Update setiap hari!
Leon Vargas, jenderal perang berusia 25 tahun, berdiri di medan tempur dengan tangan berlumur darah dan tatapan tanpa ampun. Lima belas tahun ia bertarung demi negara, hingga ingatan kelam tentang keluarganya yang dihancurkan kembali terkuak. Kini, ia pulang bukan untuk bernostalgia—melainkan untuk menuntut, merebut, dan menghancurkan siapa pun yang pernah merampas kejayaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1 Kembalinya Jenderal Perang
Di atas tebing terjal yang menghadap hamparan lembah luas, seorang pria berdiri tegak bagai patung perunggu.
Angin senja berkibar liar, membuat jubah hitam berhias aksen emas yang melekat di bahunya berderai seakan hidup. Setelan militernya berkilau oleh cahaya matahari terakhir, dihiasi lencana kehormatan tertinggi yang hanya dimiliki segelintir orang di dunia.
Topi yang menunduk sedikit menutupi mata kirinya, namun satu mata yang terlihat cukup untuk membuat siapa pun mengerti: inilah pria yang dijuluki dunia sebagai Jenderal Perang, Alexander Kruger!
Wajahnya keras, dingin, dan gagah—sebuah wajah yang ditempa perang sejak belia.
Sanchez, asistennya, berdiri satu langkah di belakang. Tatapannya muram. Baginya, pria di hadapannya bukan sekadar atasan, melainkan sosok yang menjadi panutan hidupnya.
“Saya dengar Anda sudah mendapatkan kembali ingatan Anda yang hilang, Jendral Kruger. Apakah benar Anda akan pensiun hari ini?”
Sang Jenderal tidak menoleh. Matanya tetap menatap ke horizon yang memerah. “Sudah lima belas tahun lamanya aku mengabdi pada negara. Sekarang, sudah saatnya aku kembali mengambil kehidupanku yang dulu."
Sanchez terdiam, ia tahu betul jika pria di hadapannya ini adalah monster mengerikan yang hidup dan besar di tengah medan perang. Sejak ia berusia 10 tahun, hingga kini usianya menginjak 25 tahun.
Sudah tak terhitung berapa banyak nyawa yang melayang di tangannya.
Sanchez mengepalkan tangan. “Pasukan Naga masih membutuhkan Anda, Jenderal! Mereka lahir dan hidup untuk Anda. Tanpa Anda, siapa yang akan menuntun kami?”
Akhirnya, Sang Jenderal menoleh. Tatapan dingin itu menghantam Sanchez seperti bilah baja. “Pasukan Naga kini telah menjadi pasukan terkuat di seluruh negara bagian. Kalian bisa menghadapi siapapun tanpa bantuanku.”
Sanchez tercekat. Ada getir di matanya. "Saya mengerti... Anda telah menghabiskan masa kecil anda di medan perang. Saya tidak bisa membayangkan kehidupan seperti itu. Saya minta maaf karena tidak memahami kondisi Anda."
Sang Jenderal hanya terdiam. Angin yang bertiup membuat pita emas di bahunya berkibar, seakan menjawab untuknya: masa lalu itu sudah ditakdirkan.
"Kalau begitu, bolehkah saya tahu nama asli Anda?" tanya Sanchez, ia tahu jika nama yang Sang Jenderal pakai selama ini adalah nama pemberian dari seseorang karena ia kehilangan ingatannya.
Sang Jenderal terdiam sejenak sebelum menjawab: "Nama asliku Leon Vargas... selanjutnya, jika kita bertemu, kau bisa memanggilku Leon."
"Nama yang indah..." Sanchez menahan air matanya yang nyaris terjatuh. Perlahan, ia mengangkat tangan, memberi hormat terakhir. “Jika ini adalah jalan yang Anda pilih… Maka saya tidak akan menghentikan Anda. Tapi, bolehkah saya tahu… kemana Anda akan pergi setelah semua ini?”
Hening.
Hanya suara angin menyapu tebing.
Sang Jenderal membuka sarung tangan hitamnya, menatapnya sejenak sebelum menyelipkannya ke saku.
“Aku akan kembali ke tempat asalku... Tempat segalanya dimulai. Ke tempat yang membuatku lebih memilih medan perang daripada kehidupan biasa," katanya datar, namun sarat akan makna
Sanchez menunduk dalam. Untuk pertama kalinya, ia sadar bahwa dirinya tidak akan pernah benar-benar mengenal pria ini. Semua yang diketahui dunia hanyalah sosok naga perkasa di medan tempur.
Tapi apa yang tersembunyi di balik dinginnya mata tajam itu? Tidak ada yang tahu.
Hanya satu yang jelas: hawa membunuh yang menyelubungi sang Jenderal tetap terasa kuat, bahkan disaat ia berbicara tentang pensiun.
Seolah-olah naga itu hanya memilih untuk tidur sejenak—bukan mati sepenuhnya.
"Beri hormat!"
Dari kejauhan, barisan pasukan naga terlihat berdiri tegap di kedua sisi. Lebih dari lima puluh prajurit berpakaian seragam hitam dengan lambang naga emas di dada, memberi penghormatan serentak.
Wajah-wajah keras yang ditempa medan perang tampak gagah, dada membusung, gigi mengertak, namun mata mereka basah. Tidak ada suara tangis, hanya kesunyian berat yang menggantung di udara.
Mereka menatap ke depan, menahan gejolak hati. Seakan seluruh tubuh mereka menolak kenyataan bahwa pemimpin yang membentuk mereka… akan segera pergi.
Sang Jenderal melangkah maju. Sepasang mata tajamnya menyapu seluruh pasukan. Cahaya matahari menyalakan pita emas di bahunya, seolah dunia sendiri menunduk memberi hormat.
Ia berdiri tegak, suaranya lantang, dalam, dan menggetarkan dada tiap prajurit.
“Sepuluh tahun kita berdiri di medan darah. Sepuluh tahun kita menantang dunia. Dan hari ini… aku berdiri di hadapan kalian bukan lagi sebagai panglima, tapi sebagai saksi—bahwa kalian, pasukan naga, telah menjadi kekuatan yang tak tertandingi di bawah langit ini!”
“Kalian bukan hanya prajurit. Kalian adalah legenda hidup. Bayangan yang membuat musuh gemetar, cahaya yang membuat kawan merasa aman. Dunia tahu namaku… tapi sebenarnya, kekuatan sejati ada pada kalian!”
“Mulai hari ini, aku menyerahkan api pertempuran pada kalian. Jangan bergantung pada satu naga… jadilah naga itu sendiri! Kalian bukan lagi pasukan yang mengikuti bayanganku. Kalian adalah pasukan yang akan menulis sejarah dengan darah dan kehormatan kalian sendiri!”
Sang Jenderal berhenti sejenak, menatap ke langit yang memerah, lalu menurunkan pandangannya pada wajah-wajah setia di hadapannya.
“Ingatlah… selama napas kalian masih berhembus, nama pasukan naga akan abadi. Dan aku… akan semangatku akan selalu bersama kalian!”
Suara sang Jenderal menggelegar. Tubuh para prajurit bergetar. Dada mereka bergemuruh oleh api yang membakar jiwa.
Mereka menoleh serentak, mengangkat tangan ke udara, dan suara lantang memecah senja: “HIDUP JENDERAL ALEXANDER KRUGER!!”
Sorakan itu mengguncang bumi, bergema di lembah, seakan seluruh dunia ikut mendengar nama sang naga agung.
Sanchez menunduk, dadanya bergetar. Ia sadar… tidak akan pernah ada lagi sosok seperti pria itu.
....
Beberapa hari kemudian...
Suara mesin pesawat bergemuruh lembut, lampu kabin redup. Leon duduk di kursinya dengan penuh wibawa. Satu kaki disilangkan di atas yang lain, lengan kirinya bersandar santai pada sandaran, sementara tangan kanannya memegang sebuah novel yang berjudul Rebirth of the Trash Hero.
Matanya tajam, bulu mata lentik, memindai setiap baris tulisan dengan tenang. Aura dingin namun memikat itu terpancar kuat—membuat siapapun yang melihatnya merasa kecil.
Di kursi sebelahnya, seorang wanita berambut sebahu melirik curi-curi pandang. Wajahnya manis, bibirnya sedikit bergetar, pipinya memerah. Ada sesuatu yang menekan dadanya setiap kali melihat ketenangan Leon.
Leon menutup bukunya perlahan, lalu menoleh kearah gadis itu dengan matanya yang tajam.
“Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan?”
Wanita itu tersentak kecil. “Ah… i-itu… aku hanya… aku juga suka novel itu. Sama sepertimu.”
Leon mengangkat alis tipis. Bibirnya melengkung sinis. “Aku tidak menyukainya.”
Wanita itu membelalak. “Eh? Kenapa? Bukunya… cukup bagus, kan?”
“Karakter utamanya bodoh.” Leon menegakkan tubuh. Suaranya datar tapi tegas. “Dia diperlakukan sebagai sampah, diinjak, dihina. Namun ketika musuh-musuhnya jatuh, ia malah memaafkan mereka atas nama kemanusiaan.”
Wanita itu menelan ludah. “Tapi… bukankah musuh-musuhnya sudah mengakui kesalahannya?”
Leon menyipitkan mata. “Pertobatan tidak menghapus luka. Luka tetap ada. Darah tetap tertumpah. Satu-satunya jalan adalah dengan menghancurkan mereka sampai tak bersisa.”
Suara Leon dingin, tapi bergetar seperti palu yang menghantam dada wanita itu. Ia mencoba tersenyum, meski gugup. “Mungkin… penulisnya hanya ingin memberi pesan positif,” ucapnya setengah ragu.
Leon mendengus pelan, menatap nama penulis novel di sampul depannya dengan inisial VV.
“Kalau memang benar, maka penulisnya lebih bodoh dari yang aku bayangkan. Berusaha membuat tokoh ‘baik hati’ padahal cuma lemah. Buku ini sampah. Aku tidak akan pernah membeli karya lain dari penulis ini.”
Wanita itu terdiam. Wajahnya menegang. Jantungnya berdegup keras. Ia menggenggam erat rok yang menutupi pahanya.
"A-ah... Begitu ya..." ucap si wanita sambil tertawa getir. Karena tanpa disadari oleh Leon… wanita yang duduk di sampingnya adalah penulis dari novel yang dia baca.
ayooo muncullah!!!
gmn malu'a klu tau angeline anak si komandan🤭😄
ternyata sang komandan telah mengenal leon