. "Firasatku tak enak. Lebih baik aku memutar lewat jalan kecil di samping gedung." Jantungnya berpacu.
Kerumunan mahasiswa keluar-masuk seperti biasa. Saat itulah Janto menegakkan badan. “Jon! Itu… Kevia, 'kan?!”
Seorang gadis berambut panjang berjalan cepat melewati gerbang. Wajahnya nyaris tertutup masker, tapi sorot matanya… terlalu mirip.
Joni buru-buru berdiri, matanya melebar. “Iya, itu dia! Aku kenal betul cara jalannya, buru-buru tapi tetap tegak!”
Janto refleks menyalakan motor. Joni lompat ke belakang. Tepat saat mereka hendak melaju, sekelompok mahasiswa keluar bergerombol, menutup pandangan.
“Sial! Mana dia?” Janto memicingkan mata, mencoba menembus kerumunan.
“Barusan ke kiri! Cepat!” Joni menepuk pundak Janto yang langsung menggeber gas, motor melesat.
Mereka menyusuri jalan sempit di samping kampus. Mata awas ke kanan-kiri. Namun beberapa meter kemudian, kosong. Gadis itu lenyap, seolah ditelan bumi.
Janto memukul setang motor. “Astaga! Padahal aku yakin itu dia!”
Joni terdiam, wajah tegang. “Aku juga yakin. Matanya… nggak salah lagi. Tapi kok bisa hilang secepat itu?”
Keduanya saling pandang, frustrasi.
“Padahal udah kelihatan. Tapi malah ilang lagi. Kalau nggak ketemu juga, alamat nggak gajian ini. Sial!” suara Janto bergetar antara panik dan kesal.
Dari balik pohon, Kevia mengintip. Napasnya pendek-pendek, dada naik-turun. Matanya menangkap Joni yang merokok dengan wajah suntuk, Janto mengusap kening berkali-kali. Mereka benar-benar tampak putus asa.
Kevia menelan ludah. Tubuhnya gemetar.
"Kalau mereka beneran nyari aku dan tahu aku masih di sini… habislah aku."
Kevia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun detak jantungnya masih berpacu tak terkendali. Ia melangkah cepat menjauh, sesekali melirik ke arah dua pria itu.
Seketika bulu kuduknya berdiri. Rasa was-was itu semakin nyata, menekan dadanya hingga membuat napas terasa sesak.
Ia mempercepat langkah, nyaris berlari kecil. "Aku harus lebih hati-hati… Aku yakin mereka bukan kebetulan nongkrong di sana. Mereka… mengincarku."
Di sisi lain, Joni menghisap rokok dalam-dalam, lalu menghembuskan asap dengan wajah muram. Jemarinya bergetar samar. “Sudahlah. Besok kita pantau lagi. Nggak ada cara lain selain sabar. Tapi aku yakin, cewek tadi itu… Kevia.”
Motor tua mereka terparkir di tikungan. Joni masih menatap ke arah kampus, rahangnya mengeras, sorot matanya penuh tekad. Janto mengusap wajahnya dengan kasar, frustrasi bercampur lelah.
“Kevia… licin sekali kau,” gumam Joni lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh deru motor yang kembali melaju pelan meninggalkan area kampus.
Langkah Kevia makin tergesa. Tubuhnya bergetar halus, wajahnya pucat. Meski matanya menatap ke depan, pikirannya dipenuhi bayangan kelam. Rasa aman semakin menjauh, digantikan was-was yang terus menekan dadanya.
Hingga—
Tiiinnnn!
“Ak—hh!”
Sebuah motor melaju kencang, nyaris menyambar tubuhnya yang menyeberang tanpa perhitungan. Kevia terperanjat, terjatuh ke aspal. Lutut dan telapak tangannya tergores, perih, berdarah.
“Punya mata dipakek, brengsek!” hardik si pengendara sebelum melesat pergi.
Kevia menahan napas, tubuhnya bergetar hebat. Ia berusaha bangkit, menepi dengan langkah tertatih. Wajahnya meringis, bibirnya bergetar menahan sakit, hampir saja ia menangis.
“Kenapa ceroboh sekali…?” suara itu terdengar, berat namun penuh khawatir.
Kevia mendongak.
Deg.
Yoga.
Pemuda yang sejak lama ia kagumi berdiri tepat di hadapannya, sorot matanya serius, nyaris panik.
Keheningan singkat itu membuat Kevia tertegun. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menjalar di hatinya. Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, Yoga sudah merunduk, mengangkat tubuhnya tanpa ragu.
“Kita ke klinik,” ucapnya tegas. Suaranya lembut, tapi tak memberi ruang untuk bantahan.
“Eh… Kak Yoga, aku—” Kevia tersentak, spontan melingkarkan tangan di lehernya agar tidak terjatuh.
Leher kokoh. Dada hangat.
Sesaat, Kevia seperti kembali ke pelukan pria misterius. Namun, ada sesuatu yang berbeda.
Ekspresi khawatir Yoga begitu nyata. Tidak ada permainan tatapan, tidak ada tekanan. Hanya tulus, cemas, dan protektif.
Aroma parfum segar dengan sentuhan manis tipis menyeruak, berbeda jauh dari parfum pria misterius yang berat, woody, oriental, maskulin, dan sensual.
“Kita ke klinik. Lukamu berdarah,” suara Yoga terdengar lirih, nyaris bergetar. “Gadis kecil… aku nggak suka lihat kamu terluka.”
Kevia menatapnya.
Meski tubuh Yoga terasa begitu familiar, intonasi suaranya berbeda. Yoga selalu penuh ekspresi, kadang meninggi, kadang tawa, kadang menggoda dengan nada bercanda.
Sedangkan pria misterius… suaranya rendah, dalam, pelan, bahkan kadang nyaris berbisik. Setiap godaannya seperti tekanan, intens, dominan, sulit diabaikan.
"Kak Yoga membuatku merasa aman dengan kelembutan."
Ia menatap yoga lekat. "Tapi pria misterius itu… membuatku merasa terlalu dicintai. Dengan cara yang menekan, mendominasi, protektif, sampai aku hampir tak bisa bernapas."
Kevia menunduk. Jantungnya berdegup tak beraturan.
"Apa yang sedang kupikirkan?"
Yoga mendudukkan Kevia di jok motornya, lalu menyalakan mesin. Sesekali ia menoleh, memastikan tangan Kevia masih melingkar di pinggangnya. Bahkan sempat mengusap lengan halus itu, lembut, penuh kasih.
"Kenapa… sentuhan ini terasa sama seperti sentuhan pria misterius itu?" Kevia tercekat.
Namun seketika pikirannya menolak. Motor gambot yang selalu dipakai Yoga sejak pertama kali mereka bertemu dan mobil mewah yang dikendarai pria misterius… terlalu kontras. Dua dunia yang berbeda.
Detik berikutnya, Yoga sudah tergesa masuk ke sebuah klinik dengan Kevia dalam gendongannya.
“Via, apa yang terjadi?”
Sebuah suara familiar terdengar.
Refleks, Yoga dan Kevia sama-sama menoleh.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
tidak sabar nunggu Orang suruhannya Yoga datang ato Yoganya sendiri yang turun tangan untuk nyelametin Kevia.
ya Kevia memang wanita tangguh Yoga...sekatang Keviamu tidak mudah di tindas ia bisa mengatasinya
pasti itu Dea...yang ngadu sama Tuannya...