Teror mencekam menyelimuti sebuah desa kecil di kaki gunung Jawa Barat. Sosok pocong berbalut susuk hitam terus menghantui malam-malam, meninggalkan jejak luka mengerikan pada siapa saja yang terkena ludahnya — kulit melepuh dan nyeri tak tertahankan. Semua bermula dari kematian seorang PSK yang mengenakan susuk, menghadapi sakaratul maut dengan penderitaan luar biasa.
Tak lama kemudian, warga desa menjadi korban. Rasa takut dan kepanikan mulai merasuk, membuat kehidupan sehari-hari terasa mencekam. Di tengah kekacauan itu, Kapten Satria Arjuna Rejaya, seorang TNI tangguh dari batalyon Siliwangi, tiba bersama adiknya, Dania Anindita Rejaya, yang baru berusia 16 tahun dan belum lama menetap di desa tersebut. Bersama-sama, mereka bertekad mencari solusi untuk menghentikan teror pocong susuk dan menyelamatkan warganya dari kutukan mematikan yang menghantui desa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Susuk Atna
Malam itu, Atna bersiap untuk bekerja di klub malam. Jarum jam menunjukkan pukul delapan ketika lampu neon mulai berkelap-kelip. Ia tengah menata dirinya di belakang meja rias, lipstik dan pakaian yang memancarkan aura kepercayaan diri siap menyambut malam yang panjang.
Tiba-tiba, dari kejauhan, Dania muncul berlari tanpa alas kaki, wajahnya pucat penuh ketakutan, napasnya tersengal. Kaki kecilnya berdarah dan lecet karena berlari di jalanan berbatu. “Aaaa…!!!” teriaknya, suaranya nyaris tenggelam oleh angin malam yang berdesir.
Atna menghentikan langkahnya, setengah terkejut, setengah kesal. “Dasar barekokok enggak punya mata!” serunya sambil menatap gadis itu dengan mata membara.
Dania hanya bisa tergagap, wajahnya merah karena takut dan malu. “Ma… maaf… Mbak Atna… maaf…” ujarnya lirih, tubuhnya gemetar hebat karena dingin dan kelelahan.
Dania masih gemetar, kakinya lecet dan berdarah karena berlari tanpa alas kaki. Ia menatap Atna dengan mata besar, penuh ketakutan.
Tiba-tiba, dari kegelapan di ujung gang, sekelebat kain putih lusuh melayang pelan. Mata Dania membesar, tubuhnya membeku.
Di tengah udara malam yang dingin, sosok pocong bersusuk muncul, balutan kainnya compang-camping, aura gelap dan anyir darah menyelimuti seluruh gang.
“Mb… Mbak Atna… itu… itu apa?!” gumam Dania, suaranya hampir tak terdengar karena gemetar.
Atna menatap sosok pocong itu dengan mata dingin. Aura susuk di tubuhnya memancar lebih kuat, menciptakan semacam perisai gaib di sekeliling mereka.
Kegelapan pocong bersusuk terasa menekan, tapi Atna tetap berdiri tegak, energi susuknya bergetar, menandakan bahwa kekuatan gaib yang menempel padanya mulai aktif.
Pocong itu melayang mendekat, langkahnya sunyi, tapi aura yang ditimbulkannya begitu berat hingga tanah terasa seakan bergetar. Bisikan lirih terdengar di telinga Dania: “Jauhi mereka… atau… kau sendiri akan menanggung akibatnya…”
Dania menahan napas, tubuhnya gemetar hebat. Ia merasakan hawa dingin menyusup ke tulang, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini.
Atna berdiri di sisinya, aura susuknya melingkupi mereka berdua, membuat ketakutan Dania sedikit teredam—tidak hilang, tapi bisa bertahan.
Ayu, kakak iparnya, yang mengikuti Atna dari belakang, segera menghampiri Dania. “Kamu kenapa tadi lari-lari enggak pakai sendal lagi, Dania?! Malu sama orang lewat juga, ya!” serunya dengan nada keras.
“Ayo pulang,” ajak Ayu seraya menarik Dania.
Dania menunduk, hanya bisa mengucapkan kata maaf berulang-ulang. Napasnya berat, dan suara gemericik langkah kakinya yang berdarah terdengar di jalan sunyi.
Atna menatapnya dengan campuran marah dan waspada.
Aura susuk yang menempel pada Atna malam itu terasa lebih gelap, hawa dingin menyelimuti tubuhnya, dan rambut di lehernya meremang—seolah memperingatkan sesuatu. Kepanikan Dania bukan sekadar kebetulan.
Di sepanjang jalan desa yang sunyi, bayangan malam terasa lebih pekat. Angin malam berdesir membawa aroma tanah basah dan sedikit anyir darah.
Terdengar bisikan samar dari kegelapan, seolah bayangan di jalan mengawasi setiap langkah mereka. Atna menyadari, malam ini bukan sekadar malam biasa—sesuatu yang gelap, yang berkaitan dengan pocong bersusuk dan energi susuknya sendiri, mungkin sedang bergerak di sekitar mereka.
Dania menunduk lebih dalam, berusaha menenangkan diri. Ayu masih memarahi, tapi tatapannya mulai melunak ketika menyadari ketakutan Dania yang nyata.
Atna menghela napas panjang, menatap ke sekeliling jalan yang gelap, menyadari bahwa malam itu akan menjadi malam panjang penuh ketegangan—malam di mana aura gelap dan bahaya nyata berbaur di udara.
“Aduh, gua telat lagi,” gumam Atna sambil menutup pintu klub dan berjalan menuju mobil yang sudah disiapkan germonya. Langkahnya berat, matanya menatap kosong ke jalanan yang remang, lampu neon klub memantul di aspal basah.
Dalam perjalanan menuju mobil, pikirannya melayang pada Dania, yang baru saja ditarik Ayu kembali ke rumah. Ada rasa bersalah samar yang menusuk hati Atna—bukan hanya karena Dania ketakutan, tapi juga karena ia tahu dunia gelap yang ia masuki malam ini bukanlah hal yang aman bagi gadis itu.
Tangan Atna secara refleks menyentuh pundaknya sendiri, merasakan getaran halus dari susuk yang masih menempel.
Aura gaib itu berdenyut pelan, menandakan kehadiran sesuatu yang terus mengawasi dan mengatur keseimbangan antara kekuatan gaib dan manusia.
Di luar, jalanan sepi. Angin malam membawa aroma tanah basah dan sedikit anyir yang samar, seolah memperingatkan bahwa energi gelap tidak pernah benar-benar tidur.
Atna menelan ludah, menatap ke sekeliling dengan mata waspada. Malam itu, bahkan saat ia sendiri, kehadiran pocong bersusuk terasa nyata, membayang di tepi pandangannya.
Ia membuka pintu mobil, duduk, dan menekan pedal gas pelan. Lampu depan mobil menembus kegelapan, membelah malam yang sunyi.
Dalam hatinya, Atna sadar malam ini bukan sekadar malam panjang di klub malam, tapi juga malam di mana aura gelap dan susuknya sendiri akan terus menguji batasnya, menjaga dirinya, dan menegaskan bahwa siapa pun yang berani mendekat tanpa izin akan merasakan konsekuensinya.
Mobil meluncur di jalanan desa menuju klub malam, lampu depan menembus gelapnya malam. Atna duduk di kursi pengemudi, wajahnya tegas, mata waspada terhadap bayangan yang samar menempel di tepi jalan. Aura susuk di tubuhnya berdenyut pelan, menjaga keseimbangan antara dirinya dan energi gelap yang mengintai.
Di kursi penumpang, Mr. Robert duduk santai, senyum licik terpancar dari wajahnya. “Wah, Mbak Atna, malam ini cantik banget. Siap bikin saya terhibur ya?” ujarnya sambil menatap Atna penuh nafsu.
Atna menahan napas, mencoba tetap tenang. “Ya, nanti sampai di klub. Santai dulu, jangan terlalu dekat,” jawabnya tegas, tangan masih memegang setir.
Aura susuk di tubuhnya mulai memancar lebih kuat, membentuk perisai samar yang menahan energi negatif Mr. Robert tanpa terlihat olehnya.
Di tengah percakapan itu, germo yang ikut di mobil tiba-tiba mengulurkan bungkusan sate ayam. “Makan dulu, biar kuat di klub,” ujarnya sambil menepuk-nepuk kotak plastik itu.
Tanpa sadar, Atna mengambil tusuk sate ayam itu dan menggigitnya, fokusnya terbagi antara mengendalikan mobil, menghadapi Mr. Robert, dan menjaga aura susuknya tetap aktif.
Sesaat rasa sate ayam itu masuk ke mulutnya, tubuhnya merasakan sensasi aneh: aroma dan rasa sate yang normal bercampur dengan aura gelap yang masih menempel pada energi di sekitar mereka.
Mr. Robert tertawa kecil, seolah tak menyadari ketegangan yang merayap di tubuh Atna. Tetapi di dalam, Atna tahu: susuk yang menempel padanya bereaksi terhadap keberadaan orang yang berniat mengganggu.
Aura gelap pocong bersusuk di luar mobil terasa semakin aktif, menempel samar di sekitar kendaraan, seakan memperingatkan siapa pun yang mencoba melewati batas.
Atna menelan sate ayam itu dengan cepat, menahan getaran energi yang terasa aneh di tubuhnya. Napasnya berirama, mata tetap waspada ke jalan.
Malam itu, perjalanan ke klub tidak hanya tentang hiburan atau pekerjaan; malam itu adalah perjalanan yang dipenuhi ketegangan gaib—antara manusia, susuk, dan bayangan pocong bersusuk yang mengintai di gelap.
*
semoga novelmu sukses, Thor. aku suka tulisanmu. penuh bahasa Sastra. usah aku share di GC ku...
kopi hitam manis mendarat di novelmu